Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ingatan Ghio
"Kira-kira, kapan Bu Halidah pulang, pak?"
"Sekitar dua hari, atau bisa saja besok ibu sudah pulang, nak."
"Oh, begitu. Kalau Beliau sudah datang, tolong bilang saya ya, pak!"
"Iya, nak Rain."
Rain menundukkan kepala sekilas. Seraya tersenyum, ia berlalu dari hadapan pak Surya.
Sebelum benar-benar pergi, Rain kembali berbalik. "Pak Surya!"
Penjaga keamanan komplek itu menoleh.
Rain kembali berjalan ke arah pak Surya.
"Kenapa lagi?"
"Bapak tahu, gak, siapa yang tinggal di kontrakan yang saya tempati sekarang sebelum tempatnya jadi seram?" tanya Rain.
"Sebelum seram?" Pak Surya tampak berpikir. Lalu pria itu menggaruk kepalanya. "Siapa, ya?"
"Sebelum saya siapa, pak?" tanya Rain. Ada harapan dalam hatinya pak Surya mengetahui sesuatu.
"Sebelum nak Rain, ada dua gadis. Anak kuliahan juga."
"Sebelumnya lagi?"
"Sebelumnya, ya? ah... Ada juga keluarga yang tinggal disana. Tapi mereka langsung pindah cepat, waktunya gak sampai satu bulan. Ya... Karena itu juga, nak Rain." Pak Surya kembali menggaruk kepalanya. Ia tersenyum tak enak. "Keluhannya karena diganggu juga. Saya bukannya mau menjelek-jelekkan tempatnya. Cuma, ya... Emang begitu kata orang." Ia memasang wajah memelas. "Nak Rain jangan bilangin Bu Halidah, ya."
Rain tersenyum sambil menggeleng. "Enggak kok, pak." Ia tahu pak Surya takut dipecat.
"Aaa... Dulu ada laki-laki yang tinggal di sana, ya, pak?" tanya Rain.
Pak Surya kembali berpikir, seperti mencoba mengingat kejadian dimasa lalu. Berhubung, pak Surya sudah tidak muda lagi.
"Mas-mas ganteng?" kata Rain lagi.
"Oh... Ada. Ada, nak," kata Pak Surya antusias ketika berhasil mengingatnya. "Dulu ada yang tinggal disana. Cowok ganteng."
Rain menatap serius. "Namanya siapa, pak?"
"Namanya... " Pak Surya kembali mengingat. "Ghio kalau gak salah."
Mata Rain melebar. Berarti cerita suami Bu Jumi itu benar.
"Apa benar, setelah Ghio kecelakaan kontrakannya jadi seram?" Rain kembali bertanya.
Pak Surya terkejut. "Nak Rain tahu dari mana kalau nak Ghio kecelakaan?"
Rain menyengir kuda. "Kata tetangga, pak. Tapi emang benar, kan?" tanyanya memastikan.
Pak Surya diam sebentar, lalu mengangguk.
"Nah." Rain menjentikkan jari. "Kecelakaan seperti apa, pak, kalau boleh tahu?"
"Nak Rain kenapa nanya-nanya tentang dia? Nanti kalau dia dengar bagaimana?" tanya pak Surya dengan pelan. "Nanti marah kalau dia tersinggung."
"Dia emang dengar, pak."
"Hah?" raut terkejut terpampang di wajah pak Surya.
Melihat itu, Rain langsung sadar. Matanya berkedip sebentar. Diliriknya sosok di sampingnya. Astaga! Rain keceplosan.
"Hehe... Bapak jangan kaget gitu. Saya cuma bercanda," kata Rain seraya tertawa kecil.
Rain sebenarnya juga kaget. Sejak kapan Ghio ada di sampingnya?
"Nak Rain jangan suka bercanda begitu. Gak lucu, nak. Saya bisa jantungan. Saya pikir nak Rain punya kemampuan itu, bisa lihat yang tidak terlihat," ucap Pak Surya.
