Ditalak ketika usai melahirkan, sungguh sangat menyakitkan. Apalagi Naura baru menginjak usia 20 tahun, harus kehilangan bayi yang dinyatakan telah meninggal dunia. Bagai jatuh tertimpa tangga dunia Naura saat itu, hingga ia sempat mengalami depresi. Untungnya ibu dan sahabatnya selalu ada di sisinya, hingga Naura kembali bangkit dari keterpurukannya.
Selang empat tahun kemudian, Naura tidak menyangka perusahaan tempat ia bekerja sebagai sekretaris, ternyata anak pemilik perusahaannya adalah Irfan Mahesa, usia 35 tahun, mantan suaminya, yang akan menjadi atasannya langsung. Namun, lagi-lagi Naura harus menerima kenyataan pahit jika mantan suaminya itu sudah memiliki istri yang sangat cantik serta seorang putra yang begitu tampan, berusia 4 tahun.
“Benarkah itu anak Pak Irfan bersama Bu Sofia?” ~ Naura Arashya.
“Ante antik oleh Noah duduk di cebelah cama Ante?” ~ Noah Karahman.
“Noah adalah anakku bersama Sofia! Aku tidak pernah mengenalmu dan juga tidak pernah menikah denganmu!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Ribut Di Dalam Mobil
Tubuh Naura terhuyung-huyung, dan tangan Irfan merangkul pinggang wanita itu dan membawa paksa ke dalam mobil yang ia kendarai sendiri tanpa sopir pribadinya. Sedangkan Adiba sudah membawa pulang Noah dan Elin saat mereka berpisah di lobby utara.
“Pak Irfan!” seru Naura jelas gelagapan, dan ia sama sekali tidak bisa melepaskan tangan Irfan yang begitu kuat dan mendudukkan dirinya di jok mobil sebelah kemudi secara paksa. Sudah jelas sejak tadi ia sengaja ingin pulang sendiri.
“Diam, dan jangan berani keluar dari mobil! Jangan menolak saya!” sentak Irfan dengan tegasnya. Naura tak berani menatap wajahnya pria itu ketika memasangkan seat belt padanya, hanya bisa menghela napas kecewanya. Setelah itu Irfan buru-buru memutari mobilnya kemudian membuka pintu kemudi, sebelum duduk ia menaruh terlebih dahulu barang yang ia beli ke bagian jok belakang.
“Pemaksaan!” gerutu batin Naura, lalu ia melengoskan wajahnya menatap ke sebelah kiri ketimbang sebelah kanannya.
Irfan mulai melajukan mobilnya, dan ini perdana bagi Naura melihat Irfan mengemudikan mobil, maklumlah jaman dulu Irfan hanya mengendarai motor jika tinggal di Yogyakarta.
“ Di mana kamu tinggal?” tanya Irfan dengan sikap dinginnya, saat mobil sudah melaju meninggalkan mall.
“Mampang prapatan,” jawab Naura asal, padahal bukan tempat daerah ia tinggal.
“Tunjukkan nanti jalannya,” pinta Irfan masih sok dingin, tapi ujung matanya melirik Naura.
“Mmm,” gumam Naura tanpa menatap Irfan.
“Kalau bicara itu memang harus buang muka ya, mentang-mentang ada calon suami. Tidak bisa menghargai atasannya ya!” Irfan tampak kesal melihat Naura yang masih saja betah memalingkan wajahnya, seakan ia tidak ada harganya di depan mata orang.
Naura memejamkan matanya sejenak, lalu ia menatap lurus ke arah depan bukan ke sebelah kiri. “Apakah Pak Irfan gila hormat sebagai Presiden Direktur? Lalu kenapa sejak tadi selalu membahas calon suami saya? Apakah ini bagian dari seorang Presdir yang ikut campur dengan masalah privasi karyawannya sendiri?” tanya Naura berusaha tenang.
Irfan berdecak kesal. “Saya tidak gila hormat tapi saya tidak suka dengan karyawan yang jika bicara tidak menatap saya!” balas Irfan meninggikan suaranya.
Kalau keadaannya seperti ini rasanya Naura ingin saat ini ke perusahaan dan langsung mengurus pengunduran dirinya, apalagi Adiba sudah mentransfer uangnya, tapi sayangnya hari sudah menjelang petang.
“Oh, jadi begitu, mohon maaf jika saya tidak menghormati Pak Irfan, lagian kita juga tidak di kantor Pak Irfan. Jadi sah-sah saja jika di luar jam kerja dan di luar kawasan kantor saya tidak menghormati Pak Irfan dengan tidak menatap Pak Irfan ketika berbicara,” tegas Naura, disangkanya ia akan merasa takut dan harus patuh pada Irfan, jelas tidak. Jika patuh pun dalam koridor tertentu.
Pria itu mendesis. “Ternyata saya baru tahu jika sekretaris papa modelnya sepertinya ini, hal kecil kayak begini saja kamu abaikan, tidak bisa profesional! Jangan-jangan kamu sekretaris abal-abal, kamu bisa berada di posisi sebagai sekretaris presdir pasti karena rasa kasihan papa saya saja,” ujar Irfan menyindir halus.
