Hujan deras di tengah malam menyatukan langkah dua orang asing, Dasha dan Gavin di bawah payung yang sama. Keduanya terjebak di sebuah kafe kecil, berbagi cerita yang tak pernah mereka bayangkan akan mengubah hidup masing-masing.
Namun hubungan mereka diuji ketika masa lalu Gavin yang kelam kembali menghantui, dan rahasia besar yang disimpan Dasha mulai terkuak. Saat kepercayaan mulai retak, keduanya harus memilih menghadapi kenyataan bersama atau menyerah pada luka lama yang terus menghantui.
Mampukah Dasha dan Gavin melawan badai yang mengancam hubungan mereka? Ataukah hujan hanya akan menjadi saksi bisu sebuah perpisahan?
Sebuah kisah penuh emosi, pengorbanan, dan perjuangan cinta di tengah derasnya hujan. Jangan lewatkan perjalanan mereka yang menggetarkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Dasha sedang berjalan menuju kafe favoritnya, sebuah tempat yang tenang dan nyaman di sudut kota, tempat di mana ia bisa melupakan sejenak semua rutinitas kantor yang melelahkan. Hari itu, cuaca cerah, dan angin sepoi-sepoi membuatnya merasa sedikit lebih ringan. Dengan secangkir kopi hangat di tangan, ia duduk di meja pojok dekat jendela, menikmati ketenangan sore itu.
Namun, ketenangan itu segera terpecah ketika ia mendengar suara yang familiar di belakangnya.
"Dasha?"
Dasha menoleh, dan pandangannya langsung tertuju pada seseorang yang sudah lama ia hindari. Wajah itu, meskipun agak berubah, masih tetap dikenalnya dengan jelas. Itu adalah Aldo, mantan kekasihnya yang dulu sangat ia cintai, namun kini menjadi bagian dari masa lalu yang ingin ia lupakan.
"Hey," Aldo melangkah mendekat, senyumannya yang dulu sering membuat jantung Dasha berdebar kini terasa aneh dan sedikit menakutkan. "Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini."
Dasha tersentak. Ia tahu Aldo tidak akan mudah menyerah, bahkan setelah hubungan mereka berakhir. Tapi ia tidak menyangka pria itu masih ada di sekitarnya.
"Rupanya kamu masih sering ke sini," Dasha berkata, berusaha untuk tetap tenang meski hati mulai berdebar cemas.
Aldo duduk di kursi seberang Dasha, tidak meminta izin, seolah-olah mereka masih dalam hubungan yang sama seperti dulu. "Iya, aku sering ke sini. Ini tempat favorit kita, kan?" katanya, sambil memandangi Dasha dengan tatapan yang terlalu intens.
Dasha menunduk, mencoba menghindari tatapan itu. Ia tahu betul bagaimana Aldo dulu begitu tergila-gila padanya, hingga sering kali melampaui batas yang wajar. Ia ingat bagaimana setiap kali ia mencoba menjauh, Aldo selalu muncul, mengirim pesan, atau bahkan datang ke tempat-tempat yang sering ia kunjungi. Dasha merasa seolah-olah ia terperangkap dalam dunia yang dikuasai oleh Aldo, tanpa bisa keluar.
"Aldo, sudah lama kita nggak bertemu," kata Dasha, mencoba menjaga jarak dalam percakapan mereka. "Apa kabar?"
Aldo tersenyum lebar, tetapi senyumnya terasa kosong dan sedikit menakutkan. "Kabar baik. Tapi aku sangat senang bisa bertemu denganmu lagi, Dasha. Aku nggak bisa berhenti memikirkanmu setelah kita putus."
Dasha terdiam. Kalimat itu mengingatkannya pada saat-saat yang penuh ketegangan dalam hubungan mereka, saat Aldo mulai menunjukkan sisi gelapnya yang obsesif. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa hubungan mereka telah berakhir, dan Dasha merasa terjebak dalam cengkraman obsesinya.
"Aldo, aku sudah move on. Kita sudah berpisah lama," Dasha berkata dengan tegas, berusaha mengesampingkan perasaan takut yang mulai merayapi dirinya. "Kita harus menerima kenyataan itu."
Namun, Aldo tidak terpengaruh dengan kata-kata Dasha. Ia malah semakin mendekat, tatapannya semakin intens. "Kamu nggak ngerti, Dasha. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Kita seharusnya bersama. Aku masih mencintaimu."
Dasha merasa hatinya bergetar, tetapi bukan karena cinta. Itu adalah rasa takut yang perlahan muncul. Dasha tahu ia harus menghindari situasi ini secepat mungkin, tetapi Aldo tidak membiarkannya pergi begitu saja.
"Aldo, aku minta maaf. Aku sudah bahagia dengan hidupku sekarang. Kamu harus belajar untuk melepaskan," kata Dasha, suaranya lebih tegas dan berusaha menunjukkan bahwa ia tidak ingin melibatkan dirinya dalam permainan manipulatif Aldo.
