Sebuah kasus pembunuhan berantai terus saja terjadi di tempat yang selalu sama. Menelan banyak nyawa juga membuat banyak hati terluka kehilangan sosok terkasih. Kasus tersebut menarik perhatian untuk diselidiki. Namun si pelaku lenyap tanpa sebab yang jelas dan justru menambah kekhawatiran penyelidik. Kasus ini menjadi semakin rumit dan harus segera dipecahkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cherry_15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
01. Bisikan Misterius
“Tolong kami!”, “Sakit! Hentikan!”, “Jangan siksa kami di sini!”, “Ayah, Ibu, aku takut… Aku rindu kalian, aku ingin pulang!”, “Jauhkan pisau itu!”, “Perutku! Aku sedang mengandung, tolong berhenti merobeknya, kya!”, “Argh, sakit! Rahangku terkoyak, hentikan!”, “Apa salah kami, tuan? Mengapa anda kejam sekali menyiksa kami dengan cara yang tidak manusiawi? Lepaskan kami! Biarkan kami pulang!”, “Siapapun, tolong selamatkan kami!”
Engh…? Suara itu lagi? Dengan bulir yang mengalir dari mata sembabku lagi? Mengapa setiap malamku harus dipenuhi dengan mimpi buruk? Siapa mereka? Mengapa aku selalu saja mendengar suara mereka? Apa mereka sedang meminta pertolongan? Padaku? Mengapa harus aku? Memang apa yang bisa aku lakukan untuk membantu mereka? Memuakkan! Semakin ku fikirkan segala keanehan tersebut, hanya akan menambah pening dalam kepalaku.
Aku selalu terbangun dengan rasa sakit di kepala, juga air mata yang entah mengapa mengalir pelan di pipi tanpa disadari. Menyedihkan memang, harus mendengarkan bisikan-bisikan penuh kesakitan entah dari siapa. Dan anehnya, aku bisa merasakan penderitaan mereka yang mendalam. Rasa sakitnya tercabik-cabik, rindu akan keluarga, juga rasa takut akan mati di suatu tempat yang dingin dan gelap. Semua ini menyiksaku!
Tapi aku tidak boleh larut dalam kesedihan orang lain, bukan? Apalagi orang-orang yang sama sekali tidak ku kenal nama dan tempat tinggalnya. Sebaiknya aku fokus membahagiakan orang-orang di sekitarku saja, karena merekalah yang paling terjangkau untuk kubantu. Yup! Sebaik-baiknya manusia, adalah yang bisa berguna bagi makhluk hidup di sekelilingnya! Setidaknya itulah yang aku pahami dalam hidup ini. Dan aku adalah salah satu orang yang selalu berusaha untuk melakukan itu sebaik mungkin pada orang-orang di sekitarku.
Itulah yang membuatku memutuskan untuk tidak terlalu menghiraukan rangkaian mimpi buruk disetiap malam, dan fokus pada keseharianku dari pagi hari hingga malam kembali. Setelah menghapus air mataku dan menenangkan diri, aku beranjak dari ranjang kecil tuaku untuk merapihkannya. Setelah itu melangkah menuju kamar mandi kecil sederhana untuk membasuh wajah, membersihkan gigi, juga merapihkan rambutku yang hitam panjang sebahu dengan menyisirnya. Tak lupa mengikat sedikit poniku yang sudah menghalangi pemandangan. Netra cokelatku menangkap pantulan pria dalam cermin, dengan tahi lalat kecil di pipi sebelah kirinya sebagai pemanis.
“Ok, sudah tampan!” Pujiku pada diriku sendiri yang berada di cermin, sambil menyiapkan senyuman termanisku. Tersenyum adalah cara yang paling mudah untuk menebar kebahagiaan pada lingkungan sekitar, aku suka sekali melihat orang yang ikut tersenyum ketika melihat senyumanku.
Kaki panjangku kembali menuntun menuju kamar minimalis, telapak tanganku yang besar bergerak mengambil seragam yang sudah tergantung di pintu lemari kayu tua yang sudah lusuh namun masih nampak indah dalam pandanganku. Ku siapkan satu porsi sandwich dengan potongan beef dan sayuran juga slice cheesse diatasnya, tak lupa secangkir susu murni segar di atas meja kayu kecil yang sudah satu paket dengan kursinya, untuk sarapan singkatku. Dengan nikmat dan penuh rasa syukur, kulahap makanan sederhana yang telah kubuat hingga habis.
Seusai sarapan, aku berpamitan dengan dua bingkai foto yang melukiskan wajah orang tuaku didalamnya, lalu berangkat mengenakan sepeda menuju tempat kerja. Yeah, orang tuaku telah tiada, mereka wafat akibat pembunuhan di masa kecilku, hingga kini aku belum bisa menemukan siapa pembunuhnya. Sejak kepergian kedua orang yang ku sayangi, aku hidup sendirian di rumah kecil yang terbuat dari kayu ini.