Rain tertawa paksa sambil mengibaskan tangannya. "Ah... Bapak. Saya mana punya kemampuan begitu. Tadi saya cuma bercanda aja, pak. Maaf, ya."
"Yowess."
"Jadi, kecelakaan seperti apa, pak?"
"Nak Rain se-penasaran itu, ya? Nak Rain gak takut?"
Rain menggeleng. "Saya sangat penasaran."
Pak Surya mengangguk. "Katanya sih, tabrakan."
"Tabrakan?"
Pak Surya mengangguk. "Ada dua korban. Satu nak Ghio, satu lagi saya kurang tahu siapa korbannya."
Rain diam berpikir. Tabrakan? Apa separah itu sampai keadaan Ghio menjadi seperti ini?
Rain melirik Ghio. Sosok itu terkejut. Rain dapat melihatnya dari raut wajahnya. Ghio nampak berpikir, dan kening yang berkerut dalam. Sangat disayangkan, dia pasti tidak mengingat apapun.
Rain tersadar ketika Ghio tiba-tiba memegang kepalanya sendiri. Rain langsung panik. Ghio terlihat kesakitan. kedua tangannya memegang kepalanya dengan kuat. Mata Ghio terpejam.
"Kamu kenapa?" tanya Rain panik.
"Kenapa, nak?" tanya Pak Surya melihat wajah cemas Rain.
Rain sadar pak Surya masih di sini.
"Ah... gak pa-pa, pak." kata Rain memaksakan senyum. "Nanti saya datang lagi, pak. Ah... Saya ada urusan sebentar." Rain segera berlalu dari hadapan pak Surya.
Rain berlari cepat ke kontrakannya. Tadi, tubuh Ghio tiba-tiba saja menghilang setelah ia memegangi kepalanya. Dia terlihat kesakitan.
Rain langsung saja membuka pintu. Ia mencari keberadaan Ghio.
"Ghio!" panggilnya. Untungnya Asya sudah pergi mengajar.
"Ghio!" panggil Rain lagi.
Ia tidak menemukan keberadaan Ghio. Lantas, Rain berlari mencarinya di rooftop. Namun, rooftop juga kosong.
Rain kembali masuk ke dalam rumah.
"Dimana dia?" monolognya seraya mengedarkan pandangan ke segala arah.
"AAGH!"
Rain mendengar teriakan. Itu suara Ghio. Asal suaranya dari kamar.
"Ghio?"
Segera Rain berlari ke kamar, dan didapatinya Ghio duduk di lantai dengan bersandar ke kasur. Keadaannya berantakan.
"Ghio?" Rain berteriak panik sambil berlari ke arah Ghio.
Keadaan Ghio terlihat kacau. Ia duduk lemas. Rambutnya berantakan. Tangan kanannya mengawang dengan keadaan bergetar.
"Kamu kenapa, Ghio?" Rain menyentuh bahu Ghio.
Saat itu juga Ghio langsung menoleh ke arahnya. Matanya memerah berkaca-kaca.
"Ada apa?" tanya Rain cemas.
Ghio tetap diam. Tatapannya lurus ke mata Rain. Tapi bukan Rain yang dilihatnya. Rain tahu, mata itu menatap kosong.
"Ghio?" Rain mengguncang bahu Ghio, hingga sosok itu tersadar. "Ada apa?"
"Rain," kata Ghio pelan.
Rain berjongkok. Ditunggunya ucapan Ghio selanjutnya. Tapi, sosok itu kembali menutup mulut.
Ada apa dengannya? Rain ingat, Ghio memegangi kepalanya setelah mendengar ucapan pak Surya. Apa Ghio mencoba mengingat apa yang diucapkan pak Surya?
"Apa kau mengingat sesuatu?" tanya Rain setelah menyimpulkan isi pikirannya.
