Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bimbang
***
Setelah pertengkaran kecil kami, aku memutuskan untuk menyendiri dekat kolam renang yang ada di rumah Mas Yaksa. Rumah Mas Yaksa selain besar dan luas memang terdapat kolam renang dan taman bunga yang cantik. Semua tanaman yang ada di sana, Kak Runa yang menanamnya, katanya. Setidaknya begitu yang dibilang tapi kenyataannya aku sendiri juga tidak tahu, apakah kakakku sendiri yang menanam atau dibantuin ART-nya yang jumlahnya lebih dari dua.
Aku melipat kedua lututku dan memeluknya, bayangan Kak Runa mondar-mandir di hadapanku seolah terasa nyata. Tanpa sadar aku tersenyum tipis. Belum genap seminggu ditinggal Kak Runa, aku sudah rindu dengannya. Rindu omelannya, kebawelannya, cerewetnya dan bahkan sikap manjanya. Meski dia lebih tua dari ku, tapi tidak jarang memang dia bersikap lebih manja daripada aku.
"Sayang, lagi ngapain? Boleh Mama duduk di sini?"
Itu suara Mama Mas Yaksa. Sejak Kak Runa resmi menikah dengan Mas Yaksa, beliau memang memintaku untuk memanggilnya Mama. Kata beliau, Mama Runa itu artinya juga Mama-nya aku.
Sambil tersenyum tipis dan meluruskan kaki, aku kemudian mengangguk dan mengiyakan. Ya kali nggak kuiyakan, lha wong ini rumah anaknya. Aku kan cuma numpang.
"Yaksa udah ngomong?"
Sekali lagi aku mengangguk saat merespon pertanyaan beliau. Kemudian beliau mengelus pundakku dan menarik ke dalam pelukannya.
"Kamu pasti kaget dan shock ya?"
Dengan kedua bibir bergetar, aku mengangguk dan mengiyakan. Tak lama setelahnya aku menangis.
"Semua terlalu mendadak buat Ge, Ma. Ge baru kehilangan Kak Runa, dan sekarang Ge harus nikah sama kakak ipar Ge sendiri?"
Mama Mas Yaksa mengangguk paham sambil mengelus rambutku yang tertutup jilbab instan.
"Iya, Mama paham, sayang. Kalau Mama jadi Ge, Mama juga bakalan sama shock dan kagetnya. Tapi abis itu Mama bakalan coba terima semua pelan-pelan."
Mendengar pernyataan beliau, spontan aku langsung menjauhkan diri dari pelukannya.
"Ini amanah dari almarhumah kakak kamu, sayang. Kamu mau mengecewakan kakak kamu?"
Aku diam.
"Kamu ada pacar?" tanya beliau lembut.
Aku melirik beliau selama beberapa saat sebelum akhirnya menggeleng pelan.
"Yaksa anak yang baik kok, sayang, selama ini dia juga nggak neko-neko. Insha Allah dia bisa bimbing kamu nantinya, dia mungkin keliatan agak keras tapi sebenernya dia baik dan perhatian."
"Tapi Mas Yaksa itu kakak ipar aku, Ma."
"Enggak papa, sayang, demi kakak kamu, demi Alin dan juga Javas. Mereka masih terlalu muda untuk jadi anak piatu. Kamu nggak kasian sama mereka? Kalau kita carikan Mama baru buat mereka, belum tentu mereka beneran bisa sayang sama Alin dan Javas dengan tulus. Lagian nanti kita jadi nggak bisa ngejalanin amanah dari kakak kamu. Tolong jangan tolak Yaksa ya, sayang! Dipikirin baik-baik dulu."
Awalnya aku ragu-ragu, tapi mendengar rayuan Mama Mas Yaksa, aku jadi merasa serba salah. Perasaan bimbang dan tidak tahu harus apa. Aku bingung. Di satu sisi aku nggak mau mengecewakan Kak Runa, nggak mau bikin Mama dan Ibu sedih, nggak tega membiarkan Alin dan Javas tubuh besar tanpa seorang ibu, tapi di sisi lain, aku juga tidak yakin sanggup kalau harus menikah dengan Mas Yaksa.
Lantas aku harus bagaimana?
***
"Alin sudah tidur, Ge?"
