Emily seorang model yang sukses dan terkenal. Namun, kesuksesan itu tidak dia dapatkan dengan gampang dan berjalan mulus. Mimpi buruk terjadi disaat dia menjadi boneka *** pribadi milik presedir di agensi tempat dia bekerja. Mulut terbungkam saat dia ingin berteriak, namun ancaman demi ancaman terlihat jelas di depan matanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeppeudalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hilang Kepercayaan
📍Mvvo Entertainment
-Ruangan Konsultasi-
Ruangan konsultasi di kantor Mvvo Entertainment terasa nyaman dengan nuansa modern—dinding kaca yang memantulkan cahaya alami, sofa putih bersih, dan meja kecil dengan setumpuk dokumen di atasnya. Di sudut ruangan, Emily duduk dengan postur tegak namun santai, mendengarkan Anne, konsultan karirnya, berbicara dengan nada tegas namun penuh perhatian.
"Emily, karirmu menunjukkan perkembangan yang baik, tapi kita perlu fokus pada citra personalmu. Branding itu penting. Saya ingin kamu lebih percaya diri saat tampil di depan publik. Jangan ragu menunjukkan sisi terbaikmu," ucap Anne sambil memberikan senyuman profesional.
Emily mengangguk, memperhatikan setiap kata. "Baik, bu Anne. Saya mengerti," jawabnya dengan sopan, meskipun pikirannya sedikit melayang. Bukan karena tidak peduli, tapi ada sesuatu yang mengganggunya—atau lebih tepatnya, seseorang.
Begitu sesi konsultasi selesai, Anne mengulurkan tangan untuk berjabat, dan Emily membalas dengan ramah. "Terima kasih, bu Anne. Saya akan memperhatikan ini," katanya sebelum beranjak keluar dari ruangan.
Langkah Emily menuju lobi terasa ringan, meskipun hatinya mulai diliputi keresahan. Matanya bergerak ke setiap sudut ruangan, mencari sosok yang ia harapkan akan muncul. Namun, lobi yang biasanya ramai itu terasa kosong dari kehadiran yang ia nantikan.
Dia berdiri di tengah lobi, diam sejenak, dan menatap ke arah pintu masuk kantor. Harapan yang tadi membara perlahan-lahan meredup saat waktu berlalu tanpa tanda-tanda kehadiran Reymond.
Emily menghela napas panjang, tangannya dengan lembut merapikan gaun pastel yang ia kenakan. Busana itu sengaja ia pilih pagi ini, dengan detail yang menonjolkan lekukan tubuhnya, dipadukan dengan riasan tipis yang menonjolkan kecantikannya. Semua itu ia lakukan demi bertemu Reymond. Namun kini, semua terasa sia-sia.
"Kenapa?" gumam Emily lirih, suaranya hampir tenggelam oleh keramaian kecil di sekitar. "Apa dia sibuk hari ini? Apa dia benar-benar tidak bisa datang?"
Matanya tertunduk, dan senyumnya yang tadi sempat muncul saat keluar dari ruangan Anne kini memudar. Ia mencoba mengusir kekecewaan yang merayap di hatinya, namun rasa rindu yang ia pendam untuk Reymond membuat itu terasa sulit.
Emily melirik ponselnya, berharap ada pesan atau panggilan tak terjawab. Tapi layar ponselnya tetap kosong. Tidak ada kabar, tidak ada alasan. Hanya diam yang ia terima.
Dia melangkah menuju jendela besar yang menghadap ke jalan, membiarkan cahaya matahari menyinari wajahnya. Meski tampak tenang, pikirannya bergejolak.
"Aku menunggu... tapi kenapa kamu tidak datang?" pikir Emily, menatap kosong ke luar. Angin dingin dari pendingin ruangan membuatnya merapatkan tangannya ke dada, seolah mencari kehangatan yang tidak ia temukan. “Hhhh…”
****
📍Dallas Company
-Ruangan Kerja Reymond-
Cahaya redup dari lampu meja menyinari tumpukan dokumen di atas meja kerja Reymond. Ia duduk di kursinya dengan sikap kaku, jari-jarinya mengetuk permukaan meja, mencoba mengalihkan pikirannya dari kekacauan emosional yang mengganggunya.
Berna, sekretarisnya, mengetuk pintu sebelum masuk dengan berkas di tangannya. "Pak Reymond," panggilnya hati-hati.
Reymond mengangkat wajahnya dari monitor komputer. "Ya?" jawabnya singkat.
"Apakah hari ini Bapak tidak ada jadwal ke Mvvo?" tanya Berna, menatapnya dengan ragu.
Reymond menatapnya sejenak sebelum menggeleng pelan. "Tidak," jawabnya tegas. "Ada banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan di sini."
"Baik, Pak," ucap Berna patuh. Ia mengangguk sopan sebelum berbalik meninggalkan ruangan.