Ghio menatap Rain sebentar, lalu menatap tangannya yang masih gemetar.
Rain mengikuti arah pandang Ghio. Hingga ia sadar, ternyata tangan pria itu bergetar hebat.
"Darah."
"Apa?" tanya Rain bingung.
"Banyak darah," kata Ghio dengan tatapan kosong. "Aku melihat banyak darah. Tanganku. Banyak darah."
Walau Ghio tidak menjelaskan bagaimana detailnya, Rain paham maksud Ghio.
Rain menatap tangan gemetar Ghio. Tangan itu terlihat pucat. Lalu Rain menatap manik mata Ghio. Tatapannya masih kosong, memandang nanar tangannya.
Separah apa kecelakaan itu? Rain bisa melihat ketakutan di mata Ghio. Mata itu ikut bergetar.
Rain seolah tak mampu melihatnya. Segera Rain menggenggam tangan Ghio. Memegang erat-erat jarinya untuk menghentikan getaran itu.
Ghio menatapnya.
Rain memeluk Ghio tiba-tiba. Tangannya kanannya masih menggenggam erat tangan Ghio.
Tubuh Ghio menegang mendapat pelukan itu. Ia segera sadar, bahwa Rain memeluknya. Tapi, Ghio tidak melepaskannya. Karena kata-kata Rain membuatnya mulai merasa hangat.
"Aku gak tahu seperti apa yang kamu lihat dalam ingatan itu. Tapi, jangan mengingatnya lagi kalau hanya membuatmu takut," kata Rain pelan. Tangannya mengusap belakang kepala Ghio, sebab ia membawa kepala Ghio di atas bahunya.
"Jangan dipikirkan lagi," kata Rain.
Perlahan tubuh Ghio mulai normal. Rain bisa merasakan tangan Ghio tak lagi gemetar.
Rain langsung melepas pelukannya. Namun, tangannya tetap menggenggam tangan Ghio.
Rain melemparkan senyum manis. "Sudah lebih baik?"
Ghio mengangguk pelan sambil menatap mata Rain.
Rain menggulung bibirnya ke dalam. "Aku minta maaf karena mengungkitnya di depanmu. Lain kali, jangan muncul tiba-tiba seperti itu. Oke?" Rain mengacungkan jempol kirinya.
Ghio mengangguk sambil mengangkat jempol kirinya juga.
"Aku akan melakukannya sendiri."
"Melakukan apa?" tanya Ghio.
Rain tersenyum. "Tidak ada. Kalau kamu mengingat sesuatu lagi, jangan langsung menghilang, ya. Aku khawatir nyariin kamu. Kalau tiba-tiba kamu ingat hal buruk lagi, gimana? Jangan ngilang lagi, oke?"
Ghio mengangguk patuh.
Rain tersenyum senang. Ghio terlihat imut di matanya.
Lantas Rain mengelus kepala Ghio. "Bagus. Anak baik," katanya.
Mata Ghio membola. Ia mengambil tangan Rain dari kepalanya. "Aku bukan anak kecil," katanya dengan raut kesal.
Rain tertawa. Astaga. Lucu sekali.
"Iya. Kamu bukan anak kecil, tapi anak besar yang seperti anak kecil. Aku merasa seperti seorang ibu sekarang," kata Rain. Tawanya tidak berhenti.
Ghio tersenyum melihatnya. Benar. Rain seperti ibu. Rain merawatnya, memberinya makan, berbelanja untuknya, dan sekarang, Rain menenangkannya ketika rasa takut menghadangnya. Gadis itu penolongnya. Rain menerimanya, padahal ia sangat berbeda dari Rain. Walau ia hanya roh yang tersesat, Rain menganggapnya sebagai keluarga.
"Rain."
Rain menghentikan tawanya. "Hm?" Ia menatap Ghio yang juga sedang menatapnya.
"Terima kasih banyak."