Tak ingin tenggelam dalam kenangan pahit, aku kembali tersenyum manis pada setiap orang yang ku jumpai di sepanjang perjalanan. Ku nikmati indahnya perkebunan di sebelah kiriku juga jernihnya sungai di sebelah kananku, tak lupa juga ku pandang pegnungan jauh di depanku yang mengitari kebun juga sungai di sekitar. Selang 15 menit aku mendayuh pedal sepeda, terhenti lah roda yang terus berputar itu di depan kedai sederhana namun bernuansa hangat dan nyaman. Itulah tempatku bekerja sebagai koki.
Aku bahagia bekerja di kedai ini. Selain memiliki rekan kerja yang menyenangkan, memasak untuk mengisi perut orang-orang yang kelaparan juga membuatku merasa berguna. Seperti yang ku katakana diawal, kebahagiaanku adalah ketika aku bisa berguna bagi makhluk hidup di sekitarku. Dan menjadi koki adalah salah satu caraku berguna bagi kehidupan banyak orang.
...***...
“Selamat pagi, Picho!” Sapa seorang pria dari belakangku dengan suara keras, membuatku terkejut dan spontan berbalik sambil menodongkan pisau daging yang sedang kuasah ke arahnya, dengan posisi kuda-kuda sempurna layaknya siap perang. Sesaat setelahnya, aku menyadari bahwa yang menyapa adalah teman dekatku. Aku mulai kembali mengambil posisi berdiri biasa dengan kedua tangan yang kuletakan di sebelah pinggul.
“Astaga, Leo! Bikin kaget saja kau! Untung tak ku bunuh beneran,” keluh ku lemas sambil memutar bola mata malas dan mengelus dadaku menahan emosi.
“Santai bro! Seram sekali respon kagetmu, aku masih ingin hidup! Seperti biasa kau selalu datang paling pagi ya… Aku jadi iri,” ucapnyanya dengan santai, sambil mulai mengecek stok bahan makanan di kulkas juga rak bumbu. Seperti tidak sedang takut mati atau merasa iri, fikir ku.
“Kau juga kan orang kedua yang datang paling pagi kemari. Tak perlu iri begitu, kita sampai kedai ini hampir bisa dibilang bersamaan,” bujukku ramah sambil tersenyum manis, agar tidak membuatnya iri lagi, walaupun aku sendiri ragu apakah pria tanpa ekspresi ini benar merasa iri atau tidak.
“Terimakasih sudah berusaha menghiburku, Cho. Omong-omong soal ‘bunuh’ yang tadi sempat kau sebutkan—,”
“Ayolah, aku hanya bercanda! Kau tidak menganggapku serius kan?”
“Aku tahu, tapi bukan itu yang ingin ku katakan. Kau hanya mengingatkanku pada kasus pembunuhan berantai yang belakangan ini sedang ramai dibicarakan,” terang Leo dengan tenang, membuat kedua alisku menyatu karena tak mengerti dengan apa yang sedang ia bicarakan.
“Pembunuhan berantai?” Tanyaku. Kali ini Leo menunjukkan ekspresi, terbelalak bingung menatapku.
“Kau tidak tahu!?” Ia malah menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lagi. Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan dengan polosnya. Leo menepuk keningnya sendiri lalu berkata “Yaampun, Picho! Kau ini tak pernah mengikuti berita ya!?”
“Di rumahku tak ada TV, kau tahu kan?” Jawabku, mencoba memberikan alasan.
“Sudahlah! Beritanya sudah lama beredar, sejak satu bulan yang lalu sering kali ditemukan korban pembunuhan yang tubuhnya sudah tak berbentuk lagi, seolah dimutilasi dan dicincang oleh pisau daging di gunung dekat kedai ini. Pihak kepolisian sudah mulai mencari tahu tentang kasus ini, namun belum menemukan pelakunya,” Leo menjelaskan dengan wajahnya yang kembali tak berekspresi, namun anehnya itu justru membuatku semakin merinding dan takut.
Aku hanya terdiam mematung mendengarkan cerita kawan dekatku ini, peluh dingin mulai terasa mengalir dari pelipisku, seketika aku hanyut dalam lamunan. Kejam sekali pembunuh itu! Membuat tubuh korbannya hancur tak berbentuk? Aku bahkan heran apa dia masih bisa disebut sebagai manusia atau tidak? Tunggu, apa? Bulan lalu? Itu kan… Tepat saat aku mendengarkan suara-suara aneh!