Aldo diam sejenak, tetapi senyumannya kembali mengembang, kali ini dengan ekspresi yang berbeda seperti seseorang yang merasa memiliki kendali. "Kamu nggak bisa lari dariku, Dasha. Aku akan terus mengejarmu. Aku akan buktikan bahwa kita bisa bersama lagi."
Mendengar kalimat itu, Dasha merasa tubuhnya kaku. Ia tahu Aldo tidak hanya berbicara tentang cinta, tetapi tentang obsesi yang telah lama membelenggu dirinya. Dasha merasa terjebak, tetapi kali ini ia tidak akan membiarkan dirinya jatuh ke dalam permainan itu lagi.
"Maaf, Aldo. Aku harus pergi," kata Dasha, berdiri dengan cepat dan meninggalkan kafe tanpa menoleh lagi.
Langkahnya cepat, jantungnya berdegup kencang, tetapi ia tahu ia tidak bisa membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa takut. Dasha berjalan keluar dari kafe dan menuju ke arah yang berlawanan, mencoba menenangkan diri.
Namun, meski ia tahu ia harus menjauhkan diri dari Aldo, bayangan pria itu tetap menghantui pikirannya. Dasha merasa takut dan cemas, tahu bahwa Aldo tidak akan berhenti sampai ia mendapatkan apa yang ia inginkan dia.
Tetapi kali ini Dasha bertekad. Tidak ada yang bisa mengendalikan hidupnya. Ia sudah cukup kuat untuk menghadapi semua ketakutan dan masa lalu yang menghantui. Aldo boleh berusaha, tetapi Dasha tahu ia tidak akan pernah kembali ke masa itu.
.
.
.
.
.
Dasha menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong, seolah-olah berusaha menyerap setiap kenangan yang muncul dari pertemuan kemarin dengan Aldo. Perasaan campur aduk menyeruak dalam dadanya sedih, lega, namun juga sedikit khawatir. Setelah sekian bulan memutuskan untuk mengakhiri hubungan, pertemuan itu terasa seperti menebak-nebak perasaan yang belum sepenuhnya usai.
Pertemuan mereka kemarin berlangsung di kafe favorit mereka. Suara lagu yang lembut, aroma kopi, dan kenangan-kenangan yang lama terpendam kembali menghampiri Dasha. Aldo terlihat sama seperti yang terakhir kali dia lihat mata tajam, senyum yang sering membuat jantungnya berdebar-debar, dan sikap tenangnya yang seolah mampu menghangatkan seluruh ruangan. Percakapan mereka berjalan lancar, meski banyak hal yang terisi dengan celah keheningan yang dalam. Aldo berbicara tentang mimpinya, tentang masa depan, dan Dasha merespons dengan hati yang masih bergetar.
Namun, Dasha tidak bisa mengabaikan ketakutannya yang baru. Setelah perpisahan mereka yang mengakhiri dua tahun kisah asmara, Aldo sempat menunjukkan sikap yang membingungkan dan kadang berpotensi meresahkan. Ada saat-saat ketika Dasha merasa khawatir Aldo bisa bertindak di luar kendali, melakukan sesuatu yang tidak terduga. Dasha tahu betul bahwa Aldo masih merasa terikat dengan kenangan masa lalu mereka, dan kadang-kadang perasaan itu bisa berubah menjadi obsesi yang sulit dipahami.
Pikirannya melayang kembali ke malam yang penuh dengan pertengkaran, air mata, dan kata-kata yang sulit terlupakan. Dasha ingat bagaimana Aldo sempat menunjukkan tanda-tanda frustasi yang mendalam, seolah-olah tidak bisa menghadapinya dengan cara yang sehat. Dia takut bahwa pertemuan kemarin hanya memperkuat dorongan Aldo untuk melakukan sesuatu yang impulsif, sesuatu yang bisa melukai dirinya atau orang lain.
Dia memutuskan untuk menghubungi teman-teman mereka yang mungkin tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi pada Aldo setelah perpisahan mereka. Seorang teman berbagi bahwa Aldo masih sering terlihat mengunjungi tempat-tempat yang dulu sering mereka kunjungi bersama, berharap menemukan kembali sesuatu yang hilang. "Tetap jaga dirimu, Dasha," pesan teman itu berakhir, menambah berat perasaan di dadanya.
Dasha merasa lelah, tetapi dia tahu bahwa dia tidak bisa membiarkan ketakutan itu menguasai hidupnya. Dia harus belajar untuk bergerak maju, meskipun itu berarti menjaga jarak dari kenangan dan emosi yang beracun. Bagaimanapun juga, dia layak mendapatkan kebahagiaan dan kedamaian yang utuh.
Meskipun perasaan cemas itu tidak akan hilang dalam semalam, Dasha bertekad untuk tidak membiarkan bayang-bayang masa lalu menentukan jalan hidupnya. Dengan langkah yang mantap, dia memutuskan untuk menutup chapter ini dan mulai menulis cerita baru, meski itu mungkin memerlukan waktu dan usaha yang besar.
Dan dengan setiap langkah maju, dia berharap dapat melepaskan ketakutan itu, menemukan kedamaian, dan akhirnya, menciptakan hidup yang sepenuhnya miliknya sendiri.