"Tidak semudah itu kamu akan menang, Mas! Kau dan selingkuhanmu akan ku hancurkan sebelum kutinggalkan!"
~Varissa
_____________________
Varissa tak pernah menyangka bahwa suami yang selama ini terlihat begitu mencintainya ternyata mampu mendua dengan perempuan lain. Sakit yang tak tertahankan membawa Varissa melarikan diri usai melihat sang suami bercinta dengan begitu bergairah bersama seorang perempuan yang lebih pantas disebut perempuan jalang. Ditengah rasa sakit hati itu, Varissa akhirnya terlibat dalam sebuah kecelakaan yang membuat dirinya harus koma dirumah sakit.
Dan, begitu wanita itu kembali tersadar, hanya ada satu tekad dalam hatinya yaitu menghancurkan Erik, sang suami beserta seluruh keluarganya.
"Aku tahu kau selingkuh, Mas!" gumam Varissa dalam hati dengan tersenyum sinis.
Pembalasan pun akhirnya dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Murkanya Varissa
"Ini gimana, Rik?" tutur Harun putus asa. Sudah hampir dua hari lelaki paruh baya itu tidak bisa tidur. Restoran sudah ditutup. Penipu yang mengaku sebagai Gisam Butena itu telah menjual restorannya kepada sosok pria misterius yang katanya masih berada di luar negeri.
Syok, terpukul, serta putus asa. Begitu perasaan Harun saat ini. Restoran itu satu-satunya sumber pemasukan keluarga mereka selama ini. Meski tidak perlu menanggung biaya kuliah Tika, namun pengeluaran rumah tangganya tetap saja membludak tiap bulannya.
"Nah, kan! Karmanya mulai berlaku! Ini semua gara-gara, Abang!" tuduh Tika kepada kakaknya.
"Kok, Abang?" tanya Erik tidak terima.
"Siapa suruh selingkuhin Mbak Varissa? Lihat kan, jadinya?" Tika merentangkan tangan lebar-lebar. "Ujung-ujungnya, keluarga kita yang kena karma!"
"Huss!" Retno menepuk paha Tika. Gadis berusia 20 tahun itu mendengus tak terima. Ia berdiri dari kursinya. Berkacak pinggang tak terima sambil menatap benci pada Ibu yang selalu membela tindakan kakak laki-lakinya.
"Lihat aja, Ma! Kalau sampai Mbak Varissa tahu kelakuan Abang, Tika nggak akan pernah mau ikut kecipratan sialnya. Apalagi, kalau sampai Mbak Varissa cabut seluruh fasilitas yang Tika miliki, Tika lebih baik bunuh diri. Dan itu semua gara-gara Abang, Mama dan juga Papa!" teriak Tika kesal.
"Ngomong apa sih kamu, Tik?" geram Retno kesal. Putrinya bungsunya memang selalu menambah masalah. Entah kapan, anak itu bisa dewasa.
"Urusan Papa gimana, Rik?" Harun mendesak. Mengembalikan lagi topik yang sempat bergeser akibat ulah Tika.
"Papa udah coba hubungi pengacara?"
"Uang darimana, Rik?" celetuk Retno sebal. "Uang DP yang di kasih penipu itu aja, udah habis dipakai sama Papa kamu."
"Tarik dari simpanan Mama, kan bisa," usul Erik.
Retno membuang muka. Cincin berlian yang selalu dia gaungkan didepan Varissa sudah melingkar indah dijari manisnya. Hasil dari menguras tabungan yang jumlahnya memang tidak seberapa akibat gaya hidup yang terlalu banyak pamer dan tak mau kalah.
"Udah habis," jawabnya ketus.
"Mama beli berlian lagi?" tanya Erik frustasi. Sepasang matanya baru saja menangkap benda mengkilat yang nampak asing di matanya. Itu cincin baru.
"Ehm," jawab Retno setengah hati.
"Mending kita lapor ke Varissa aja, deh! Papa yakin pasti Pak Reno bisa bantu kita buat dapetin restoran itu lagi kalau Varissa yang minta," usul Harun.
"Nggak!" Erik menolak. "Aku sama Varissa masih marahan, Pa! Kalau sampai dia tahu kalau restoran peninggalan Papanya udah diambil alih sama orang lain, bisa-bisa dia tambah marah."
"Ancam ceraiin aja, Rik! Susah amat," sergah Retno sambil bersedekap angkuh. "Palingan juga, dia bakalan sujud-sujud di kaki kamu kalau di ancam. Lagian, dia itu bisa apa sih tanpa kamu? Memangnya, dia punya orang lain yang bersedia mengurus dia selain keluarga kita? Nggak ada, kan?"
"Nanti, aku coba obrolin dulu deh ke Varissa. Ya?"
"Ya memang harus. Itu 'kan resto bersejarah peninggalan Papanya. Kalau memang resto itu berarti buat dia, harusnya dia berjuang dengan segala cara buat dapetin resto itu kembali dong!" Retno mendengus. Merasa sangat diatas angin berkat cinta Varissa yang masih ia kira sebesar dulu pada anaknya.
****
Sore hari saat pulang kerja, Erik sengaja membeli sebuket mawar merah untuk Varissa. Penuh senyum lebar, Erik menghampiri sang istri yang sedang bersantai di pinggir kolam renang sambil membaca novel favoritnya. Kedua kaki putih itu tampak terendam di air. Bergerak beberapa kali saat mata sang pemilik menemukan bagian favorit di deretan kalimat panjang yang dia baca.
"Sayang," Erik mencium pipi Varissa sembari menghadiahkan buket mawar merah yang dibawanya.