“Jauhkan pisau itu!”, “Perutku! Aku sedang mengandung, tolong berhenti merobeknya, kya!”, “Argh, sakit! Rahangku terkoyak, hentikan!”
Degh! Suara-suara mengerikan itu bergema lagi di relung kepalaku, membuat degup jantungku tak beraturan, rasanya seperti pasokan udara semakin menipis, sesak sekali! Kepalaku sakit, kali ini lebih parah dari yang tadi pagi. Tak mempedulikan reaksi khawatir dari pria dihadapanku, tak mendengar suaranya juga yang sedari tadi memanggil namaku, pandanganku buram dan mulai gelap. Tanpa sadar aku menggebrak meja yang ada dihadapanku, membuat Leo semakin terkejut dan khawatir.
“Pisau, mengoyak, dingin dan gelap, ingin pulang, sakit,” lidahku menari mengatakan hal-hal diluar kendali, tubuhku gemetar, dan mungkin saja wajahku telah memucat sedari tadi.
“Picho? Kau sakit? Ingin pulang saja? Biar ku buatkan surat izin sakit pada pemilik kedai ini jika perlu. Urusan dapur, percayakan saja padaku,” tanya Leo bertubi-tubi sambil menempelkan punggung telapak tangannya pada keningku, juga menawari beberapa bantuan padaku.
Aku yang tersadar saat keningnya disentuh, seketika kembali mengendalikan ekspresiku agar selalu tersenyum manis dan ramah. Aku menggelengkan kepalaku lalu berkata “Tidak, aku hanya tak habis fikir saja, kejam sekali pelaku pembunuhan berantai itu. Para korban pasti sangat merasa kesakitan dan dingin disiksa di gunung yang gelap,” dengan harapan Leo tidak terlalu mengkhawatirkanku lagi.
“Picho, aku tahu persis sikapmu yang selalu ingin terlibat dalam kesulitan orang lain dan berperan sebagai pahlawan. Tapi ku rasa dalam kasus ini, kau tak punya kuasa apapun untuk membantu, jadi ku harap kau tak perlu nekad untuk—,”
“Jika aku berhasil menangkap pelakunya, takkan ku biarkan dia hidup dengan bahagia setelah melenyapkan banyak nyawa!” Seruku dengan yakin, tanpa menghiraukan saran dari Leo.
Leo sempat terbelalak menatapku tanpa suara, sedikit memijat pelipisnya, lalu buka suara mengatakan “Aku menyesal telah bercerita soal kasus ini padamu,” sambil menghela nafas pasrah.
Tak ada lagi percakapan antara aku dan Leo setelahnya, karena sudah jam buka kedai dan seperti biasa kedai ini ramai pengunjung. Aku dan Leo fokus pada pekerjaan masing-masing di dapur, untuk menyajikan hidangan terenak bagi para pelanggan setia, serta pelanggan yang baru saja mencoba mampir kemari.
Aku harus bersikap professional dalam pekerjaanku dan melayani pembeli dengan wajah penuh senyuman manis yang ramah, tak sedikit juga dari pelangan perempuan yang terbawa perasaan olehku, aku tampan dan cocok dijadikan suami idaman kata mereka. Ada-ada saja perilaku pengunjung kedai ini, hal itu membuatku semakin bersemangat dalam pekerjaanku.
Sesekali, saat aku sedang berurusan dengan pisau daging untuk mencincang beberapa bahan makanan, aku teringat pada cerita Leo tadi pagi tentang korban pembunuhan berantai. Anehnya, kasus pembunuhan itu mirip dengan suara yang memohon pertolonganku setiap malam. Mereka kesakitan dan tersiksa karena tubuhnya tercabik-cabik oleh pisau.
Mengingat hal tersebut membuatku bertanya-tanya, apa maksud dari suara bisikan aneh itu? Dan mengapa bisikan itu muncul bertepatan pada kasus pembunuhan berantai? Mungkinkah mereka adalah korban-korban yang tak rela dibunuh dengan sadis? Apa mereka memintaku menghentikan kasus ini? Omong kosong! Apa juga hal yang bisa kulakukan untuk membantu mereka!?
Benar yang dikatakan Leo, aku tak punya kuasa untuk membantu! Biar kuserahkan saja kasus ini pada pihak yang berwajib. Dengan fikiran seperti itu, aku memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan tentang kasus ini, dan tetap fokus pada pekerjaan juga keseharianku yang menyenangkan.
and Julian be like: "Hah!? Emang itu nyambung!?"
😂
udahlah, ntar juga tau.
walaupun tidak secara eksplisit di jelaskan tapi gak mikir kalau dia sedang kencan.
saran sih kurangin Monolog internal nya, tapi buat seimbang sama narasi nya.