Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teori sosial ala Rehan
Rehan memang dikenal sebagai jenius di bidang fisika, tapi dalam hubungan sosial, ia seperti siswa yang gagal ujian. Dengan IQ tinggi dan kemampuan menganalisis yang luar biasa, ia merasa bisa menjelaskan segala sesuatu secara logis. Namun, di balik semua itu, ada satu kekurangan besar dalam dirinya: ia sama sekali tidak paham cara berinteraksi secara normal dengan manusia lain.
Salah satu korbannya adalah Aryo, teman kosnya. Hubungan mereka lebih menyerupai eksperimen sosial dibandingkan persahabatan biasa. Rehan selalu punya cara untuk membuat Aryo frustrasi dengan sikap dan perkataannya yang seringkali tidak sesuai dengan konteks sosial.
Suatu pagi yang cerah, Rehan keluar dari kamarnya dengan membawa kunci motor Aryo. Ia tidak repot-repot meminta izin lebih dulu, seperti biasanya. Namun, Aryo yang kebetulan duduk di ruang tamu langsung menyadari aksinya.
“Rehan! Lo mau ngapain bawa motor gue?” seru Aryo sambil meletakkan bungkus mi instan yang sedang ia makan.
Rehan menoleh dengan ekspresi datar. “Minimarket. Gue kehabisan kopi.”
Aryo mendengus. Ia tahu ini pasti akan menjadi salah satu diskusi yang melelahkan. “Lo isi bensin nggak? Kemarin gue liat indikatornya hampir habis.”
Rehan mengangkat alis. “Yo, lo tau nggak, kalau rata-rata sepeda motor menghabiskan 1 liter bensin untuk 40 kilometer? Sedangkan jarak minimarket cuma 1 kilometer pulang-pergi. Secara logis, gue nggak perlu isi bensin.”
Aryo menatapnya dengan kesal, tapi juga sedikit kagum pada keberanian Rehan yang selalu punya alasan logis untuk menghindari kewajiban kecil seperti itu. “Lo tuh terlalu logis! Tapi ya udah, bawa aja. Siapa tau di jalan ada yang kasih lo pacar.”
Rehan hanya membalas dengan senyum tipis. Baginya, cinta adalah konsep yang tidak penting dan terlalu berlebihan untuk dibahas. Fokus utamanya tetap pada fisika dan menemukan cara mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah pulang dari minimarket, Rehan menemukan Aryo sedang berbincang dengan dua teman mereka, Winda dan Andi, di ruang tamu kos. Seperti biasa, Aryo sedang menceritakan kebiasaan aneh Rehan.
“Gue bilang sama lo semua, Rehan itu alien. Lo harus liat cara dia ngejawab pertanyaan soal cinta. Waktu gue tanya dia pernah jatuh cinta apa nggak, lo tau dia jawab apa?”
Aryo bertanya kepada dua temannya sambil tertawa. Winda mengangkat alis, penasaran. “Apa jawabannya?”
Aryo berdeham, lalu menirukan suara Rehan. “‘Cinta itu cuma efek dari dopamin, serotonin, dan oksitosin. Tidak ada yang istimewa.’”
Winda dan Andi langsung tertawa terbahak-bahak. Rehan yang baru masuk membawa kantong plastik dari minimarket hanya menghela napas dan duduk di sofa. Ia meletakkan kantong itu di meja dan menatap mereka dengan pandangan datar.
“Gue nggak salah, kan? Penelitian membuktikan bahwa perasaan jatuh cinta hanya terjadi karena aktivasi tiga zat kimia utama di otak,” kata Rehan tenang. “Gue cuma menyampaikan fakta ilmiah.”
Andi menggeleng sambil masih tertawa. “Tapi, Han, manusia itu nggak cuma logika. Kadang kita harus pakai hati.”
“Pakai hati? Hati lo tuh organ yang tugasnya memompa darah, bukan buat mikir,” balas Rehan dengan ekspresi polos.
Kalimat itu sukses membuat mereka semua tertawa lagi, termasuk Aryo yang sudah kehabisan kata-kata untuk melawan argumen Rehan.
Namun, sikap Rehan yang terlalu logis itu tidak hanya membuatnya kesulitan dalam pergaulan. Kadang, ia juga menghadapi masalah di tempat kerja. Sebagai asisten dosen di universitas, ia sering kesulitan menjelaskan konsep-konsep rumit kepada mahasiswa yang tidak terlalu memahami fisika.