"Tumben, Mas?" tanya Varissa heran. Gelagat aneh mulai tercium. Varissa sudah mulai bisa membaca situasi. Namun, tangannya tetap menerima buket mawar merah yang diberikan suaminya dengan senang hati. Yang namanya hadiah tetap saja hadiah. Meski berasal dari musuh sekali pun.
"Va, aku mau ngomong sebentar sama kamu, bisa?" tanya Erik ragu.
"Ngomong apa?" tanya Varissa yang berpura-pura tidak tahu. Padahal, momen ini sudah dia tunggu sudah dari kemarin.
"Ini tentang restoran yang dikelola Papa."
"Ada apa sama restoran itu, Mas?"
Erik menggaruk pelipis yang mendadak gatal. Ada sedikit ragu yang terselip di sanubari. Ia takut reaksi Varissa akan sangat jauh dari perkiraan yang telah di prediksi ibunya.
"Ngobrol didalam, yuk!" ajak Erik. Ia mengulurkan tangan, membantu Varissa untuk berdiri.
"Kenapa, Mas? Kok muka kamu pucat, gitu?" tanya Varissa sambil meletakkan bunga pemberian Erik diatas meja.
"Gini, Va!" Kedua kaki Erik tak bisa diam. Dia bingung harus merangkai kata yang seperti apa agar Varissa tidak marah nantinya.
"Apa sih, Mas? Kalau masih lama, mending aku balik ke belakang lagi aja!" Varissa berdiri, hendak beranjak pergi.
"Bentar, Va!"
Tuh, kan? Varissa yang penyabar perlahan mulai ikut menghilang.
"Cepetan, Mas!" Varissa mendesak dengan wajah tidak sabaran.
"Papa kena tipu," ucap Erik terus terang.
"Kena tipu gimana maksudnya?" Dahi Varissa berkerut. Berpura-pura seolah tak mengerti dengan ucapan Erik.
Mulailah penjelasan Erik dari awal permasalahan hingga berujung pada penjualan yang ternyata hanya sebatas penipuan. Lelaki itu menjelaskan sesuai dengan apa yang diberitahukan oleh Ayahnya. Tidak dikurangi, malah di tambah sedikit-sedikit agar Ayahnya lebih terlihat sebagai korban yang teraniaya.
"Jadi, Papa Harun ngejual restoran itu, Mas?" Mulut Varissa setengah terbuka. Wajahnya syok bukan main. "Bagaimana bisa, Mas? Bukannya aku udah bilang kalau restoran itu punya sejarah dan kenangan yang panjang tentang perjuangan Papaku? Kok Papa Harun bisa setega itu hanya demi uang?"
"Tapi, Papaku kan juga ditipu, Va! Jadi, Papaku juga nggak salah sepenuhnya. Ini semua salah si penipu itu!" Erik memberi pembelaan yang sengit.
"Nggak salah?" Varissa membantah tegas. "Mana mungkin, Mas? Ada niatan menjual saja, itu sudah salah! Bagaimana bisa Papa Harun lebih tergiur uang yang bahkan andai nominalnya seratus kali lipat pun, nggak akan mampu membeli segala kenangan dan sejarah yang tersimpan di restoran itu?"
Erik habis kesabaran. Dia berdiri. Melempar asbak yang berada diatas meja ke dinding bercat putih gading tepat dibelakang Varissa.
"Semuanya udah kejadian, Va! Mau diapain lagi? Protes juga nggak ada gunanya, kan? Sekarang, yang harus kamu pikirin, justru gimana caranya dapetin kembali restoran itu! Bukan malah marah-marah nggak jelas dan menyalahkan semuanya ke Papaku!" Erik berkacak pinggang. Tak mau kalah dalam perdebatan.
Varissa meringis mendengar ucapan sang suami. Pun, dengan kelakuan asli Erik yang ternyata benar-benar menjijikkan baginya. Dia hanya bisa tertawa sumbang.
"Jadi, kamu membenarkan semua kelakuan Papa kamu, Mas?" Varissa menatap tajam lawan bicaranya.
"Bukan saatnya untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, Varissa!" Erik berkata tegas dengan rahang mengetat. "Daripada kamu terus marah-marah begini, mending kamu hubungi Pak Reno, dan minta dia urus segalanya. Simple, kan?"
Varissa mengangguk-anggukkan kepala. Air matanya mulai tertampung nyaris tak terbendung. Seluruh tubuhnya bergetar, berusaha meredam emosi yang nyaris meledak karena kata-kata menyakitkan dari Erik. Tidak sedikitpun rasa bersalah yang ditunjukkan lelaki itu. Bahkan, sekadar permintaan maaf pun tidak Varissa dapatkan.
"Simple kamu bilang, Mas?" Varissa menyeka air mata yang terlanjur jatuh.
"Aku sekarang udah mulai paham."
Dia berdiri. Berjalan mendekati Erik lalu menunjuk-nunjuk dada pria itu berulangkali sambil bicara. "Ternyata, selama ini cuma aku yang berusaha menganggap kamu dan keluarga kamu adalah bagian dari diri aku. Sementara, kalian?" Varissa menatap tajam netra Erik.
"Kalian hanya menganggap aku sebagai sumber uang aja, kan? Hal yang sangat berarti untuk aku aja, kamu nggak peduli sama sekali, Mas! Kamu egois!" teriak Varissa berderai air mata.
Wanita itu berbalik. Mengambil dengan kasar buket mawar merah pemberian Erik lalu melemparkannya dengan keras ke wajah sang pemberi.
"Ambil sogokan kamu! Aku nggak butuh!"
Dan itu hanya kepadamu Dikta,,,,🤭🥰