Ariella, seorang wanita muda yang dipilih untuk menjadi pemimpin organisasi pembunuh terkemuka setelah kematian sang mentor. Kejadian tersebut memaksanya untuk mengambil alih tahta yang penuh darah dan kekuasaan.
Sebagai seorang wanita di dunia yang dipenuhi pria-pria berbahaya, Ariella harus berjuang mempertahankan kekuasaannya sambil menghadapi persaingan internal, pengkhianatan, dan ancaman dari musuh luar yang berusaha merebut takhta darinya. Dikenal sebagai "Queen of Assassins," ia memiliki reputasi sebagai sosok yang tak terkalahkan, namun dalam dirinya tersembunyi keraguan tentang apakah ia masih bisa mempertahankan kemanusiaannya di tengah dunia yang penuh manipulasi dan kekerasan.
Dalam perjalanannya, Ariella dipaksa untuk membuat pilihan sulit—antara kekuasaan yang sudah dipegangnya dan kesempatan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, jauh dari bayang-bayang dunia pembunuh bayaran. Di saat yang sama, sebuah konspirasi besar mulai terungkap, yang mengancam tidak hanya ker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Pertempuran Terakhir
Kegelapan menyelimuti fasilitas rahasia The Obsidian Circle, hanya diterangi oleh lampu merah darurat yang berkedip-kedip, seolah-olah mengingatkan Ariella dan timnya bahwa waktu mereka hampir habis. Alarm terus berbunyi, dan suara langkah kaki pasukan mendekat semakin keras, membuat tekanan di ruangan itu semakin mencekam.
Di depan mereka, terminal kontrol utama memancarkan layar penuh data yang bergerak cepat—rencana destruktif yang telah disusun oleh The Obsidian Circle. Ariella berdiri di tengah ruangan dengan napas memburu, jantungnya berdebar cepat. Di layar itu terlihat cetak biru proyek mereka: Neural Dominion. Proyek yang jauh lebih mengerikan dibandingkan apa yang Leonard pernah rencanakan.
“Ini bukan hanya tentang kendali politik,” gumam Liana, menatap layar dengan mata penuh horor. “Mereka mencoba menciptakan teknologi yang bisa menghapus kehendak bebas.”
Alex, yang berdiri di samping Ariella, memandang layar dengan raut wajah penuh amarah. “Kalau mereka berhasil meluncurkan ini, tidak akan ada lagi yang bisa melawan mereka. Setiap orang akan menjadi boneka yang dikendalikan oleh teknologi ini.”
Rael menggebrak meja dengan frustrasi. “Kita harus menghancurkan ini sekarang! Kita tidak punya waktu untuk ragu-ragu!”
Ariella mengangguk tegas. “Kita harus bertindak cepat. Liana, dapatkan akses ke sistem mereka. Alex, siapkan bahan peledak untuk menghancurkan server utama. Rael, kau dan aku akan menghalau pasukan mereka sementara yang lain bekerja.”
---
Langkah kaki berat terdengar mendekat dari koridor luar. Rael dan Ariella bersembunyi di sisi pintu, senjata mereka siap. Ketika pintu terbuka dengan keras, pasukan bersenjata lengkap masuk, tetapi mereka tidak punya waktu untuk bereaksi.
“Sekarang!” teriak Ariella.
Rael melompat keluar, menyerang dengan akurasi yang mematikan. Tembakan pertama mengenai salah satu prajurit, membuatnya jatuh ke lantai. Ariella bergerak cepat, menyerang dengan kecepatan dan kelincahan yang luar biasa. Setiap gerakannya adalah kombinasi sempurna antara strategi dan intuisi, membuat lawan-lawannya terpojok.
Namun, jumlah pasukan musuh terus bertambah. Mereka menghadapi lebih banyak dari yang mereka duga. Rael melemparkan granat asap, menciptakan penutup sementara untuk menarik perhatian musuh ke arah lain.
“Kita butuh waktu lebih banyak!” teriak Rael melalui komunikasi.
“Kami hampir selesai!” jawab Liana dari ruang kontrol. Jemarinya bergerak cepat di atas keyboard, mencoba membongkar sistem keamanan yang kompleks. “Server ini memiliki beberapa lapisan perlindungan. Mereka benar-benar tidak main-main.”
Alex, yang sedang menyiapkan bahan peledak di sekitar server utama, mempercepat pekerjaannya. “Cepat, Liana. Aku tidak yakin berapa lama Ariella dan Rael bisa menahan mereka.”
---
Di tengah pertempuran sengit, sebuah tembakan melesat melewati Ariella, nyaris mengenai bahunya. Dia berbalik dan melihat seorang prajurit musuh mengarahkan senjatanya lagi. Sebelum dia sempat bergerak, Rael melompat di depannya, melindunginya dari peluru yang datang.
