Varsha memiliki arti hujan menghiasi hidup seseorang dengan derai air mata.
Seorang wanita muslimah berdarah Indonesia harus dijodohkan dengan pria asing tidak dikenalnya. Pria kejam memakai kursi roda meluluh lantahkah perasaan seorang Varsha, seolah ia barang yang bisa dipermainkan seenaknya.
Rania Varsha Hafizha, harus hidup dengan Tuan Muda kejam bernama Park Jim-in, asal Negara Ginseng.
Kesabaran yang dimilikinya mengharuskan ia berurusan dengan pria dingin seperti Jim-in. Balas budi yang harus dilakukan untuk keluarga Park tersebut membuat Rania terkurung dalam sangkar emas bernama kemewahan. Ditambah dengan kehadiran orang ketiga membuat rumah tangga mereka semakin berantakan.
“Aku tidak mencintaimu, hanya Yuuna... wanita yang kucintai.”
“Aku tidak bisa mengubah mu menjadi baik, tetapi, aku akan ada di sampingmu sampai Tuan jatuh cinta padaku. Aku siap terluka jika untuk membuatmu berubah lebih baik.”
Bisakah Rania keluar dari masalah pelik tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agustine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 10
...🌦️...
...🌦️...
...🌦️...
Aroma bunga sakura menebar memberikan semangat pada pejuang kehidupan seperti Rania. Wanita berusia dua puluh satu tahun itu harus bertahan dalam pernikahan yang tidak diharapkan.
Ia hidup seperti dalam kendali seseorang. Bak boneka yang dilakonkan oleh dalang. Ke mana pun ia pergi harus ada izin dari sang suami. Namun, bukankah memang seperti itu? Jika sudah menikah maka seorang istri harus tunduk dan patuh kepada suaminya.
Namun, bukan kehidupan rumah tangga seperti ini yang diinginkan Rania. Ia harus berjuang sendirian dalam ikatan suci tersebut.
Tidak ada cinta di antara mereka, Rania berusaha untuk mencintainya sendirian. Selama enam bulan usia pernikahan, ia sadar jika sejatinya pernikahan bukanlah sebuah permainan. Janji yang terucap jelas di hadapan Tuhan, ia tidak ingin menodainya begitu saja.
Ia mengerti jika cinta yang dimiliki suaminya masih untuk wanita lain. Di pesta itu ia bertemu dengan sosok yang begitu dikagumi Park Jim-in. Kim Yuuna, wanita cantik berdarah Korea-Amerika itulah menjadi pelabuhan hati sang suami.
Di tengah-tengah kegiatannya membuat sarapan, benda pintar yang berada di saku apronnya bergetar. Buru-buru Rania menjawab panggilan tersebut tanpa melihat siapa si pemanggil.
"Assalamu'alaikum, yeobsseo?" ucapnya.
"Rania ini ahjumma, kenapa kamu tidak datang? Apa mereka tidak memberitahumu?"
"Eh? Memangnya ada apa ahjumma?" Dahinya mengerut dalam tidak mengerti mendapati perkataan dari tetangga sebelah rumahnya.
"Rania, eomma-"
Bak disambar petir di siang bolong bola matanya membulat sempurna. Spatula jatuh dari genggaman tangan begitu saja.
Ponsel yang sedari tadi bertengger di daun telinganya terhempas dan bertubrukan dengan lantai marmer.
Air mata jauh tak tertahankan. Jantungnya seolah berhenti berdetak saat itu juga. Sakit menghujani hati terdalam.
Tanpa mengindahkan tatapan dari pelayan yang ada di sana, Rania meninggalkan ruang memasak. Ia mengambil langkah lebar menemui seseorang yang tengah menunggu makanannya.
Cairan bening tidak henti-hentinya mengalir di pipi gembil Rania. Tidak sampai beberapa menit ia tiba di sana dengan sorot mata sendu.
"Kenapa Tuan tega sekali tidak memberitahu saya kalau eomma meninggal? Wae? Wae? WAE?" Teriakan Rania terdengar nyaring di ruang makan. Suaranya menggema membuat beberapa pelayan terkejut.
Pria yang tengah duduk di singgasananya mendongak tanpa berekspresi apa pun. Ia melihat sang istri tengah menangis sesenggukan. Tanpa ada belas kasih pria itu hanya menatapnya datar. Hingga sebuah suara mengalihkan perhatian Rania.
"Kenapa kita tidak memberitahumu? Karena kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Tidak akan saya izinkan kamu pergi dari sini. Tanpa izin saya atau Jim-in."
Nyonya besar kembali. Semua orang yang ada di sana langsung menunduk menghormatinya.
Langkah demi langkah tegas menuju ke arahnya. Hingga ibu mertua itu tepat berada di hadapan Rania.
"Jangan harap kamu bisa bebas menjalani hidup. Karena sejak kata sah diucapkan kehidupanmu berada dalam genggaman kami dan jangan harap kamu bisa pergi dari sini," ungkapnya tepat mengenai ulu hati Rania.
Setelah mengatakan itu nyonya Park kembali melangkahkan kaki meninggalkannya begitu saja. Sakit tapi tidak ada luka yang terlihat. Rania tidak bisa berkata-kata mendengar penjelasannya tadi. Ia seperti burung dalam sangkar, berada di atas kemewahan, tapi tidak bahagia.
Bola matanya kembali memandang sang suami yang masih menatapnya. Ia lalu bersimpuh di samping Jim-in meminta izin.
"Saya mohon ... izinkan saya pulang. Saya ingin melihat eomma untuk terakhir kali." Pintanya dengan sangat.
