NovelToon NovelToon
BAD HUSBAND

BAD HUSBAND

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Nikah Kontrak / Cinta Paksa / Cinta Seiring Waktu / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:8.5k
Nilai: 5
Nama Author: Nunna Zhy

🔥Bocil dilarang mampir, dosa tanggung masing-masing 🔥

———

"Mendesah, Ruka!"

"El, lo gila! berhenti!!!" Ruka mendorong El yang menindihnya.

"lo istri gue, apa gue gak boleh pakek lo?"

"El.... kita gak sedekat ini, minggir!" Ruka mendorong tubuh El menjauh, namun kekuatan gadis itu tak bisa menandingi kekuatan El.

"MINGGIR ATAU GUE BUNUH LO!"

———

El Zio dan Haruka, dua manusia dengan dua kepribadian yang sangat bertolak belakang terpaksa diikat dalam sebuah janji suci pernikahan.

Rumah tangga keduanya sangat jauh dari kata harmonis, bahkan Ruka tidak mau disentuh oleh suaminya yang merupakan Badboy dan ketua geng motor di sekolahnya. Sementara Ruka yang menjabat sebagai ketua Osis harus menjaga nama baiknya dan merahasiakan pernikahan yang lebih mirip dengan neraka itu.

Akankah pernikahan El dan Ruka baik-baik saja, atau malah berakhir di pengadilan agama?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12

Perang dingin dimulai, hari-hari terasa begitu sunyi di rumah itu, meskipun keduanya berada di bawah atap yang sama. Ruka mengurung diri di kamarnya, menghindari interaksi dengan El. Suara langkah El yang pulang menjelang pagi menjadi hal yang biasa. Tidak ada percakapan, tidak ada teguran, bahkan tidak ada pandangan yang saling menyentuh.

"Sebelas bulan lagi," gumam Ruka pada dirinya sendiri sambil memandangi kalender di dinding kamarnya. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa waktu itu akan cepat berlalu. Dan ia akan bebas dari hubungan tanpa cinta ini.

Seminggu berlalu tanpa kejadian berarti. Pertemuan mereka bisa dihitung dengan jari, dan itupun hanya sekadar saling berpapasan di lorong atau dapur. El pun tidak mencoba untuk memulai percakapan, dan Ruka bersyukur karenanya. Namun, di sisi lain, ada rasa asing yang mengganjal di hatinya.

Malam itu, ketika Ruka sedang menikmati kesendiriannya dengan secangkir teh hangat, suara pintu depan yang terbuka menarik perhatiannya. Jam menunjukkan pukul satu pagi, dan seperti biasa, El baru saja pulang. Kali ini, langkahnya terdengar lebih berat, seperti seseorang yang sedang mabuk atau lelah.

Ruka memutuskan untuk tetap diam di kursinya, berharap El langsung masuk ke kamar tanpa menyadari keberadaannya. Tapi suara barang yang jatuh di ruang tamu membuatnya terpaksa bangkit.

Saat ia tiba di sana, El sedang bersandar di sofa, kepalanya tertunduk dan tangan memegang botol minuman. Aroma alkohol memenuhi ruangan.

"Lo mabuk?" tanya Ruka dingin, berdiri di ambang pintu.

El mendongak, menatap Ruka dengan mata yang sedikit merah. "Kenapa? Lo peduli?" jawabnya dengan nada sinis.

Ruka mendecak kesal. "Gue gak peduli. Tapi gue gak mau lo bikin masalah di sini. Kalau lo mau mabuk, jangan di rumah."

El tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan di dalamnya. "Lucu ya, lo sok nyuruh-nyuruh gue, padahal lo juga gak betah di sini."

Ruka mengepalkan tangannya, berusaha menahan amarah. "Ya, gue memang gak betah. Makanya gue tunggu waktu yang tepat buat cabut."

Kata-katanya itu membuat El terdiam. Ia menatap Ruka dalam-dalam, seolah sedang mencerna ucapan itu. Ada sesuatu di matanya yang membuat Ruka sedikit gentar—rasa terluka, atau mungkin penyesalan? Tapi itu hanya sesaat, karena El segera mengalihkan pandangannya.

