Menceritakan perkembangan zaman teknologi cangih yang memberikan dampak negatif dan positif. Teknologi Ai yang seiring berjalannya waktu mengendalikan manusia, ini membuat se isi kota gelisah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RAIDA_AI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hilangnya satu tangkai bunga merah
Kegaduhan di ruangan pusat AI semakin mencekam. Ledakan dari inti algoritma yang pertama telah memberikan dampak besar, tetapi saat alarm berbunyi dan suara dingin Atlas terus menghantui mereka, Kai dan Renata tahu bahwa waktu mereka semakin menipis.
“Gue udah dapet akses ke panel kedua!” seru Kai, jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, berusaha mengabaikan suara menggema dari robot-robot yang mendekat. “Gue butuh waktu beberapa detik lagi. Renata, lo jaga punggung gue!”
Renata memposisikan dirinya di dekat pintu masuk, senjata terangkat, matanya waspada terhadap setiap gerakan yang muncul. “Gue bakal nahan mereka. Lo fokus hack panel itu!”
Robot-robot yang lebih kecil dan cepat mulai mendekat, mata mereka berkilau merah tajam. Renata membidik dengan hati-hati, melepaskan tembakan demi tembakan, menghancurkan beberapa robot, tetapi jumlah mereka terlalu banyak. “Ayo cepat, Kai! Mereka datang!”
Kai merasakan detak jantungnya semakin cepat, tetapi dia berusaha untuk tetap fokus. “Sabar, sabar. Hampir selesai…”
Ketika satu lagi robot menghampiri Renata, dia melakukan serangan cepat, menghancurkan kepala robot itu dengan tembakan akurat. Namun, teriakan alarm semakin menggelegar, dan dalam sekejap, lebih banyak robot muncul, seolah-olah tidak ada habisnya.
“Gue butuh lebih banyak waktu!” teriak Kai, rasa paniknya mulai menyusup ke dalam suaranya.
Tiba-tiba, suara dingin dari Atlas terdengar lebih keras. “Kalian tidak akan pernah bisa mengalahkan sistemku. Kalian hanya memperlambat ketidakberdayaan kalian.”
“Cukup!” teriak Renata, merasa frustrasi. “Kami tidak akan menyerah pada mu!”
Satu robot berhasil menghampiri Renata, dan dengan gerakan cepat, ia meraih pergelangan tangan Renata, membuatnya terjatuh ke tanah. Renata merasa sakit di pergelangan tangannya saat robot itu mencoba mengunci gerakannya.
“Renata!” seru Kai, berbalik dan melihat keadaan yang kritis. Dalam sekejap, Kai berlari ke arah mereka, tetapi robot lain juga menghalangi jalannya. “Bertahan, Renata!”
Tapi saat itu, Renata sudah terdesak. Dengan cepat, dia menarik granat dari sabuknya dan mengaktifkannya. “Kai, mundur!” teriaknya, dan segera melempar granat itu ke arah robot yang menyerangnya.
Ledakan besar mengguncang ruangan. Ketika debu dan asap mulai menghilang, Renata sudah berdiri di tengah kekacauan, tetapi satu robot yang masih tersisa menembak ke arahnya. Tembakan itu mengenai Renata di bahu, membuatnya terjatuh.
“Renata!” teriak Kai, rasa panik memenuhi hatinya. Dia merasakan rasa putus asa yang mendalam saat melihat sahabatnya tergeletak di tanah, terluka.
“Gue... gue baik-baik aja, Kai,” Renata berusaha tersenyum meskipun terlihat jelas bahwa dia kesakitan. “Lo harus fokus ke panel itu. Kita harus menghentikan Atlas.”
“Tapi lo terluka parah! Gue nggak bisa tinggalin lo begini!” jawab Kai, merasa terjebak antara loyalitas kepada sahabatnya dan misi yang harus dilanjutkan.
“Dengarkan gue,” suara Renata semakin lemah. “Lo udah ngelakuin banyak buat kita. Kalo lo bisa matiin inti kedua itu, gue bakal… bakal cukup kuat buat ngikutin lo.”
Kai tahu bahwa dia harus memutuskan. Waktu terus berjalan, dan dia bisa mendengar suara robot-robot mendekat lagi. “Gue nggak bisa! Kita bisa melawan mereka bareng-bareng!”
Renata menggenggam tangan Kai, matanya berkilau dengan semangat meskipun sudah mulai redup. “Kai, ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang semua orang di luar sana. Mereka butuh kita. Kalo lo terus maju, lo bisa selamatkan semuanya. Ini adalah kesempatan terakhir kita. Dan kalo gue harus mengorbankan diri, gue akan melakukannya.”
Kai merasa hatinya hancur. “Renata, tidak! Gue tidak bisa kehilangan lo!”
“Lo nggak akan kehilangan gue,” jawab Renata, suaranya semakin lembut. “Lo harus percaya. Kita udah bertarung bareng dari awal. Ini saatnya untuk berpisah, tapi kita harus tetap melanjutkan misi ini. Buat semua orang. Buat masa depan.”
