Tak terima lantaran posisi sebagai pemeran utama dalam project terbarunya diganti sesuka hati, Haura nekat membalas dendam dengan menuangkan obat pencahar ke dalam minuman Ervano Lakeswara - sutradara yang merupakan dalang dibaliknya.
Dia berpikir, dengan cara itu dendamnya akan terbalaskan secara instan. Siapa sangka, tindakan konyolnya justru berakhir fatal. Sesuatu yang dia masukkan ke dalam minuman tersebut bukanlah obat pencahar, melainkan obat perang-sang.
Alih-alih merasa puas karena dendamnya terbalaskan, Haura justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Ervano hingga membuatnya terperosok dalam jurang penyesalan. Bukan hanya karena Ervano menyebalkan, tapi statusnya yang merupakan suami orang membuat Haura merasa lebih baik menghilang.
****
"Kamu yang menyalakan api, bukankah tanggung jawabmu untuk memadamkannya, Haura?" - Ervano Lakeswara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 - I'll Miss You - Ervano
Ervano kembali terkekeh, respon Haura yang berlagak tuli sungguh menggemaskan di matanya. "Bolot teriak bolot," gumam Ervano berlalu pergi.
"Ih malah ngatain, minta maaf nggak?!"
Padahal suara Ervano sudah begitu pelan. Akan tetapi, di luar dugaan telinga Haura yang super peka itu dapat mendengar suaranya.
Tanpa menanggapi, pria itu terus berlalu ke ruang tengah dan menghempaskan tubuhnya di sofa. Diikuti dengan Haura yang menuntut kejelasan lantaran tak terima dianggap bolot barusan.
Tak ubahnya seperti keturunan Megantara yang lain, Haura memang kerap lupa berkaca dan tidak mau salah. Sendirinya bebas menjuluki Ervano bolot atau semacamnya, tapi begitu julukan itu dibalikkan Haura tak terima.
"Ck, nyebelin ... minta maaf belum malah nonton televisi lagi," gerutu Haura sembari mematikan televisi di depannya.
Dalam hidup, tidak ada sejarahnya Haura bersedia diolok-olok. Tidak heran begitu tak sengaja mendengar umpatan Ervano dia sampai mengejar sebegitunya.
"Minta maaf untuk apa? Hem?"
"Tadi, kamu ngatain aku bolot," protes Haura dengan wajah cemberut dan bibir yang bisa disanggul saking majunya.
Ervano tak segera menjawab, pria itu hanya menghela napas panjang seraya menatap Haura lekat. "Tapi kenyataannya memang bolot mau gimana?"
"Sembarangan!! Aku dengar kamu bilang apa tadi ya," ketus Haura membela diri dan tak segan menyampaikan pengakuan sebenarnya.
Tentu saja hal itu lagi dan lagi Ervano jadikan senjata untuk menyerang Haura. "Oh iya? Terus kenapa tadi nanya lagi kalau dengar?"
"Ya ... a-aku cuma basa-basi saja, karena ucapanmu tidak masuk akal."
"Ih Masa? Haura bohong, fiks ngarang," ujar Ervano kembali melempar umpan, barang kali ada yang terpancing.
Alam bawah sadar Haura sampai ikut campur dan murka tatkala Ervano. "Ngarang-ngarang, aku jelas-jelas dengar ya!! Dibilangin basa-basi juga!!"
"Ehm, kalau dengar, memangnya tadi aku bilang apa? Coba?"
"Aku tidak kuat LDR," ucap Haura dengan begitu lantang yang berhasil membuat senyum Ervano kian mengembang.
Segampang itu dia menjerat Haura dan masuk dalam jebakannya. Bahkan di titik ini, Haura masih begitu berani menatap mata Ervano karena merasa menang.
"Kenapa? Mau kuulang? Nih denger!! Aku tidak kuat LDR!! Puas?"
"Sama, aku juga tidak kuat, Ra, sumpah," sahut Ervano disertai senyum tipis setelahnya dan berakhir cubitan dari Haura.
Agaknya dia baru sadar akan hal itu, Haura benar-benar terjebak dalam perangkap Ervano yang begitu rapi. Sungguh menyesal Haura menghadapinya dengan cara berapi-api jika akirnya akan begini.
"Nah, karena kita sama-sama tidak kuat ... ada baiknya kamu ikut saja ya?" ajak Ervano yang sontak Haura tolak mentah-mentah.
"Sembarangan, kamu saja yang tidak kuat ... aku kuat banget tuh," ucapnya begitu santai karena memang pada faktanya tidak ada alasan yang membuat Haura keberatan.
Toh memang tidak cinta, atau mungkin tepatnya belum. Berpisah dengan Ray sampai berminggu-minggu saja dia sanggup, apalagi dengan Ervano yang memang belum begitu berarti di matanya.