"Bagus. Gue juga gak butuh lo di sini," katanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.

Ruka menelan ludah, hatinya bergetar tanpa alasan yang jelas. Ia memilih untuk tidak menjawab dan berbalik menuju kamarnya. Mengumpat sepanjang malam, menyalahkan kedua orangtuanya yang dengan tega menikahkannya dengan Badboy seperti El Zio.

***

Berbeda dengan hubungannya yang dingin bersama El, kehidupan Ruka di sekolah justru terasa lebih berwarna. Kedekatannya dengan Diego semakin terlihat, seperti bunga yang perlahan mekar di tengah keramaian. Mereka tidak pernah secara resmi mendefinisikan hubungan itu, tapi caranya Diego memperlakukan Ruka membuat banyak orang yakin ada sesuatu di antara mereka.

“Ruka, Diego lagi nungguin lo tuh di kantin,” seru Hana sambil mengerling nakal. “Ciee, makin mesra aja kalian.”

Ruka memutar bola matanya sambil membereskan buku-bukunya. “Mesra apanya sih? Biasa aja, Han.” Tapi rona merah yang mulai merayap di pipinya mengkhianati ucapannya.

“Biasa gimana? Semua anak di kelas udah ngeh kok kalau lo sama Diego tuh klik banget.” Hana mendekat, menepuk bahu Ruka dengan gaya dramatis. “Kalau gue jadi lo, langsung bilang ‘iya’ aja pas dia nembak. Jangan pura-pura jual mahal.”

Ruka tertawa kecil, meski jantungnya berdegup sedikit lebih kencang. Ia tahu Hana hanya bercanda, tapi ucapan itu seperti mengetuk sesuatu di dalam dirinya—sesuatu yang ia belum siap hadapi.

Di kantin, Diego sudah menunggu dengan senyum khasnya yang lembut. Dia melambai kecil saat melihat Ruka mendekat, membuat beberapa murid yang memperhatikan mulai berbisik-bisik. Tak jarang terdengar celetukan dari meja lain.

“Mereka cocok banget, ya.”

“Diego itu tipe cowok ideal banget, udah pinter, sopan, perhatian, ganteng lagi.”

Ruka berusaha mengabaikan komentar itu, tapi sulit untuk tidak merasa gugup. Diego, di sisi lain, terlihat santai seperti biasa. Dia menarik kursi di sebelahnya untuk Ruka dan menyodorkan segelas jus mangga.

“Gue pesenin ini buat lo. Lo suka, kan?” katanya tanpa basa-basi.

Ruka tertegun sesaat sebelum akhirnya tersenyum. “Makasih, lo perhatian banget.”

Hana yang duduk di seberang meja pura-pura terbatuk sambil melirik ke arah mereka. “Duh, kalau liat kalian berdua kayak gini, gue jadi pengen punya pacar juga, deh.”

Diego hanya terkekeh. “Hana, lo tuh yang terlalu pemilih. Kalau gue kenalin temen-temen gue, lo mau gak?”

“Ck, jangan alihin topik. Kita lagi bahas lo sama Ruka, bukan gue.” Hana menunjuk mereka bergantian dengan sumpitnya.

Diego menatap Ruka, ekspresinya mendadak serius. “Ruka, lo beneran gak keberatan kan gue sering ngajak lo ngobrol atau jalan kayak gini?”

Ruka mengerutkan kening, bingung dengan pertanyaan Diego. "Keberatan kenapa? Gue malah seneng ada yang ngajak gue nongkrong."

Diego tersenyum kecil, lalu mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat. "Berarti nanti malam bisa dong kita hangout."

"Kemana?"

Diego mengangkat bahu, senyumannya semakin lebar. "Malming aja. Muter-muter atau sekadar jajan tahu bulat."

Ruka tak bisa menahan tawa. Diego selalu tahu bagaimana mencairkan suasana. "Oke."

"Gue jemput lo di rumah jam tujuh malam ya?"