Wow, cukup mengejutkan kata-kata Irfan barusan, Naura pun menolehkan wajahnya ke sebelah kiri. “Syukurlah jika Pak Irfan menyadari kekurangan saya, jadi sebaiknya Pak Irfan mencari pengganti saya ketimbang nanti Pak Irfan sangat kecewa dengan kinerja saya yang katanya sekretaris abal-abal. Bereskan! Dan Pak Irfan juga tidak akan capek-capek untuk mengomentari atau mengeluhkan tingkah saya. Oh iya, kalau begitu saya akan menghubungi divisi HRD untuk mereferensikan karyawan sebagai pengganti saya,” ujar Naura sembari mengambil ponsel di tasnya, tapi apa yang terjadi? Irfan mengerem mobilnya secara mendadak, sehingga kening wanita itu membentur dasboard.
“Astagfirullah.” Naura sangat terkejut, kemudian mengusap keningnya yang terbentur itu. Ada rasa bersalah di benak Irfan melihat kening Naura memerah, tapi hatinya sudah terlanjur kesal.
“Siapa yang menyuruh kamu menelepon HRD!? Saya yang memutuskan bukan kamu yang memutuskan!” hardik Irfan.
Naura menahan diri untuk tidak meledak-ledak emosinya, walau sebenarnya bisa saja menumpahkan amarahnya seketika.
“Saya bingung dengan Pak Irfan, kenapa sejak awal kenal ... saya selalu dibentak, dimarahi oleh Bapak. Dan begitu terlihat penuh kebencian dengan saya. Apakah di masa lalu kita pernah bertemu? Dan apakah saya punya kesalahan? Tadi saya hanya memberikan solusi yang terbaik demi Pak Irfan bisa bekerja dengan nyaman,” cecar Naura.
“Kita tidak pernah bertemu di masa lalu, kita baru bertemu dan saya tidak suka dengan sikapmu seperti itu,” jawab Irfan, saat ini ia sengaja tidak melajukan mobilnya.
Naura tersenyum getir, lalu memalingkan wajahnya ke depan. Wanita itu tidak membutuhkan pengakuan atas masa lalunya, hanya saja sangat menyakitkan mendengar orang di masa lalu tidak mengakui jika pernah saling mengenal kecuali amnesia.
“Oh, tidak pernah bertemu. Akan saya ingat, Pak Irfan,” jawab Naura penuh makna sembari membuka seat belt.
“Kamu mau ke mana?” tanya Irfan matanya mulai awas, sementara Naura pura-pura tidak mendengarnya dan menarik handel pintu, buru-buru Irfan mengunci otomatis mobilnya.
“Saya turun di sini saja, Pak Irfan,” pinta Naura tanpa menatap ke arah pria tersebut.
“Kamu marah sama saya?” tanya Irfan dengan menarik tangan kanan Naura secara paksa.
Naura melirik tangannya yang dicekal Irfan. “Apa peduli Pak Irfan jika saya marah? Apakah Pak Irfan menerimanya? Sedangkan saya hanya karyawan rendahan yang tidak patut marah dengan atasannya?” balas Naura penuh penekanan.
“Akh!” Naura tersentak saat tangannya kembali ditarik, lalu tubuhnya begitu dekat dengan Irfan.
Deru napas Irfan terdengar berat, matanya yang kelam menatap tajam pada Naura, dan tatapan pria itu tidak bisa ia hindarkan.
“Katakan kalau kamu marah pada saya, Naura?” tekan Irfan, pandangannya pun turun ke bibir yang dulu sering ia cium, begitu manis dan liarnya membuat ia mabuk kepalang jika sudah beradu dengan Naura.
“Buat apa saya marah? Saya dengan Pak Irfan hanya sebatas karyawan dan atasan, dan saya tidak berhak marah bukan?” Naura masih menjawab yang sama dan hal itu tidak disukai Irfan.
Irfan mendengkus kesal, salah satu tangannya teriring menyentuh lekukan punggung wanita itu lalu menyentaknya ke depan hingga hidung mancung mereka berdua beradu, dan hampir saja bibir mereka menyapa.
“Saya yang marah denganmu, Naura! Saya melarang kamu menikah dengan siapa pun selama menjadi sekretaris saya! Dan kamu tidak berhak mencari penggantimu!” ujar Irfan penuh emosi, wajahnya pun sedikit terangkat dan bibir itu entah sengaja atau tidaknya mengecup ujung hidung mancung Naura.
Bersambung ... ✍️
Yuk jangan lupa klik likenya ya Kakak serta tinggalkan komentarnya, otw bab 40 nih semoga tidak gagal retensinya.
emang pas nikah orang tuanya ga datang??? ga di kenalin
kan ngelawak sebab ceritanya di Indonesia
kalo di luaran kan cuma kedua pengantin udah sah