Hanya sebatas suami yang menikahinya karena sebuah kecelakaan. Saking Haura tidak menginginkan pernikahan, untuk mahar saja dia sempat mengatakan tidak perlu.
Ditawari banyak, tapi dia justru dengan santainya meminta lima ribu, persis uang beli es krim. Alhasil, berkat nasihat mamanya, barulah Haura menurut dan sedikit serius perkara mahar, itu juga hanya sebesar 500 ribu rupiah.
Tidak heran kenapa hari ini dia biasa saja, Ervano juga memaklumi. Dalam diam, dia masih menatap punggung Haura yang kian menjauh.
"Sabar, Van ... risiko, karena pada faktanya kau tidak lebih dari suami yang tidak diinginkan," gumam Ervano menyadarkan diri sendiri sembari menghela napas panjang.
Cukup lapang dada dia menerima sikap Haura, sama sekali tidak ada kebencian dan percaya perlahan sang istri akan luluh juga.
Lagian, jika dipikir-pikir dia juga yang salah. Wanita mana yang tidak marah jika harus dihadapkan dengan posisi semacam ini? Posisi dimana mau tidak mau harus menikah, sementara ada pria lain yang bertahta di dalam hati.
.
.
Tanpa mendesak, Ervano akan tetapi menunggu dan tidak bermaksud memaksa Haura dalam hal apapun, baik itu bersikap hangat maupun melayaninya.
Tadi malam saja, malam kedua mereka sebagai suami istri Ervano tetap susah payah menjaga diri walau kesempatan untuk mencuri sewaktu istrinya tidur leluasa sekali.
Tidak punya cara lain, walau pada akhirnya pagi-pagi sekali Ervano sudah harus mandi lantaran alam bawah sadar Ervano memimpikan kemolekan tubuh Haura.
"Cepet banget mandinya ... ambil penerbangan pagi ya?" tanya Haura dengan wajah bantal dan rambut ala singa itu menatap ke arah Ervano.
Tak Ervano duga, bahwa tindakannya yang mandi begitu cepat kembali menimbulkan spekulasi baru di otak picik Haura.
"Hem, pagi ... sekalian mau ketemu Pak Hanan sebelum pergi," jawab Ervano jujur karena memang benar pagi.
Haura mengangguk pelan, seolah mengerti maksud sang suami dan bergumam. "Halah bohong banget, padahal sudah kangen sama istri pertamanya itu."
Tentu saja hal itu hanya dia utarakan dalam hati, mana berani Haura jujur mengatakannya. Walau sebenarnya boleh saja, sekalipun benar kan memang haknya, Haura tidak melarang.
Hanya saja, memang hati kecil yang terlatih julid itu belum apa-apa sudah menghakimi Ervano. Padahal, pria itu bahkan tidak memiliki rencana untuk menemui Sofia cepat-cepat.
Sebagaimana undangan Sofia, nanti malam. Sudah tentu sore atau beberapa jam sebelum makan malam Ervano datangnya, dasar Haura saja mengada-ada.
"Kamu tidak mau mandi juga?" tanya Ervano menoleh ke arah Haura yang agaknya masih mengumpulkan nyawa.
Wajahnya terlihat malas, tapi masih tergerak juga untuk membersikan tubuhnya. Kembali menjalani rutinitas seperti biasa, mereka juga sempat sarapan bersama sebelum Ervano pergi.
Sewaktu sarapan raut wajah Haura biasa-biasa saja. Tidak ada kegelisahan atau tampang keberatan ditinggal suami, datar saja.
Ervano yang cukup sadar akan hal itu tidak ambil pusing. Hingga, ketika jemputannya tiba pria itu beranjak berdiri dan pamit kepada sang istri.
"Jaga diri baik-baik, aku sudah pastikan Ardito dan yang lain menjagamu ... jangan coba-coba untuk melarikan diri," tegas Ervano masih sedikit memperlakukannya bak tawanan.
Haura berdecak pelan. "Iya, aku tahu itu ... lagian mau melarikan diri kemana, aku sudah menikah walau tidak ada buku nikahnya" ucap Haura benar-benar menohok sampai Ervano susah payah meneguk salivanya.
Terpantau sang istri sedang menyindir, karena memang pernikahan yang mereka jalani saat ini hanya sah secara Agama, belum negara.
Tak ingin berdebat lebih dulu, Ervano menundukkan kepala dan mengecup kening Haura beberapa saat. Sontak hal itu membuat mata Haura membulat sempurna, tak dia duga Ervano akan berani mendaratkan ciuman di keningnya.
"Mas berangkat, I'll Miss you, Haura."
.
.
- To Be Continued -
TPI GK pa2. reader hrus menyesuaikan dgn author.