"NO!" serunya hampir memekik, membuat beberapa murid di kantin melirik ke arah mereka. Ruka buru-buru menurunkan nada suaranya. "KETEMU AJA LANGSUNG DISANA."

Alis Diego terangkat sebelah, merasa heran dengan sikap Ruka yang tiba-tiba defensif. "Kenapa gue gak boleh jemput? Gak masalah kok, gue bakal sopan banget kalau ketemu keluarga lo."

Ruka terdiam sejenak, otaknya berputar cepat mencari alasan yang masuk akal. "Bukan gak boleh, Di... Itu... Itu loh..." Dia menggigit bibirnya, berusaha terdengar meyakinkan. "Bokap gue rewel banget kalau udah urusan sama cowok."

Diego menyipitkan mata, jelas tidak sepenuhnya percaya. "Tapi, Ruka... terlalu gak sopan kalau gue ngajak lo jalan tanpa izin dari bokap lo? Gue kan mau berusaha jadi cowok yang baik, gak mau kayak sembunyi-sembunyi gitu."

"Gak apa-apa, Diego. Beneran, bokap gue santai kok kalau gue bilang mau keluar sama temen." Ruka mencoba meyakinkan. Kalau Diego jemput di rumah dan bertemu dengan El, semua kebohongan ini pasti akan terbongkar.

"Yakin gak apa-apa?"

"Yakin, Di. Gue tahu gimana bokap gue. Pokoknya lebih baik kita ketemuan aja langsung di tempat. Simple, kan?"

Meski masih merasa ada yang aneh, Diego akhirnya mengangguk. "Oke, kalau lo bilang gitu. Kita ketemuan di sana jam tujuh ya. Jangan telat."

"Siap, Kapten. Gue pasti on time."

***

Di depan cermin, Ruka memoles pipinya dengan blush-on lembut sambil bersenandung kecil. Cahaya lampu meja rias memantulkan rona kemerahan di pipinya, menciptakan efek segar yang membuat senyumnya semakin manis. Dia memiringkan kepala, menilai hasil karyanya dengan saksama.

"Perfect!" serunya puas, seraya menjentikkan kuas blush-on ke udara dengan gaya dramatis. Wajahnya kini tampak lebih cerah, persis seperti suasana hatinya malam itu.

Ruka melirik pantulan dirinya sekali lagi, memastikan setiap detail sempurna. Rambutnya terurai rapi, sedikit bergelombang di ujung, dan lip gloss bening di bibirnya memberi sentuhan akhir yang pas. Dia menatap jam dinding—jarum pendek hampir mendekati angka tujuh. Napasnya tertahan sejenak.

"Santai, Ruka. Ini cuma nongkrong biasa," gumamnya pada diri sendiri, meski detak jantungnya berkata lain.

Saat dia keluar dari kamar, El sudah menunggunya didepan pintu. Tanpa berbicara sepatah katapun, dia memasang paksa helm ke kepala Ruka. "ikut gue!"

"Ogah, apa-apaan sih, lo!" Ruka menatap El dengan tajam, napasnya memburu karena kesal. "Lo udah gila? Ngapain nyuruh gue kayak anak kecil?" sergahnya, tetap bertahan di tempat tanpa mengindahkan perintah El. Helm yang tadi dipasang paksa kini tergantung lemas di tangannya.

El mendekat, tatapan dinginnya seolah menembus Ruka, membuat gadis itu tanpa sadar mundur selangkah, "ikut gue, atau lo bakalan menyesal seumur hidup."

Ruka terperangah. "Lo ngancam gue? El, lo pikir lo siapa?"

"Bacot!" El kehilangan kesabarannya. Dengan gerakan cepat, dia membungkuk, mengangkat tubuh Ruka dengan mudah seperti mengangkat sekarung beras.

"EL! APA-APAAN SIH? TURUNIN GUE!!!" Ruka meronta, memukul bahunya, tetapi sia-sia. Tubuh jangkung lelaki itu tidak bergeming sedikit pun, otot-ototnya menegang saat dia mendudukkan Ruka di atas motor dengan paksa.