"Kamu tidak mendengar apa yang dikatakan eommanim tadi? Apa kamu tuli? Kamu sudah tidak bisa hidup bebas lagi dan aku juga tidak mengizinkan kamu pergi dari rumah ini!" ucapan tegas Jim-in seribu kali mengoyak perasaan sang istri.
Rania tidak menyangka pria yang menyandang sebagi suaminya bisa berkata kejam seperti itu.
"Ta-tapi eomma meninggal. Saya mohon, saya ingin melihatnya. Saya mohon Tuan Muda. Saya janji jika Tuan mengizinkan, saya akan berusaha menjadi lebih baik lagi," tuturnya kembali memohon dan sudah hampir putus asa.
Jim-in melepaskan pandangan darinya seraya mempertahankan ego.
"Sekali tidak, tetap tidak! Arraso? Sang Oh, bawa aku pergi dari sini. Aku sudah tidak napsu sarapan lagi," titahnya pada pria tua yang berdiri tidak jauh darinya.
Buru-buru Sang Oh pun menarik kursi rodanya dan meninggalkan Rania begitu saja dengan tatapan menyesal. Bagaimanapun juga pria baruh baya itu tidak punya kuasa untuk membelanya.
Rania jatuh terduduk dengan luka menganga. Ia tidak menyangka dengan apa yang baru saja terjadi. Sekejam itukah Tuan Muda yang dinikahinya? Kristal bening tidak berhenti berjatuhan membasahi kedua punggung tangan yang di genggam erat. Sakit sekali ia menghadapi kenyataan yang begitu memilukan.
Isak tangis terdengar menyayat hati. Satu persatu pelayan pun pergi dari sana seraya memberinya kekuatan. Namun, hal itu tidak menyurutkan tangisan Rania mereda. Keheningan tercipta memberikan pedih yang membara.
"Ya Allah siapa orang yang hamba nikahi ini? Kenapa dia tega sekali? Apa dia tidak punya hati?" gumamnya menahan kepedihan. "Ibu mertua macam apa itu tadi? Kenapa tidak ada rasa duka sedikit saja untuk besannya?" bisik Rania lagi.
Waktu terlalu kejam melukainya terlalu dalam. Di hari terakhir sang ibu berada di dunia ia tidak diperbolehkan untuk melihatnya.
Selama berada di mansion Park ia belum melihat ibunya lagi dan sekarang tiba-tiba saja ada berita yang mengejutkannya. Hati siapa yang siap menerima kenyataan pahit itu? Rania bahkan seperti dihujani ribuan anak panah.
Di tengah kesendirian, seorang pelayan paruh baya berjalan mendekat lalu duduk di sampingnya. Rania terkejut masih pada posisinya menundukkan kepala dalam.
"Saya tahu Nona sangat terkejut dengan berita tadi. Saya teman ibu Nona selama beliau bekerja di sini, dan sebelum meninggal beliau menitipkan ini pada saya untuk diberikan kepada Nona," jelas wanita tadi seraya menyodorkan sesuatu padanya.
Rania akhirnya menoleh melihat sepucuk surat yang berada dalam genggaman tangan yang sudah tidak kencang lagi.
"Mungkin beliau menulisnya disaat-saat terakhir," ungkapnya kemudian. Rania mengambil surat tersebut dan menatapnya lekat.
"Kamsahamnida," balasnya singkat.
Hanya ucapan terima kasih yang keluar dari mulutnya dengan suara serak menahan isak tangis. Tidak lama berselang wanita yang tidak diketahui namanya pun pergi meninggalkannya sendirian.
...🌦️🌦️🌦️...
Jim-in berada di ruangan yang tidak jauh dari keberadaan Rania. Ia bisa mendengar tangisan yang berusaha diredam nya. Pria yang memiliki senyum menawan ini menyembunyikannya di balik ekspresi dingin.
Sang Oh, pelayan yang hampir tiga puluh tahun mengabdi di keluarga Park tahu apa yang tengah tuannya pikirkan.
"Kenapa Tuan berkata seperti tadi? Saya tahu Tuan tidak ingin mengatakannya, kan? Nona Rania sampai terkejut. Kenapa tidak diizinkan saja?" ucapnya disertai senyuman.
Jim-in menoleh padanya dengan tatapan serius. "Apa yang kamu bicarakan? Dia istriku. Jadi terserah aku mau melakukan apa pun. Jangan seenaknya mengambil keputusan."
"Tuan bukannya tidak mengizinkan Nona pergi, tapi Tuan tidak ingin Nona pergi, bukan?"
Dengan gencar Sang Oh menggodanya. Jim-in tercengang tidak percaya. Bagaimana bisa pelayannya berkata seperti itu? Pikirnya.
"Lama-lama Anda menyebalkan juga, yah. Siapa juga yang seperti itu. Sudahlah aku mau ke ruangan kerja dulu."
Jim-in pun menggulirkan kursi rodanya seorang diri.
Sang Oh tersenyum melihat betapa kekanak-kanakannya tuan muda ini. "Anda sepertinya tidak sadar jika kita sudah bersama saat tuan masih bayi. Saya tahu apa yang terjadi," gumamnya seraya memandangi kepergiannya.
Jim-in pun merasakan sesuatu dalam hatinya terus berputar. Namun, dengan cepat ia menepis dan melupakannya begitu saja.
...🌦️AWAL KESAKITAN🌦️...
GAK ETIS LANJUTIN NOVEL YANG SEHARUSNYA UDAH TAMAT, TAMAT YAH TAMAT JANGAN DI LANJUTIN. JADI KELUAR DARI ALUR.
makasih buat karyanya thor ,bunga sekebon buat thor 💜😍
rania itu jgn2 thor ya ,gpp thor semangat 😘