Jika tak percaya adanya cinta pada pandangan pertama, Rayyan justru berbeda, karena semenjak melihat Mbak Tyas, dia sudah langsung menjatuhkan hati pada perempuan cantik itu.
Dan dia Rayyan Asgar Miller, yang jika sudah menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya dengan cepat.
"Ngapain masih ngikutin? Kan tadi udah aku bayarin minumannya tah!?"
"Bayarannya kurang Mbak!" Rayyan menyengir lalu menunjukkan sebelah pipinya. "Kiss sepuluh kali dulu, baru aku anggap impas."
"Astaghfirullah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pasha Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DB DUA PULUH
Tyas melilitkan handuk di tubuhnya, sedang mata Rayyan terus tertuju pada satu titik yaitu bukit yang begitu empuk dan seputih salju.
Tyas terus mendorong Rayyan sekuat tenaganya, karena memang dia belum bisa menerima sentuhan suaminya. Sementara Rayyan terus mencari selah untuk menguasai tubuh seksi istrinya.
"Aku siapa, Mbak?"
"Kamu amnesia?"
"Aku siapa kamu, Ning Tyas?" ulang Rayyan.
Tyas baru connect sekarang, maksud yang Rayyan tanyakan adalah status. "S-suami."
"Hukumnya apa menolak suami?" Setelah pertanyaan itu Rayyan mengernyit karena dari paha Tyas mengalir cairan merah hingga ke lantai kamar mandi mereka.
Tyas segera menyiramnya sampai musnah tak bersisa, sungguh, seharusnya Rayyan tak melihat kondisi yang seperti ini. "Aku baru saja datang bulan, Mas."
Rayyan mendesah, lalu terduduk lemah di toilet yang tertutup. Akhirnya yang dia takutkan beberapa hari ini terjadi, karena dia tahu betul jika wanita memiliki masa haid.
"Ini kan alamiahnya wanita." Tyas bicara seolah tidak enak, padahal Rayyan yakin semalam Tyas sengaja shalat terlalu banyak rakaat untuk membuatnya lelah menunggu.
Kalau saja Tyas ini Guntur atau Aul, mungkin sudah dia kirim ke Pluto. Sayangnya, Rayyan sadar jika istrinya ini takkan tergantikan oleh apa pun.
Kesal sih, tapi ya sudahlah, Rayyan terima, lagi pula masih banyak waktu meski jujur, dia sudah ingin sekali memakan istrinya yang akhir- akhir ini terus menggelayuti pikirin kotornya.
Setelah menunduk sambil mengacak- acak rambutnya sendiri, dan Tyas rasa Rayyan sudah terlihat frustrasi. Rayyan lekas bangkit, lalu berjalan gontai untuk keluar.
Kemudian ketika baru saja melewati pintu, ia kembali karena teringat sesuatu. "Sudah punya pembalut belum?" tanyanya.
"Sudah, aku bawa." Tyas menjawab jujur karena dia sudah hapal dengan tamu rutin yang selalu datang di tanggal muda. Maka untuk persiapan pembalut, Tyas sediakan.
Setelah Rayyan menutup pintu dengan lemah, Tyas sempat terkikik. Sejujurnya Tyas tak menyangka jika Rayyan akan menawarkan pembalut padanya.
Kenapa bocah tengil ini cukup bisa dikatakan serba peka. Bahkan hal sekecil pembalut saja Rayyan tahu.
Sisi baiknya Tyas salut, tapi sisi buruknya, Tyas berpikir, mungkin karena Rayyan sudah sering berhubungan dengan wanita makanya hapal kebutuhan wanita, termasuk pembalut.
Tyas melanjutkan mandi, lalu mengganti pakaian tanpa dikacau suami reseknya. Dia lantas keluar dari kamar utama, dan berjalan ke dapur.
Tyas celingukan mencari suaminya. Di tempat khusus shalat di ruangan tengah, rupanya Rayyan masih duduk menghadap kiblat.
Tyas tersenyum, Rayyan tampak lebih tampan setelah mengenakan pakaian santri. Kain sarung juga kopiah putih. "Masha Allah..."
Tyas sampai tak sadar jika dia memuji-Nya karena melihat ketampanan suaminya yang tengil, resek, mesum, dan preman ini. Tyas lalu melanjutkan langkahnya hingga ke dapur.
Dia perlu memasak untuk sarapan. Dan saat dia mulai melakukan ritual tersebut, Rayyan berjalan lemah menuju kursi meja makan.
Rayyan duduk, wajahnya lucu, dan entah kenapa, Tyas tersenyum melihatnya. Rayyan memang menyebalkan, tapi ketika wajah itu muram, ternyata kasihan juga.
Sambil menunggu sup bening yang Tyas masak matang, Tyas membuat teh, lalu menyodorkannya tepat di depan Rayyan.
"Mas sakit?"
Rayyan meraih sebelah tangan Tyas untuk diarahkan ke dadanya. "Pengen nge-charge..."
"Charge-nya pake sarapan ya. Tuh sudah ku buatin sayur bening, ada ikan juga di lemari es, nanti aku goreng deh."
"Enaknya sarapan kamu." Rayyan memeluk sebelah lengan istrinya manja, bergelayutan sambil sesekali mengecupnya.