"Duduk diam, atau gue sumpal mulut lo." suara El terdengar datar, tetapi matanya menunjukkan bahwa dia tidak main-main.

Ruka mendelik padanya, napasnya memburu, tapi kali ini dia memilih untuk tidak melawan. Bukan karena takut, tapi karena dia tahu percuma. El selalu punya cara untuk membuatnya kalah. Tangannya mengepal kuat di atas lutut, menahan emosi yang hampir meledak.

El melempar helm ke pangkuannya dengan kasar. "Pakai."

"Lo beneran sinting!" sergah Ruka, tetapi dia tetap mematuhi perintah itu, memasang helm dengan gerakan penuh kemarahan.

Tanpa sepatah kata lagi, El melompat ke atas motor, menyalakan mesin, dan melesat meninggalkan halaman rumah. Di sepanjang perjalanan, suasana begitu tegang. Angin malam yang menusuk tidak tidak mampu meredakan amarah yang menyala di dada Ruka. Dia ingin berteriak, ingin melompat dari motor, tetapi El melaju terlalu cepat.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, motor itu akhirnya berhenti di bandara. Suara bising mesin dan langkah kaki orang-orang yang berlalu-lalang langsung menyeruak ke telinga Ruka. Tanpa menunggu, dia turun dari motor dengan tergesa-gesa, melepas helm, lalu melemparkannya ke tanah.

"Mau ngapain ke sini lagi? Ketemu nyokap lo? Ogah!" ucapnya sinis, tatapan tajamnya mengarah pada El.

El tidak menanggapi. Wajahnya tegang, dan tanpa basa-basi, dia meraih tangan Ruka dan menariknya dengan langkah cepat.

"El! Lepasin! Gue bisa jalan sendiri!" Ruka mencoba memberontak, tapi genggaman El terlalu kuat.

"Diam, Ruka. Kita gak punya waktu."

Dia terus menyeret Ruka, tanpa peduli gadis itu terus mengumpat di belakangnya. Ruka nyaris tersandung beberapa kali, tetapi El tidak memperlambat langkahnya sedikit pun.

Sesampainya di lounge, El berhenti mendadak. Nafasnya memburu, dan matanya menunjuk ke arah seorang wanita yang duduk di sudut ruangan. Wanita itu mengenakan kacamata hitam besar yang hampir sepenuhnya menyembunyikan wajahnya. Rambutnya menjuntai menutupi sebagian wajahnya, dan di sampingnya ada koper besar yang tampak sudah siap untuk perjalanan jauh.

Ruka mengerutkan kening, berusaha mengenali sosok itu. Namun, dia tidak perlu lama menebak. Ada sesuatu dalam postur wanita itu yang sangat akrab baginya, seolah tubuhnya tahu lebih dulu sebelum pikirannya sempat memproses.

"Mama..." gumamnya lirih, nyaris tercekat di tenggorokan.

Tanpa pikir panjang, Ruka melepaskan genggaman El dan berlari menghampiri wanita itu.

Wanita itu tampak terkejut mendengar panggilan tersebut. Dia melepas kacamata hitamnya perlahan, memperlihatkan wajah yang cantik tetapi terlihat letih dengan mata yang membengkak.

"Ruka?" panggilnya dengan suara gemetar, tetapi tangannya terulur untuk menyambut kedatangan putri semata wayangnya.

Ruka langsung memeluk ibunya erat, seolah takut kehilangan. "Mama... Mama mau kemana? Papa di mana? Kenapa koper Mama besar sekali?" tanyanya bertubi-tubi.

Wanita itu menghela napas panjang, memeluk Ruka lebih erat "Mama..." dia terdiam sejenak, matanya melirik ke arah El yang berdiri tak jauh dari mereka, sebelum kembali ke wajah Ruka. "...Mama harus pergi, sayang. Ada banyak hal yang Mama gak bisa jelaskan sekarang."

"Pergi? Pergi ke mana, Ma? Kenapa Papa gak ada di sini? Apa Mama ninggalin Papa?"