Aku mengangguk dan mengiyakan pertanyaan Ibu yang baru saja masuk ke dalam kamar Kak Runa dan Mas Yaksa. Alin baru saja aku tidurkan di box bayi-nya, dari semalam Alin maunya tidur digendongan terus, tapi denganku Alin mau tidur di box bayinya.
"Ayo, keluar, Ibu mau ngomong bentar," ajak Ibu.
Aku menghela napas berat, karena tahu topik apa yang akan ibu bahas. Jujur aku masih enggan membahas hal ini. Aku masih tetap bergeming, kakiku berat untuk melangkah dan mengekor di belakang ibu.
"Geya," panggil Ibu pada akhirnya, karena aku yang masih belum mau beranjak.
Aku ingin protes, tapi aku sadar diri kalau aku tidak bisa melakukannya. Maka dari itu aku memutuskan untuk mengekor pasrah di belakang beliau.
Ternyata Ibu mengajakku ke kamar tamu yang semalam aku tiduri. Setelah aku masuk, Ibu menutup pintu kamar dan menghampiri aku yang kini sedang duduk di tepi ranjang. Kepalaku tertunduk dengan tangan yang sibuk memainkan ujung piyama yang sedang aku kenakan.
"Kamu sudah membuat keputusan kan, Ge?"
"Bu," panggilku dengan frustasi.
Ini masih terlalu sulit buatku, tapi kenapa ibu tega menanyakan hal tersebut?
"Apa lagi yang kamu pikirkan, Ge? Pertama ini wasiat dari kakak kamu, lalu yang kedua kamu bisa membalas kebaikan Yaksa dengan ini. Kamu nggak lupa kan, kamu bisa kuliah berkat Nak Yaksa. Lalu apa lagi yang kamu pikirkan? Kamu nggak kasian sama Alin dan Javas?"
"Bu, bisa nggak mikirin perasaan aku sebentar, ini masih terlalu tiba-tiba buat aku. Enggak semudah itu membuat keputusan, aku harus mempertimbangkan banyak hal karena ini menyangkut masa depan aku. Bagi aku pernikahan itu bukan main-main."
"Kurang apa lagi Yaksa, Ge? Dia punya segalanya."
"Kurangnya Mas Yaksa di sini karena dia nggak cinta sama aku, Bu. Lagi pula dia kakak iparku. Aku tidak bisa dengan mudahnya memutuskan menerima dia jadi suami aku sementara mungkin aku hanya akan jadi bayang-bayangnya Kak Runa," ucapku menjelaskan.
Bagaimana bisa aku menjalani kehidupan pernikahan dengan bayang-bayang Kak Runa?
"Jadi kamu berencana menolaknya? Kamu mau mengabaikan permintaan terakhir kakakmu?" tuduh Ibu yang membuatku semakin terisak.
"Bukan begitu, Bu--"
"Lalu apa? Cepat atau lambat pada akhirnya kamu akan dinikahi Yaksa dan kamu akan jadi ibu sambung untuk kedua ponakan kamu. Itu takdir kamu, Ge. Jangan coba-coba kabur dengan menolak permintaan ini. Ibu nggak mau menanggung malu, sudah cukup selama ini keluarga Yaksa bantuin kita, dan sekarang waktu yang tepat untuk kita membalas budi. Ibu mohon, sayang, lakukan ini demi ibu juga."
Hatiku semakin hancur saat mendengar kalimat Ibu yang penuh dengan permohonan. Sekarang aku merasa bersalah. Seolah aku adalah manusia paling egois kalau aku menolak permintaan tersebut.
Lidahku kelu, aku tidak sanggup membalas kalimat ibu. Dan yang dapat kulakukan hanya terisak dengan isi kepala yang berkecamuk ribut.
Kenapa aku harus memiliki nasib seperti ini?
Kenapa hidupku harus begini?
Kenapa harus aku yang mengalami ini semua?
Kenapa harus aku?
Terlalu banyak pertanyaan kenapa, kenapa, dan kenapa. Sampai-sampai otakku benar-benar seberisik itu. Aku tidak mampu menemukan jawaban itu. Haruskah aku benar-benar melepas kehidupanku demi kedua ponakanku, Mas Yaksa, dan semuanya?
To be continue,
author nya dah pintar nih......... ☺