Benci Jadi cinta mengisahkan perjalanan cinta Alya dan Rayhan, dua orang yang awalnya saling membenci, namun perlahan tumbuh menjadi pasangan yang saling mencintai. Setelah menikah, mereka menghadapi berbagai tantangan, seperti konflik pekerjaan, kelelahan emosional, dan dinamika rumah tangga. Namun, dengan cinta dan komunikasi, mereka berhasil membangun keluarga yang harmonis bersama anak mereka, Adam. Novel ini menunjukkan bahwa kebahagiaan datang dari perjuangan bersama, bukan dari kesempurnaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nike Nikegea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 : satu lagi kejutan dari adam
Beberapa bulan setelah Adam kembali ke luar negeri, Alya dan Rayhan menerima sebuah video call darinya. Di layar, Adam terlihat lebih percaya diri dan bahagia.
“Mama, Papa, aku ada kabar baik lagi!” serunya dengan senyuman lebar.
“Kabar baik apa, Nak?” tanya Alya dengan penuh rasa ingin tahu.
“Lukisan yang aku buat tentang kita, yang ada tiga tangan itu, ternyata menarik perhatian kolektor seni besar di sini. Mereka mau membelinya untuk koleksi pribadi!”
Rayhan terkekeh bangga. “Wah, kamu makin hebat aja, Nak. Jadi berapa harga yang mereka tawarkan?”
Adam tersenyum lebar. “Cukup besar, Pa. Aku mau hasilnya aku gunakan buat bantu Mama dan Papa merenovasi rumah. Kalian udah banyak berkorban buat aku.”
Alya terkejut. “Adam, itu uang hasil kerja kerasmu. Kamu nggak perlu—”
“Tapi aku mau, Ma. Ini salah satu caraku bilang terima kasih ke kalian.”
Mendengar itu, Alya terharu. Dia tak menyangka anak yang dulu mereka rawat dengan segala perjuangan kini tumbuh menjadi seseorang yang penuh rasa hormat dan kasih sayang.
---
Beberapa minggu kemudian, renovasi rumah dimulai. Adam memberikan arahan desain melalui video call, memastikan bahwa setiap sudut rumah terasa nyaman untuk Alya dan Rayhan.
“Pa, Ma, aku mau ada ruang khusus buat karya seni di rumah. Jadi kalau aku pulang, aku bisa terus berkarya di sana,” kata Adam dengan semangat.
Rayhan tersenyum. “Kamu benar-benar anak yang penuh ide, Nak.”
Saat renovasi selesai, rumah mereka terlihat seperti baru—lebih terang, lebih hangat, dan penuh dengan sentuhan pribadi dari Adam. Di salah satu dinding ruang keluarga, Adam meminta agar foto-foto keluarga mereka dipajang sebagai pengingat akan perjalanan panjang mereka.
Alya memandangi dinding itu dengan mata berkaca-kaca. “Ray, lihat ini. Semua yang kita lalui selama ini terbayar sudah.”
Rayhan merangkul Alya. “Iya, Alya. Kita berhasil, meski jalannya nggak selalu mudah.”
---
Kini, Alya dan Rayhan menjalani hari-hari mereka dengan lebih santai. Mereka sering menerima kabar dari Adam, yang semakin sukses di dunia seni internasional.
Namun, di balik kesuksesan itu, Adam selalu ingat untuk pulang. Setiap kali dia kembali, rumah terasa hidup lagi dengan tawa dan cerita-ceritanya.
Suatu hari, Adam membawa kabar baru.
“Mama, Papa, aku mau pameran di Jakarta bulan depan. Aku mau kalian datang dan lihat langsung karyaku.”
Alya tersenyum. “Tentu saja, Nak. Kami nggak akan melewatkan kesempatan itu.”
Pameran itu menjadi momen yang sangat spesial. Di salah satu sudut galeri, Alya dan Rayhan melihat lukisan tiga tangan yang Adam buat. Di bawah lukisan itu tertulis judul: “Keluarga, Pondasi Segalanya.”
Alya memeluk Rayhan erat. “Ini adalah bukti bahwa cinta dan kerja keras kita nggak pernah sia-sia.”
Rayhan mengangguk, matanya basah oleh haru. “Kita benar-benar diberkati, Alya.”
---
Epilog: Bahagia yang Tidak Sempurna
Hidup Alya dan Rayhan mungkin tidak sempurna, tetapi mereka menemukan kebahagiaan dalam perjalanan bersama. Mereka belajar bahwa cinta sejati bukan hanya tentang bertahan, tetapi juga tentang terus tumbuh dan saling mendukung, meski badai datang silih berganti.
Adam, di sisi lain, menjadi bukti nyata bahwa cinta dan pengorbanan orang tua selalu menghasilkan sesuatu yang indah. Dia terus mengingat akar dan asalnya, membawa cinta keluarganya ke mana pun dia pergi.
Waktu berlalu begitu cepat. Alya dan Rayhan kini memasuki usia senja. Meski tubuh mereka mulai melemah, semangat cinta di antara mereka tetap menyala. Mereka mengisi hari-hari dengan kegiatan sederhana seperti berkebun bersama, membaca buku, atau sekadar berjalan-jalan di taman sekitar rumah.
Suatu pagi, Alya menatap Rayhan yang sedang membaca koran di teras. Kerutan di wajahnya semakin jelas, tetapi senyumnya tetap hangat seperti dulu.
“Ray, kamu sadar nggak, kita udah tua sekarang,” kata Alya sambil duduk di sebelahnya.
Rayhan tertawa kecil. “Tapi kamu tetap terlihat cantik, Alya.”