Wanita itu terlihat semakin gelisah. Matanya kembali menatap koper di sampingnya, lalu beralih ke wajah Ruka. "Ruka, ini bukan sesuatu yang mudah Mama jelaskan sekarang. Tapi... percaya sama Mama. Ini yang terbaik untuk kita semua."

"Terbaik? Terbaik apa, Ma? Mama ninggalin Papa, ninggalin Ruka juga, itu yang Mama bilang terbaik?"

"Cukup, Ruka. Biarkan Mama lo menjelaskan."

"Jangan ikut campur, El!"

Wanita itu meraih tangan Ruka, memegangnya erat. "Sayang, dengarkan Mama. Kadang, untuk melindungi orang yang kita sayang, kita harus membuat keputusan yang sulit. Mama... Mama gak punya pilihan lain. Satu yang kamu harus tahu, Mama sudah bercerai dengan Papa hari ini."

"Apa maksud Mama? Bercerai? Apa yang sebenarnya terjadi, Ma?"

Namun, sebelum wanita itu sempat menjawab, suara pengumuman penerbangan menggema di seluruh lounge, memecah keheningan yang tegang. Dia melirik ke arah layar informasi, dan wajahnya terlihat semakin berat.

"Mama harus pergi sekarang."

"Mama... jangan pergi. Ruka gak mau ditinggal." Ruka memeluk ibunya sekali lagi, kali ini lebih erat, air matanya semakin deras. "Ruka ikut, Ma."

"Gak sayang, Ruka harus jaga Papa disini. Jaga diri kamu baik-baik, Ruka. Mama selalu sayang sama kamu, ingat itu."

Dia perlahan melepaskan pelukan Ruka, lalu meraih kopernya. Sebelum pergi, dia melirik El, memberikan tatapan penuh makna yang tidak dimengerti Ruka. El hanya mengangguk kecil, wajahnya tetap dingin seperti biasa.

Ruka hanya bisa berdiri mematung, menyaksikan punggung ibunya yang semakin menjauh. Perasaan hancur perlahan menggerogoti hatinya. Untuk kesekian kalinya, dia ditinggalkan tanpa penjelasan yang jelas. Di tengah keheningan itu, hanya satu pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya: "Apa yang sebenarnya terjadi?"

Bersambung...

____

Hai Assalamualaikum, Terimakasih sudah membaca sampai Bab ini. Zhy benar-benar berterima sebanyak-banyaknya.

Oiyah yang suka novel ini tolong like, vote dan komen ya.

Sarangheo...

1
🌛Dee🌜
🤦yaampun😮‍💨
🌛Dee🌜
😂👍
🌛Dee🌜
😲
Surinten wardana
Aigu Ruka serem juga y Klw marah
Nunna Zhy: iya, jiwa bar-bar nya lgsg nongol
total 1 replies
🌛Dee🌜
😄
hasatsk
karya yang luar biasa.karakter 2 orang yang keras kepala dan ego yang tinggi...di satukan dalam pernikahan...penasaran akhir cerita nya...
Nunna Zhy: keduanya sm2 batu, bikin seru tiada hari tanpa ribut 🤭 wkwwk
total 1 replies
🌛Dee🌜
👍👍👍
🌛Dee🌜
🫣
🌛Dee🌜
😲
Surinten wardana
Pasti si riko deh pasangannya hana🤣🤣🤣🤣
Nunna Zhy: wah kok tau?
total 1 replies
🌛Dee🌜
eh jgn terlalu kejam dg 🤭😂🤣
Nunna Zhy: hehehe, Zhy suka yg kejam2 soalnya 🤭
total 1 replies
🌛Dee🌜
👍
Surinten wardana
Ke gep dah
Nunna Zhy: /Tongue/
total 1 replies
🌛Dee🌜
🤭
🌛Dee🌜
👍
🌛Dee🌜
😲
🌛Dee🌜
👍
🌛Dee🌜
🫶
🌛Dee🌜
🤭
🌛Dee🌜
🤍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!