Sebagai wanita dewasa, Tyas paham, sejati nya lelaki memiliki hal yang fitrahnya itu tak bisa dibendung, ia harus dilampiaskan saat hasrat sudah menggunung.
Demi kewajibannya, Tyas mau, tapi masih belum siap menerima sakitnya. Pemuda yang serampangan seperti Rayyan, pasti tak pandai dalam hal seperti ini, seruduk sana seruduk sini, itu sudah bisa diprediksi.
"Boleh minta sesuatu?" Rayyan mengecup telapak tangan Tyas lalu menatap lekat wajah perempuan itu.
"Apa?"
Rayyan meraba bagian bawah punggung sang istri yang cekung. "Kalo di rumah, pake pakaian yang aku sediakan di lemari."
Tyas diam untuk berpikir, kemudian Rayyan menyodorkan kelingkingnya. "Deal?"
Tyas mengangguk setuju, lagi pula ini sudah sekian kalinya Rayyan meminta sesuatu darinya dan selalu dia tolak, maka untuk kali ini Tyas mengabulkannya. "Deal."
Rayyan tersenyum, lalu menciumi seluruh wajah Tyas tanpa disisakan. Rayyan menyengir lebar kemudian.
Charge baterai sudah selesai, mood-nya kini sudah kembali setelah Tyas tak menolak untuk mengenakan pakaian darinya.
"Mau sarapan nggak?" Tyas menawarkan kembali. Di jawab dengan anggukan antusias yang terkesan manja. "Cuapin."
...°^\=~•∆•∆•~\=^°...
Sore hari ini cukup cerah, Tyas meminta diantar ke sebuah minimarket. Tyas perlu sedia pembalut lebih banyak karena kebiasaan di hari pertamanya selalu banyak.
Demi kenyamanan istrinya, Rayyan memakai mobil yang lumayan jarang dia gunakan. Ray biasanya bepergian dengan motor atau jika memungkinkan dia nebeng dua sahabatnya.
Rayyan paling malas berkendara sendiri, kecuali dengan motornya. Rayyan menunggu di depan, Tyas segera masuk ke minimarket, lalu dengan cepat Tyas pilih barang yang dia perlukan.
Dia pikir tak ada yang lain, Tyas tak merasa memerlukan apa pun selain pembalut wanita dan paket data, maka itu saja yang dia beli.
Ketika bertransaksi nomor, Tyas sempat melirik ke luar, di depan sana Rayyan sibuk dengan ponselnya. Dan ketika kasir mulai mentransaksikan pembalutnya, seseorang di sisinya memiringkan kepala untuk menyapa.
"Permisi..."
Tyas menoleh, lalu dia tersenyum karena mulai mengingat wajah tampan yang kira- kira sekitar dua bulan lalu dia temui di Semarang.
"Kita ketemu lagi...," ucap pria itu.
"Mas Nabeel, ya?!" Tyas segera menebak karena wajah bule itu cukup familiar. Wajah- wajah yang mirip dengan Gus Dilkash.
"Tepat!" Nabeel tertawa. "Apa kabar, Tyas?"
Keduanya memang pernah saling mengenal di waktu mereka masih sama- sama kecil, dan itu pun karena Tyas dekat dengan Halwa sepupunya. Lantas, dua bulan lalu, Nabeel sempat bertemu lagi dengan Tyas.
Mereka tak sengaja bertemu di Rumah Sakit, ketika Nabeel mengantar seseorang yang tak sengaja ditabraknya, dan Tyas sedang mengantar Ridwan berobat kala itu.
Pertemuan yang singkat, tapi itu cukup membekas di ingatan Nabeel. "Bapak sehat kan, Yas?" tanyanya.
Seketika, Tyas meredup senyum. "Bapak sudah dipanggil, Mas, kira kira seminggu yang lalu."
"Innalilahi." Nabeel menyesal menanyakan itu karena Tyas menjadi sendu. "Maaf, tapi kamu yang sabar ya."
"Totalnya 89 ribu, Kak!" Kasir pria tersebut menyeletuk, dan segera Tyas beralih untuk menyodorkan uang seratus ribuannya.
Namun, belum sempat kasir itu menerima, Nabeel sudah mendorong tangan pria tersebut agar tak menerimanya.
"Biar sekalian saya saja yang bayar!"
Tyas bukan orang yang suka diberikan gratis, maka hal pertama yang dia lakukan adalah menolak halus. "Nggak usah, Mas, terima kasih, saya sudah ada kok."
"Yas..." Mata Nabeel mengikuti arah ke mana Tyas bertolak, setelah mengatakan. "Saya duluan ya, Mas," sambil menyatukan tangan.
Ini yang Nabeel cari, perempuan yang tidak memanfaatkannya. Perempuan yang lebih besar malu dari pada mengumbar godaan.
Perempuan ini langka, dan Nabeel jarang sekali menemukannya. Ok, mungkin ini alamat jodohnya sudah dekat.
Nabeel lalu beralih menatap kasir. "Mbak, tadi, cewek cantik yang tadi itu beli pulsa kan?"
"Iya, Mas!"
"Kasih nomornya ke saya!"
itu kata om opik
itu juga yg ak alami
skrg tertawa
bebrapayjam lagi cemberut
lalu g Lma pasti nangis