Pintu tertutup kembali, meninggalkan Reymond dalam keheningan. Ia menghela napas panjang dan menyandarkan tubuhnya di kursi kerja. Kepalanya terangkat sedikit, matanya tertuju pada bingkai foto pernikahannya yang berdiri kokoh di atas meja. Dalam foto itu, ia dan Rein tersenyum bahagia, seolah dunia tidak punya celah untuk masalah apa pun.
Namun kini, senyum itu terasa seperti kenangan yang jauh dan asing.
Dengan suara pelan, hampir seperti gumaman, ia berkata, "Kalau ini salah... kenapa saya harus melakukan hal semurahan itu?"
Tangannya terulur, mengambil ponselnya yang tergeletak di meja. Matanya menatap layar yang menampilkan kontak Emily. Namanya ada di sana, begitu dekat namun terasa jauh. Logika dan perasaannya sedang bertarung hebat di dalam dirinya.
"Dua hari... sudah dua hari menghindar darinya," pikirnya sambil mengusap wajahnya dengan tangan. Ada sesuatu di dalam dirinya yang terus berbisik, memintanya untuk berpikir melakukan hal gila, seperti sebelumnya. Namun, ia tahu, semakin dekat ia dengan Emily, semakin ia menjauh dari jalan yang benar.
Reymond meletakkan ponselnya dengan kasar di meja, mencoba menutup rasa bersalah yang terus menghantuinya. Ia memejamkan mata sejenak, berharap waktu bisa memberinya jawaban. Tapi dalam keheningan itu, hanya ada kebisuan yang membalas.
****
📍Galeri Seni, Pusat Kota Seoul
Suara langkah sepatu Mattheo bergema di lantai marmer galeri seni yang megah. Dinding-dinding putih dipenuhi lukisan modern, warna-warna cerah yang kontras dengan suasana hatinya yang mulai mendung. Dia mendapati Mr. Tano berdiri di depan sebuah lukisan abstrak besar, tangan terselip di saku celana, postur tubuhnya santai namun penuh wibawa.
"Mr. Tano," panggil Mattheo dengan nada ramah namun tegas, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.
Tano menoleh dengan senyuman tipis. "Ah, pak Mattheo. Senang melihat Anda di sini."
Mattheo mendekat, pandangannya tajam, namun ia berusaha menjaga sopan santun. "Saya ingin bertanya, kenapa Anda mengganti penjaga Anda begitu mendadak? Apakah mereka tidak memenuhi harapan Anda?"
Tano menghela napas panjang, menatap Mattheo sejenak sebelum kembali memandang lukisan di depannya. Dengan suara tenang namun dingin, ia menjawab, "Bukan soal harapan, pak Mattheo. Saya hanya tidak ingin penjaga yang membuat saya merasa... memalukan."
Kata-kata itu menusuk, membuat Mattheo mengernyitkan dahi. "Memalukan? Apa maksud Anda?"
Sebelum Mattheo bisa menggali lebih jauh, Nano, sekretaris Tano, tiba-tiba mendekat. Dengan langkah cepat dan sikap profesional, ia berbisik sesuatu di telinga Tano. Mattheo berdiri diam, mencoba menahan rasa tidak nyaman karena dirinya jelas dikecualikan dari pembicaraan tersebut.
Setelah mendengar apa yang dikatakan Nano, Tano mengangguk pelan lalu berbalik menatap Mattheo. "Saya minta maaf, pak Mattheo," katanya dengan nada formal namun tajam. "Saya tidak bisa melanjutkan kerja sama ini."
Mattheo tertegun. "Apa? Kenapa tiba-tiba?" tanyanya, mencoba menahan emosi yang mulai naik.
Tano hanya tersenyum tipis. "Saya ada urusan lain yang harus saya selesaikan. Terima kasih atas waktunya."
Tanpa menunggu balasan, Tano melangkah pergi, meninggalkan Mattheo yang berdiri membeku di tempat. Rahang Mattheo mengeras, tangannya mengepal erat. Rasa marah bercampur dengan penghinaan jelas terpancar dari raut wajahnya.
"Ini tidak sopan," gumam Mattheo, suaranya rendah namun penuh amarah.
Namun, apa yang Mattheo tidak ketahui adalah alasan di balik sikap dingin Tano. Beberapa hari sebelumnya, Tano telah menyaksikan langsung beberapa penjaga yang direkomendasikan Mattheo melakukan pelecehan terhadap Yubin, seorang karyawan perempuan di Mvvo. Insiden itu membuat Tano kehilangan kepercayaan sepenuhnya pada orang-orang yang dipilih oleh Mattheo.
Tano keluar dari galeri seni dengan langkah tegas, meninggalkan Mattheo dalam ruang yang kini terasa semakin dingin, meskipun dikelilingi oleh karya seni yang penuh warna.