“Rael!” teriak Ariella, saat tubuh Rael terjatuh ke lantai, darah mengalir dari luka di dadanya.
Rael, dengan napas yang terputus-putus, tersenyum lemah. “Kau harus menyelesaikan ini, Ariella. Jangan berhenti.”
Air mata menggenang di mata Ariella, tetapi dia tahu bahwa ini bukan waktu untuk bersedih. Dengan tekad yang membara, dia melanjutkan pertempurannya, memanfaatkan amarah dan rasa sakitnya untuk memberikan serangan yang lebih ganas.
Di ruang kontrol, Liana akhirnya berhasil mematikan sistem keamanan. “Aku berhasil!” teriaknya. “Alex, sistemnya sudah terbuka. Lakukan sekarang!”
Alex menekan tombol terakhir pada bahan peledak yang telah dia pasang, menyetel penghitung waktu mundur. “Kita punya lima menit untuk keluar dari sini. Semuanya, bergerak!”
---
Ariella mengangkat tubuh Rael dengan susah payah, berusaha membawanya keluar dari fasilitas. Alex dan Liana berlari di depan, menembaki pasukan musuh yang mencoba menghalangi jalan mereka. Koridor terasa seperti labirin tanpa akhir, dan setiap detik terasa seperti bertambah panjang.
“Terus maju! Jangan berhenti!” teriak Alex, membuka jalan dengan serangkaian tembakan presisi.
Namun, saat mereka hampir mencapai pintu keluar, sekelompok prajurit musuh muncul dari arah berlawanan, membuat mereka terperangkap di tengah.
“Kita tidak bisa mundur!” kata Liana dengan panik.
Ariella, yang masih berjuang membawa Rael, menatap situasi dengan mata tajam. “Aku akan memancing mereka. Kalian pergi dulu.”
“Tidak! Kami tidak akan meninggalkanmu!” balas Alex dengan tegas.
“Ini bukan pilihan!” teriak Ariella. “Aku akan menyusul kalian. Pastikan bahan peledak itu meledak tepat waktu!”
Tanpa menunggu jawaban, Ariella melepaskan Rael ke tangan Alex dan melesat maju, menyerang musuh-musuh dengan keberanian yang luar biasa.
---
Tim akhirnya berhasil keluar dari fasilitas, tepat sebelum hitungan mundur mencapai nol. Dari kejauhan, mereka menyaksikan ledakan besar yang mengguncang seluruh area, menghancurkan fasilitas itu menjadi puing-puing. Api membumbung tinggi ke langit, seolah-olah menandakan akhir dari ancaman The Obsidian Circle.
Namun, tidak ada tanda-tanda Ariella.
“Ariella!” teriak Alex, berlari ke arah reruntuhan. Namun, Liana menahannya.
“Dia tahu apa yang dia lakukan,” kata Liana dengan suara gemetar. “Kita harus percaya padanya.”
Alex terjatuh ke tanah, menggenggam erat tubuh Rael yang masih tak sadarkan diri. Liana menahan air matanya, sementara rasa kehilangan mulai merayapi mereka.
Tiba-tiba, dari balik asap dan api, sebuah sosok muncul. Dengan langkah tertatih, Ariella keluar dari reruntuhan, wajahnya penuh luka, tetapi matanya masih bersinar dengan tekad yang sama.
“Aku bilang aku akan menyusul kalian,” katanya, suaranya lemah tetapi penuh keyakinan.
Alex dan Liana berlari ke arahnya, membantunya berdiri tegak. Mereka tahu bahwa meskipun mereka berhasil menghentikan The Obsidian Circle, perjuangan mereka belum selesai. Dunia ini masih penuh dengan bayang-bayang gelap, dan mereka adalah satu-satunya yang bisa melawannya.
---
Beberapa minggu kemudian, tim kembali ke markas mereka, mencoba untuk memulihkan diri dari pertempuran panjang. Rael perlahan pulih dari lukanya, sementara Ariella mulai merencanakan langkah mereka berikutnya.
Meskipun mereka telah menghancurkan markas utama The Obsidian Circle, mereka tahu bahwa ancaman itu belum sepenuhnya hilang. Organisasi itu memiliki cabang di seluruh dunia, dan mereka hanya baru saja mulai mengungkap lapisan pertama dari jaringan gelap ini.
“Ini belum berakhir,” kata Ariella, duduk di ruang perencanaan dengan Alex dan Liana. “Tapi kita akan terus maju. Karena dunia ini layak diperjuangkan.”
Dengan tekad yang lebih besar dari sebelumnya, mereka bersiap untuk menghadapi pertempuran berikutnya. Dunia mungkin masih dalam bahaya, tetapi selama mereka bersama, mereka tidak akan pernah menyerah.