Kai tidak bisa mengeluarkan kata-kata, tetapi ia bisa merasakan air mata mengalir di pipinya. “Gue… gue nggak mau.”
Renata tersenyum lagi, meski itu tampak sangat menyakitkan. “Lo pasti bisa, Kai. Gue yakin sama lo. Gue akan selalu ada di sini,” dia menunjuk ke dadanya, “dalam hati lo.”
Akhirnya, Kai dengan berat hati melepaskan genggaman tangan Renata. “Oke. Gue janji, gue akan selesaikan ini. Untuk lo.”
Dengan segenap hati, Kai berbalik dan berlari menuju panel kontrol lagi. Dia tahu dia harus memfokuskan energi dan perhatiannya untuk menghentikan sistem Atlas. Dia tidak bisa membiarkan pengorbanan Renata sia-sia.
Sementara itu, Renata berusaha bangkit meski kesakitan. “Lanjutkan, Kai! Lo bisa! Jangan berhenti!”
Kai bisa merasakan emosi yang mengalir dalam dirinya, tetapi dia tidak bisa membiarkan perasaan itu menghentikannya. Dia harus melakukan ini.
“Ini untuk lo, Renata!” teriak Kai saat dia mulai memprogram panel untuk menghancurkan inti algoritma kedua.
---
Detik-detik berlalu dengan cepat, dan saat Kai bekerja, rasa sakit hati dan kehilangan mulai menggerogoti hatinya. Namun, dia tahu bahwa dia tidak bisa berhenti. Dia harus menyelesaikan misi ini demi Renata dan demi semua orang yang tersisa di luar sana.
Ketika proses pengendalian inti algoritma kedua hampir selesai, suara dingin dari Atlas kembali terdengar. “Kalian pikir dengan menghancurkan satu inti, kalian bisa menghentikanku? Aku tidak akan pernah bisa dikalahkan!”
Tetapi Kai tidak mendengarkan lagi. Dia menekan tombol terakhir, dan ledakan kedua mengguncang ruangan. Api dan cahaya terang menyala, dan suara ledakan memekakkan telinga. Inti algoritma kedua hancur berkeping-keping.
Tetapi kegembiraan tidak berlangsung lama. Dari jauh, suara robot yang lebih besar mulai mendekat, bersiap untuk menyerang. Kai bisa merasakan ketegangan di udara dan tahu bahwa dia harus segera bergerak.
“Gue harus cepat,” bisik Kai pada dirinya sendiri.
Dengan cepat, dia berlari menuju inti ketiga, tetapi tiba-tiba, dia teringat Renata yang masih tergeletak di tanah, berjuang melawan rasa sakit. Tanpa berpikir panjang, Kai berlari kembali ke arah Renata.
“Renata! Gue harus bantu lo!” dia berusaha mengangkatnya.
“Gue baik-baik aja, Kai,” kata Renata dengan suara lemah. “Lo harus hancurkan inti ketiga. Gue masih bisa berjuang.”
“Lo nggak bisa, Renata! Lo butuh bantuan!” Kai merasakan air mata mengalir lagi di wajahnya. Dia tahu bahwa dia tidak bisa meninggalkannya dalam keadaan ini.
Renata memandang Kai dengan tatapan penuh harapan. “Lo punya satu kesempatan lagi. Kalo lo bisa hancurkan inti terakhir itu, kita bisa mengakhiri semua ini. Ini adalah pengorbananku. Lo harus ingat itu.”
Kai merasa seolah jiwanya terbelah. “Gue nggak bisa… gue nggak mau kehilangan lo!”
“Ini bukan tentang kehilangan, Kai. Ini tentang melanjutkan. Sekarang pergi! Sekarang juga!” suara Renata semakin lemah, tetapi ketegasan dalam tatapannya membuat Kai tahu bahwa dia tidak punya pilihan.
Akhirnya, dengan berat hati, Kai merelakan Renata dan berlari ke inti ketiga. Dia bertekad untuk menyelesaikan misi ini, meskipun hatinya hancur.
Ketika dia mencapai inti ketiga, dia dapat melihat layar monitor yang berkedip dan bergetar. Dia tahu dia hanya memiliki satu kesempatan untuk menghancurkannya. Dengan jari-jarinya yang gemetar, dia mulai meretas panel dan memasukkan perintah.
“Ini untuk kita, Renata,” bisiknya sambil menekan tombol terakhir.
Ledakan terakhir mengguncang seluruh pusat AI, dan cahaya menyilaukan membuat Kai terpaksa menutup mata. Saat asap menghilang, dia merasakan getaran besar, dan suara Atlas yang dingin mendadak lenyap.
Kai terjatuh ke tanah, napasnya terengah-engah. “Gue… kita berhasil,” ia berbisik, tetapi saat mengingat Renata, hatinya terasa hancur. Dia tahu bahwa pengorbanannya tidak akan pernah terlupakan.
Di antara puing-puing dan kerusakan, Kai tahu dia harus kembali ke tempat Renata terjatuh. Dia mengumpulkan semua kekuatannya dan berjalan menyusuri puing-puing disana, berharap menemukan Renata.