Alya tersipu. “Kamu selalu tahu cara bikin aku tersenyum.”
Rayhan menggenggam tangan Alya. “Aku bersyukur kita bisa melalui semuanya bersama. Mungkin kita nggak sempurna, tapi kita selalu saling mendukung.”
Alya mengangguk. “Dan itu sudah lebih dari cukup.”
---
Suatu siang, telepon rumah mereka berdering. Alya mengangkatnya dengan santai, tetapi suara di ujung telepon membuatnya terkejut.
“Mama, Papa, aku mau kasih kabar besar,” kata Adam dengan nada penuh kegembiraan.
“Apa itu, Nak?” tanya Alya penasaran.
“Aku mau menikah!”
Alya hampir menjatuhkan teleponnya. “Menikah? Dengan siapa? Kenapa Mama nggak pernah dengar tentang ini sebelumnya?”
Adam tertawa kecil. “Ma, aku mau kasih kejutan. Namanya Clara. Dia orang yang sangat pengertian, dan aku yakin dia adalah pasangan yang tepat buatku.”
Rayhan, yang mendengar percakapan itu dari jauh, mendekat dengan cepat. “Adam mau menikah? Wah, kapan kami bisa bertemu dengan Clara?”
“Bulan depan aku bawa dia ke rumah, Pa. Aku mau kalian kenal lebih dekat.”
Alya dan Rayhan saling berpandangan. Mereka bahagia, tetapi juga sedikit cemas.
---
Bulan berikutnya, Adam benar-benar pulang ke rumah bersama Clara. Clara adalah seorang perempuan yang anggun dengan senyum yang menenangkan. Alya langsung merasa nyaman dengannya.
“Ma, Pa, ini Clara,” kata Adam memperkenalkan.
Clara tersenyum sambil menundukkan kepala sopan. “Senang sekali bisa bertemu dengan kalian. Adam sering cerita tentang betapa hebatnya Mama dan Papa.”
Alya memeluk Clara erat. “Selamat datang di keluarga kami.”
Malam itu, mereka menghabiskan waktu bersama, berbincang tentang rencana pernikahan dan masa depan Adam serta Clara. Alya dan Rayhan merasa lega karena Clara ternyata sangat menghormati mereka.
---
Persiapan pernikahan Adam dan Clara berjalan dengan lancar, meski sesekali diwarnai perbedaan pendapat kecil. Alya sibuk memastikan setiap detail sempurna, sementara Rayhan berusaha mengelola keuangan agar semuanya tetap sesuai anggaran.
“Ma, aku nggak pengen acaranya terlalu mewah. Aku pengen yang sederhana tapi bermakna,” kata Adam suatu hari.
Alya mengangguk. “Mama setuju. Yang penting kalian bahagia.”
Hari pernikahan pun tiba. Dalam balutan jas dan gaun yang indah, Adam dan Clara mengucapkan janji suci mereka di hadapan keluarga dan teman-teman dekat. Alya tak kuasa menahan air matanya saat melihat Adam berdiri di altar, tampak dewasa dan bahagia.
“Dia benar-benar sudah menjadi pria dewasa, Ray,” bisik Alya pada suaminya.
Rayhan menggenggam tangan Alya erat. “Dan kita berhasil membimbingnya ke titik ini.”
---
Setelah pernikahan, Adam dan Clara menetap di sebuah rumah kecil yang tidak jauh dari tempat tinggal Alya dan Rayhan. Mereka sering berkunjung, membawa makanan atau sekadar menghabiskan waktu bersama.
Beberapa bulan kemudian, kabar gembira datang lagi.
“Ma, Pa, Clara hamil!” kata Adam dengan wajah berseri-seri.
Alya hampir melonjak kegirangan. “Serius, Nak? Aku bakal jadi nenek?”
Rayhan tertawa. “Akhirnya kita punya cucu. Itu tandanya kita harus mulai rajin olahraga biar bisa main sama dia nanti.”
---
Sembilan bulan berlalu, dan Clara melahirkan seorang bayi perempuan yang sehat. Mereka memberinya nama Aisyah, sebagai penghormatan kepada nenek moyang mereka yang penuh cinta dan kebijaksanaan.
Alya dan Rayhan tak bisa menyembunyikan kebahagiaan mereka. Kehadiran Aisyah membawa energi baru ke dalam hidup mereka. Rumah yang dulu terasa sepi kini kembali dipenuhi suara tawa bayi dan kegembiraan keluarga.
Rayhan sering menggendong Aisyah di teras, menceritakan kisah-kisah dari masa mudanya. Sementara itu, Alya sibuk mengajari Clara cara merawat bayi, seperti seorang ibu kepada putrinya.
“Aisyah ini hadiah terindah di masa tua kita,” kata Alya suatu malam.
Rayhan mengangguk setuju. “Dia adalah bukti bahwa cinta kita terus berlanjut, Alya.”
---
Hari-hari berlalu, dan keluarga mereka terus tumbuh. Adam semakin sukses di dunia seni, sementara Alya dan Rayhan menikmati masa tua mereka dengan penuh kebahagiaan.
Setiap malam, mereka duduk di teras, memandangi bintang-bintang sambil berbicara tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan.
“Hidup kita mungkin nggak sempurna, tapi aku bersyukur kita selalu bersama,” kata Alya.
Rayhan menggenggam tangan Alya, seperti yang selalu dia lakukan. “Dan aku bersyukur bisa menghabiskan hidup ini denganmu, Alya.”
semangat kak 🤗
sumpah aku jadi ketagihan bacanya 😁😁