Deskripsi:
Di sebuah ruang sunyi yang dihiasi mawar merah dan lilin-lilin berpendar redup, seorang pengantin dengan gaun merah darah duduk dalam keheningan yang mencekam. Wajahnya pucat, matanya mengeluarkan air mata darah, membawa kisah pilu yang tak terucap. Mawar-mawar di sekelilingnya adalah simbol cinta dan tragedi, setiap kelopaknya menandakan nyawa yang terenggut dalam ritual terlarang. Siapa dia? Dan mengapa ia terperangkap di antara cinta dan kutukan?
Ketika seorang pria pemberani tanpa sengaja memasuki dunia yang tak kasat mata ini, ia menyadari bahwa pengantin itu bukan hanya hantu yang mencari pembalasan, tetapi juga jiwa yang merindukan akhir dari penderitaannya. Namun, untuk membebaskannya, ia harus menghadapi kutukan yang telah berakar dalam selama berabad-abad.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16: JEJAK YANG TERTINGGAL
Keheningan menggantung di udara, seperti kabut tebal yang menutupi segala sesuatu. Puncak Gunung Gelap, tempat yang menyaksikan pertarungan brutal antara Vera dan makhluk bayangan itu, kini dipenuhi oleh puing-puing yang tertinggal. Tak ada lagi suara selain angin yang berdesir pelan melalui celah-celah batu yang terjal. Semua terasa kosong—kehilangan begitu terasa, dan kemenangan yang diraih seolah sia-sia.
Vera berdiri di tengah kehancuran, tubuhnya masih gemetar dari adrenalin yang mereda, namun hatinya dipenuhi oleh kekosongan. Raka, Arjuna, Maya, dan pria tua yang telah memandu mereka, semuanya telah tiada. Semua pengorbanan itu kini terasa begitu sia-sia, seperti lonceng kematian yang terus berdentang di benaknya. Tak ada yang tersisa selain diri Vera sendiri.
Dia menatap tangan kanannya yang masih menggenggam belati yang telah membunuh makhluk itu. Senjata yang digunakan untuk menyelamatkan dunia ini, namun tetap saja, dia merasa seperti dia tidak mendapatkan apa-apa selain kehancuran.
"Kita berhasil mengalahkannya," bisiknya pelan, seperti meyakinkan dirinya sendiri. "Tapi, dengan harga yang begitu tinggi..."
Di kejauhan, bayang-bayang mulai bergerak. Vera menoleh dengan cepat, merasa ada sesuatu yang berbeda. "Siapa itu?" pikirnya, hatinya kembali berdebar. Setelah semua yang terjadi, dia tak bisa lagi merasa aman begitu saja.
Namun, tidak ada yang muncul. Hanya angin yang menggoyangkan pepohonan di bawah. Mungkin itu hanya ilusi, atau mungkin itu hanya suara angin yang aneh. Namun, dia tetap tidak bisa menepis perasaan cemas yang menguasai dirinya.
"Harus ada sesuatu lagi," katanya, berbisik pada dirinya sendiri.
Vera memutuskan untuk melangkah maju. Puncak gunung ini tak memberi apa-apa selain rasa keputusasaan, dan dunia yang mereka selamatkan tampak terjatuh ke dalam kegelapan yang lebih dalam. Setiap langkahnya terasa lebih berat, dan setiap napas yang diambilnya terasa penuh dengan beban. "Aku harus kembali," pikirnya, "kembali untuk melihat apakah ada yang tersisa."
Dia melangkah menuju lereng gunung yang curam, mencoba menuruni jalan sempit yang penuh dengan batu besar dan pepohonan yang tumbang. Begitu banyak yang telah hilang. Teman-temannya, para pemandu, dan bahkan dirinya sendiri seakan menjadi bagian dari dunia yang hampir hancur. Kegelapan tidak hanya ada di luar, tetapi kini sudah merasuk ke dalam dirinya.
Tiba-tiba, sebuah suara menggema dari belakangnya, suara yang sangat familiar, namun penuh dengan kegelapan. "Kau tidak akan pernah pergi begitu saja..."
