Yao Chen bukanlah siapa-siapa. Bukan seorang kultivator, bukan pula seorang ahli pedang. Pangeran hanya memiliki dua persoalan : bela diri dan istrinya.
Like dan komen agar Liu Xiaotian/Yao Chen dapat mencapai tujuan akhir dalam hidupnya. Terimakasih.
Peringatan! Novel berisi beberapa adegan yang diperuntukkan bagi orang dewasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WinterBearr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 - Liu Xiaotian
Desir angin malam yang masuk melalui jendela membawa semangat baru. Ini adalah momen dimana Yao Chen akan menentukan tujuan hidupnya. Dia mengetahui "sebagian besar alur" di dalam novel, bagaimana setiap karakter bertindak sampai bagaimana setiap karakter itu berakhir. Namun apakah mukjizat itu sudah mewakili segala hal di Qingyuan? Hanya hasil yang dapat menyimpulkan.
Bab 1 - Liu Xiaotian
Gumpalan kapas putih di atas sana, bergerak lambat mendominasi langit, membuka semua mata di bawahnya akan betapa cerah siang hari ini. Namun keindahan di langit seakan terlewatkan begitu saja, tidak semua orang dapat menikmati pemandangan itu... tidak semua.
Di bawahnya, terbentang luas sebuah daratan luas yang mereka sebut dengan Benua Qingyuan. Daratan yang di penuhi oleh barisan gunung dan lembah, menciptakan kabut tebal yang bergerak lambat bagaikan selimut.
Tak jarang, menara kastil terlihat menembus kabut, menjulang tinggi dengan ditemani oleh kuil-kuil tradisional yang berdiri kokoh di berbagai sisi Gunung Baishan.
Di sini, di Benua Qingyuan, kekuasaan adalah harga tertinggi yang bisa didapatkan. Dinasti besar bangkit dan runtuh seperti gelombang lautan yang tak henti menghantam pantai. Perang saudara, pengkhianatan, dan perebutan takhta telah mengubah tanah ini menjadi kuburan bagi impian para raja. Tapi dari reruntuhan kerajaan lama, lahirlah cerita baru, sebuah kisah yang takdirnya telah tertulis di dalam darah para pahlawan yang telah bangkit dari tidur panjang mereka.
Salah satu Kerajaan terkuat di Benua Qingyuan, adalah Kerajaan Lianyun. Sebuah kerajaan besar dimana perebutan kekuasaan terasa lebih panas dari bara api yang berkobar di dalam tungku. Tak hanya itu, bisikan kegelapan dari sekte-sekte, kultus dan darah iblis juga mulai merasuki tanah kerajaan ini.
Seperti yang terlihat sekarang, tepat di depan gerbang utama Kerajaan Lianyun yang megah, ribuan nyawa baru saja melayang tak berarti. Semua tidak lain karena ambisi para penguasa, mereka lebih mengedepankan ego daripada harus menerima kenyataan yang ada.
Disana, kabut tebal masih menyelimuti bumi, dan angin sejuk menampar wajah Liu Xiaotian yang kini tak lagi peka terhadap rasa sakit. Dia terbaring di tanah berlumpur, tubuhnya setengah terkubur oleh tumpukan manusia yang tak lagi bernyawa. Sebagian masih hangat, sebagian telah membeku termakan waktu.
"Di mana aku...?"
Suara itu tak lebih dari sekedar bisikan, hilang di tengah raungan pertempuran yang memekakkan telinga. Pedang dan tombak saling bertemu, berdenting di kejauhan, melupakan keberadaan pemuda itu sebagai salah satu prajurit yang tersisa. Namun anehnya, tubuh Liu Xiaotian tidak terluka, meski darah mengalir membasahi tubuhnya.
Ketika bangkit, mata pemuda itu berkeliling. Tidak tercium lagi aroma antiseptik, tidak ada suara monitor atau pun bising mesin oksigen yang telah berbulan-bulan menemaninya sepanjang waktu. Sebaliknya, dia malah mencium aroma tanah basah bercampur dengan bau anyir yang busuk, serta merasakan getaran jauh dari suara dentingan logam yang saling bertabrakan.
"I-ini... bukan rumah sakit."
Kepalanya mendadak terasa begitu berat, memaksa Liu Xiaotian memejamkan matanya, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Ingatan terakhirnya adalah ruangan gawat darurat rumah sakit dengan jendela terbuka, udara malam yang dingin, dan... novel favoritnya yang selalu ia baca setiap waktu. Ia ingat betul halaman terakhir yang dibacanya dengan jelas, adegan di mana seorang karakter bernama Yao Chen tengah bertarung mempertahankan Kerajaan Lianyun.
Hingga ia akhirnya menyadari, bahwa posisinya saat ini sangat mirip seperti adegan dalam halaman novel yang terakhir ia baca. Kedua matanya pun terperanjat, bersamaan dengan rahangnya yang tergantung kaku. "J-jangan bilang, a-aku... telah masuk ke dalam dunia novel?!"
Merasa telah menerima pukulan telak, segala macam pikiran negatif mulai berkecamuk di benaknya. Tanpa ia sadari, kakinya yang bergetar mulai melangkah perlahan, luntang-lantung di antara tumpukan mayat.
"Tidak, tidak, aku pasti masih di rumah sakit... aku pasti belum bangun! Ini semua hanyalah mimpi!"
Tubuhnya terus bergerak tanpa arah, tanpa tujuan, hanya mengikuti naluri untuk bertahan hidup. Tak peduli ke mana kakinya membawanya. Yang dia tahu, ia harus menjauh dari sini. Jauh dari mayat-mayat ini. Jauh dari dunia dongeng ini.