Suatu hari, saat memberikan asistensi kepada mahasiswa baru, seorang mahasiswi mengangkat tangan dan bertanya.
“Mas, saya masih nggak ngerti kenapa gaya gravitasi bisa dianggap sebagai kelengkungan ruang-waktu. Apa nggak lebih mudah menganggapnya sebagai gaya tarik menarik biasa?” tanya mahasiswi itu dengan nada ragu.
Rehan menatapnya sejenak, lalu menjawab dengan suara datar. “Karena jika gravitasi adalah gaya tarik menarik biasa, maka kecepatan cahaya tidak akan konstan. Itu akan merusak seluruh fondasi teori relativitas Einstein.”
Mahasiswi itu hanya mengangguk perlahan, meskipun wajahnya masih menunjukkan kebingungan. Sementara itu, salah satu mahasiswa lain berbisik kepada temannya.
“Gila, Mas Rehan ini kayak robot. Gue tanya konsep sederhana aja jawabannya kayak baca jurnal ilmiah.”
Rehan mendengar bisikan itu, tapi ia tidak terlalu peduli. Baginya, tugasnya adalah menyampaikan ilmu, bukan membuat orang merasa nyaman.
Kehidupan sosial Rehan yang “berantakan” ini sebenarnya sering membuat Aryo dan teman-temannya bingung. Mereka tidak mengerti bagaimana seorang yang begitu cerdas bisa begitu tidak peka terhadap emosi orang lain.
“Han, lo tuh sebenarnya punya temen selain gue, nggak?” tanya Aryo suatu malam saat mereka sedang duduk di ruang tamu.
Rehan mengangguk. “Punya. Gue temenan sama Einstein, Newton, dan Tesla.”
Aryo menatapnya dengan wajah datar. “Gue serius, Han.”
Rehan tersenyum kecil. “Gue juga serius. Tapi, kalau yang lo maksud adalah manusia yang hidup di zaman ini, mungkin cuma lo, Winda, dan Andi.”
Aryo menghela napas. “Lo nggak pernah mikir buat cari pacar, Han? Lo udah 25 tahun, loh.”
Rehan mengangkat bahu. “Gue nggak butuh pacar. Waktu gue lebih baik dipakai buat hal-hal produktif.”
“Misalnya?” Aryo menantang.
“Menulis artikel untuk blog gue, atau mencari teori baru untuk menjelaskan fenomena alam,” jawab Rehan tanpa ragu.
Aryo menggeleng sambil tersenyum. “Han, lo tuh manusia paling aneh yang pernah gue temui.”
Namun, meskipun Rehan sering dianggap aneh oleh orang-orang di sekitarnya, ia sebenarnya tidak sepenuhnya antisosial. Ada sisi dirinya yang menikmati kebersamaan dengan teman-temannya, meskipun ia jarang menunjukkannya.
Salah satu contohnya adalah ketika mereka merayakan ulang tahun Aryo di kos. Meskipun Rehan tidak terlalu suka perayaan, ia tetap membantu mengatur acara kecil itu. Bahkan, ia membuat kue ulang tahun sederhana dengan bahan-bahan yang ia beli dari minimarket.
“Kue ini kayak eksperimen ilmiah, ya, Han?” komentar Winda saat melihat kue itu.
Rehan mengangguk. “Benar. Membuat kue itu seperti reaksi kimia. Lo harus mencampur bahan dengan proporsi yang tepat dan memanaskannya pada suhu tertentu.”
Aryo tertawa sambil memotong kue itu. “Lo tuh emang nggak bisa lepas dari sains, Han. Tapi makasih, ini kue buatan lo pertama yang nggak gosong.”
Meskipun komentarnya sering terdengar pedas, Rehan sebenarnya peduli pada teman-temannya. Ia hanya tidak tahu cara mengungkapkannya dengan cara yang biasa dilakukan orang lain.
Malam itu, setelah semua orang pulang, Rehan duduk di depan laptopnya dan membuka blognya. Ia membaca kembali artikel-artikel yang pernah ia tulis, mencoba mencari inspirasi untuk topik baru.
Namun, pikirannya terus melayang ke obrolan dengan Aryo tentang cinta. Ia mulai bertanya-tanya, apakah benar cinta itu hanya ilusi? Atau mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar reaksi kimia?