Vera berbalik dengan cepat, dan matanya melebar saat melihat sosok yang berdiri di tengah kabut yang mulai mengisi lembah itu. Sosok yang tak asing—itu adalah Dimas, teman yang mereka tinggalkan di awal perjalanan mereka. Namun, kali ini, Dimas tampak berbeda. Matanya kosong, tubuhnya dipenuhi oleh luka-luka yang mengerikan, dan kulitnya terlihat pucat, hampir seperti mayat hidup.
"Dimas?" Vera berbisik, suaranya hampir tak terdengar, tetapi penuh dengan kebingungan dan rasa takut. "Apa yang terjadi padamu?"
Dimas hanya tertawa, namun suaranya terdengar terdistorsi, penuh dengan kebencian yang mengerikan. "Kalian... yang terlalu naif... Tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Vera mundur selangkah, jantungnya berdetak kencang. "Kau... bukan Dimas lagi, kan?" katanya dengan suara gemetar, merasa ketakutan yang mendalam merayap di tubuhnya.
"Aku adalah bagian dari dunia yang kalian coba lupakan," kata Dimas, suaranya semakin menyeramkan. "Kalian pikir kalian telah mengalahkan segala sesuatu? Kalian hanya membuka jalan bagi kegelapan yang lebih besar."
Vera mengangkat belatinya, siap untuk menghadapi ancaman baru yang muncul di hadapannya. Namun, saat dia menatap Dimas, dia tahu bahwa pertempuran ini tidak akan sama seperti sebelumnya. Dimas bukan hanya korban, tetapi juga telah berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih gelap dan menakutkan.
"Apa yang kalian lakukan tidak pernah bisa mengembalikan semuanya," lanjut Dimas dengan suara mengerikan. "Kalian telah membuka gerbang yang tidak bisa kalian tutup kembali."
Sebelum Vera sempat bertindak, Dimas bergerak dengan kecepatan yang luar biasa, seperti bayangan yang menyambar. Vera mengangkat belatinya dengan cepat, tetapi Dimas melompat ke samping, bergerak dengan kelincahan yang tak terduga. Dengan satu serangan, tangan Dimas menempel di dada Vera, menekannya dengan kekuatan yang tak terbayangkan. Vera terhuyung mundur, terjatuh ke tanah, tubuhnya terasa sangat lemah.
"Kau tidak bisa lari dari takdirmu," kata Dimas, menghampiri Vera dengan langkah pelan, namun setiap langkahnya seperti memberikan tekanan yang semakin besar. "Takdir kalian telah ditentukan."
Vera berusaha bangkit, tetapi tubuhnya terasa begitu berat. "Tidak... aku tidak akan menyerah..." katanya dengan suara terengah-engah, meskipun darah mulai mengalir dari luka di tubuhnya.
Dimas mendekat, namun tiba-tiba, suara keras menggelegar terdengar dari belakang. Sebuah kilatan cahaya terang membelah kegelapan. Seorang sosok muncul, melompat dari kejauhan, dengan pedang besar yang bersinar. Itu adalah Raka, namun kali ini, tubuhnya tampak lebih kuat, lebih hidup—seakan dia kembali dari kematian, dengan aura yang berbeda.
"Kau tidak akan menang," kata Raka dengan suara yang penuh kekuatan, mengangkat pedangnya untuk melawan Dimas.
Dimas berhenti sejenak, menatap Raka dengan tatapan penuh kebencian. "Kalian pikir kalian bisa menghentikan takdir?" katanya, suaranya semakin penuh amarah.
Raka melompat maju, mengayunkan pedangnya dengan kecepatan yang luar biasa. Namun, Dimas menangkisnya dengan tangan kosong, mengeluarkan kekuatan yang sangat besar. Dua kekuatan besar itu bertabrakan, menghasilkan ledakan yang mengguncang seluruh lembah.
Vera, yang masih terbaring di tanah, memandang dengan penuh kebingungan dan rasa takut. "Apa yang terjadi?" pikirnya, tubuhnya yang lemah tidak bisa melawan arus pertarungan yang begitu dahsyat.
Kehidupan dan kematian kini berbaur dalam pertempuran itu. Tak ada lagi pilihan selain bertahan—meskipun, pada akhirnya, setiap jiwa yang terlibat di dalamnya harus membayar harga yang sangat mahal.