Namun, kenyataan yang kini terjadi, tidak mungkin dapat ia hindari. Setiap langkah yang diambil hanya menimbulkan cipratan lumpur di atas tanah. Napasnya memburu, dan keringat dingin mulai membasahi tubuhnya.
Hingga kakinya tersandung sesuatu, sebuah batu yang tertutup lumpur. Liu Xiaotian terjatuh, tubuhnya mencium tanah berlumpur. Tersungkur, dengan wajah tepat menghadap ke sebuah kolam kecil yang jernih. Airnya yang tenang mencerminkan langit yang cerah, tetapi yang paling mengejutkan adalah, sosok yang dilihatnya di sana.
Wajahnya begitu asing, bukan wajah aslinya.
"S-siapa... ini?!" Suaranya tercekat. Dia merasakan darahnya kian membeku. Tangannya bergetar ketika menyentuh wajahnya, merasakan tekstur kulit yang jauh berbeda dari apa yang dia miliki. Air kolam bergolak pelan, tapi cukup untuk mengkonfirmasi sebuah kenyataan yang mengerikan. Sangat mengerikan, apalagi setelah Liu Xiaotian akhirnya menyadari siapa sosok yang tercermin di permukaan air itu.
"Sepertinya aku mengenalnya." Paniknya semakin menjadi-jadi. "Tidak! Ini tidak benar!" Dia memukul air kolam dengan tangan kosong, menimbulkan percikan yang kacau. "Aku bukan Yao Chen! Aku Liu Xiaotian dan aku belum mati!!"
"Ini pasti mimpi, kan?" gumamnya menatap kedua telapak tangannya yang kotor. "Di kehidupan ku yang dulu, aku bukanlah siapa-siapa. Lalu di dunia ini... aku malah menjadi tokoh sampingan yang berakhir tragis."
Dia mencoba bangkit, berlari ke arah yang tidak jelas, berusaha lari dari tubuh yang bukan miliknya, tidak peduli akan kakinya yang terluka akibat tersandung batu. Namun kemana pun dia pergi, tubuh itu masih dan akan selalu bersamanya.
Di tengah keruwetan yang menyelimuti akalnya, terdengar suara pria berteriak. Sederhana, tapi mampu menggetarkan sekujur tubuhnya.
"Apakah masih ada yang selamat?!" seru pria dikejauhan. "Katakan sesuatu atau lambaikan tangan kalian ke udara!"
Liu Xiaotian, kini telah resmi bernama Yao Chen, menoleh perlahan. Di depan sana, seorang prajurit berdiri dengan gagah, dilengkapi dengan zirah hitam yang penuh goresan. Pada bagian dada, tepatnya di bagian depan zirah, lambang Bunga Keabadian terpatri kuat, mengisyaratkan prajurit itu adalah salah satu bagian dari elit militer Kerajaan Lianyun.
Karena telah membaca novel ini berulangkali semenjak dirinya dirawat di rumah sakit, tentu, Yao Chen mengenali pria yang berjarak sekitar sepuluh tombak dari tempatnya berdiri.
Pria itu adalah Yao Fenlong. Dingin dan angkuh. Nama yang selalu diucapkan dengan bisikan penuh hormat di antara barisan tentara. Yao Fenlong adalah paman Yao Chen, salah satu jenderal terkemuka di kerajaan ini, dan juga sosok yang dikenal karena kekejamannya dalam berperang. Baginya, tidak ada yang lebih penting selain kemenangan. Semua orang, bahkan keluarga, hanyalah bidak di atas papan catur yang dapat dipertaruhkan kapan saja.
Yao Chen menahan napasnya, tahu bahwa kontak mata dengan paman antagonisnya itu akan menjadi akhir dari cerita. Pemuda itu lantas buru-buru menyelinap di balik tumpukan mayat, berharap kotoran lumpur yang bercampur darah cukup untuk menyamarkan dirinya di tengah pemandangan horor ini.
Namun tepat ketika dia hendak membenamkan tubuhnya lebih dalam, terdengar suara wanita yang begitu halus, terdengar tidak asing, menghujam langsung ke dalam hatinya.
"Suamiku?" panggil wanita itu.
Suara itu menghentikan langkahnya seketika. Setiap syaraf dalam tubuhnya seolah lumpuh, tak mampu bergerak, tak mampu berpikir jernih. Ia mengenali suara itu. Mengenal dengan sangat baik. Suara yang akan selalu tertanam di dalam ingatannya. Suara yang paling ia takuti saat menjadi seorang Yao Chen.
Dengan berat hati, pemuda itu menoleh. Di depan sana, tepatnya di balik kabut tipis yang menyelimuti medan pertempuran, berdirilah seorang wanita dengan gaun merah berhias pinggiran emas layaknya bangsawan. Rambutnya disanggul rapi dan garis lengkung di bibirnya terlihat lebih manis dari madu.
Takdir yang selama ini tidak pernah sedikitpun terpikir oleh Liu Xiaotian, kini berdiri anggun di hadapannya, tidak terelakkan.
"Bukankah wanita itu adalah Hua Huifang... istri iblis Yao Chen, yang pada akhirnya menikam jantung suaminya sendiri di malam mereka bercinta, tepat setelah Yao Chen dilantik sebagai Raja Lianyun? Yang Maha Kuasa sepertinya sedang bercanda denganku," gumam Liu Xiaotian sembari menatap wanita berparas sempurna yang terus melempar senyuman kepadanya. Kecemasan di kedua bola matanya terlihat begitu palsu.
"Tidak akan kubiarkan iblis itu menyentuhku. Tidak sedikit pun."