"perceraian ini hanya sementara Eve?" itulah yang Mason Zanella katakan padanya untuk menjaga nama baiknya demi mencalonkan diri sebagai gubernur untuk negara bagian Penssylvania.
Everly yang memiliki ayah seorang pembunuh dan Ibu seorang pecandu obat terlarang tidak punya pilihan lain selain menyetujui ide itu.
Untuk kedua kalinya ia kembali berkorban dalam pernikahannya. Namun ditengah perpisahan sementara itu, hadir seorang pemuda yang lebih muda 7 tahun darinya bernama Christopher J.V yang mengejar dan terang-terangan menyukainya sejak cinta satu malam terjadi di antara mereka. Bahkan meski pemuda itu mengetahui Everly adalah istri orang dia tetap mengejarnya, menggodanya hingga keduanya jatuh di dalam hubungan yang lebih intim, saling mengobati kesakitannya tanpa tahu bahwa rahasia masing-masing dari mereka semakin terkuak ke permukaan. Everly mencintai Chris namun Mason adalah rumah pertama baginya. Apakah Everly akan kembali pada Mason? atau lebih memilih Christopher
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dark Vanilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran
Malam itu, kamar Lilly Anne diterangi cahaya lampu tidur berbentuk bulan yang memancarkan kehangatan. Everly masuk perlahan, Lilly Anne, yang sudah berbaring dengan boneka kelinci kesayangannya, menoleh dan tersenyum cerah.
"Ibu, kita baca cerita apa malam ini?" tanyanya dengan mata berbinar.
Everly duduk di tepi tempat tidur, mengusap lembut rambut cokelat putrinya. "Bukan cerita malam ini, Sayang. Ibu ingin bicara sesuatu yang penting denganmu."
Lilly Anne mengerutkan dahi, memasang wajah serius seperti meniru orang dewasa. "Penting? Apa Ibu mau kasih kejutan?"
Everly tertawa kecil, meski hatinya terasa berat. Ia menggenggam tangan mungil putrinya.
“Lilly, Apakah kau punya cita-cita?” tanya wanita dewasa itu dengan lembut.
“Iya ibu. Aku ingin menjadi perawat? aku ingin merawat ibu, ayah dan nenek jika nanti kalian sakit.”
“Apa itu artinya kamu ingin kami sakit?” goda Everly pada gadis kecilnya.
“Noo… tapi jika suatu saat kalian sakit, Lilly yang menjadi perawat yang siap siaga.” Bocah yang baru menginjak 7 tahun itu tertawa lebar pada sang ibu.
Everly kembali tersenyum hangat. “Kalau begitu apa yang harus kau lakukan untuk mewujudkan impianmu itu?”
“Sekolah dan belajar yang rajin!”
“Waah, Lilly kami sudah pintar rupanya.” Eve mengecup pipi sang anak dengan gemas.
“Apa Lilly tahu bahwa ibu juga punya cita-cita?”
Lilly menatap ibunya dengan mata berbinar, penuh rasa ingin tahu. "Benarkah? Apa itu, Bu?"
Everly menghela napas pelan, “Dulu ibu ingin sekali meneruskan sekolah di jurusan seni. Tapi kemudian ibu tidak memiliki biaya untuk kuliah. Jadi ibu tidak bisa mewujudkan impian ibu.”
Lilly mendengarkan dengan seksama, matanya terbuka lebar, seolah berusaha memahami kata-kata ibunya. “Kalau begitu sekarang kan ayah sudah banyak uang. Ibu bisa mewujudkan impian ibu sekarang.”
Sekali lagi Everly tersenyum pada anaknya. “Maka dari itu, ibu akan melanjutkan sekolah ibu di suatu tempat, dan tempat itu agak jauh dari sini.”
Lilly Anne seketika terdiam, namun mata bulatnya masih menatap Anne bingung. “Apa… itu artinya ibu akan pergi.”
Everly perlahan mengelus kepala anaknya. “Iya, sayang. Ibu mungkin harus pergi untuk beberapa waktu. Tapi itu bukan berarti ibu akan meninggalkanmu. Ibu akan mengunjungimu sesekali, dan selama ibu pergi, ayah dan nenek akan selalu ada untuk menemanimu. kita juga bisa berbagi kabar lewat telepon ataupun chat.”
Lilly menggigit bibir bawahnya, matanya mulai berkaca-kaca. “Tapi… Lilly akan kangen, Bu.”
Everly menunduk, menatap mata Lilly dengan lembut. “Ibu juga akan sangat merindukan Lilly. Tapi ibu ingin Lilly tahu, ini bukan untuk selamanya. Ibu ingin melanjutkan impian ibu, supaya ibu bisa lebih baik lagi untuk kalian. Ibu ingin menunjukkan bahwa tidak ada kata terlambat untuk mengejar apa yang kita impikan, dan ibu ingin kalian bangga pada ibu.”
Gadis kecil itu tertunduk dan terdiam kembali. Tangan mungilnya memainkan bulu boneka kelinci dengan gelisah.
“Apa ibu bahagia jika melakukan itu?” tanyanya kemudian.
“Tentu saja sayang. Lilly juga akan mengerti suatu saat nanti, bahwa ketika impian kita terwujud, itu adalah hal yang sangat membahagiakan.”
Berpikir sejenak sebelum kemudian Lilly berujar kembali. “Kalau begitu, baiklah. Lilly akan mendukung, ibu. Ibu jangan khawatir, Lilly akan hidup dengan baik bersama ayah dan nenek.”
Everly terharu, betapa pengertiannya sang anak. “Oh, My sweet Lilly, ibu mencintaimu sayang. Sangat amat mencintaimu.”
Wanita itu meraih Everly kedalam pelukannya. Meski pikirannya dan hatinya sungguh keberatan dengan situasi yang dihadapi, tetapi tidak banyak yang bisa ia lakukan.
“Lilly juga ibu.”
...***...
Everly menutup pintu kamar Lilly Anne dengan hati-hati, memastikan putrinya sudah terlelap sebelum ia meninggalkan ruangan. Namun, di balik selimut, Lilly Anne membuka matanya perlahan, tatapannya penuh kegundahan. Ia menunggu sampai suara langkah ibunya menjauh, lalu bangkit dari tempat tidur. Dengan boneka kelinci di pelukannya, ia berjalan keluar kamar menuju ruang tidur neneknya.
Rosaline sedang duduk di kursi di sudut ruangan, karena lampu yang remang-remang, seseorang di hadapan wanita tua itu terlihat seperti siluet.
Saat melihat Lilly Anne masuk, Rosaline langsung meletakkan bukunya dan mendekati sang cucu. Wajah Lilly tampak muram, matanya memerah seperti menahan tangis.
"Nenek..." suara Lilly lirih, bergetar.
"Nenek benar... Ibu akan pergi. Ibu akan meninggalkan aku."
Tangis Lilly pecah, dan Rosaline segera memeluknya erat. "Oh, Sayangku, jangan menangis.” Wanita tua itu mengusap punggung mencoba menenangkannya.
“Kau tidak perlu sedih. bukankah sudah kuceritakan padamu kebenarannya? Kau anak yang manis dan pengertian, meski dia pergi kau tetap bisa melihatnya sekali-kali, tenang saja sayang,” bujuk wanita tua itu pada cucunya yang masih sesegukan.
“Tapi aku mau ibu tetap disini, bantu aku mencegah ibu pergi, nek.”
Rosaline menatap cucunya iba, mengangkat gadis itu ke dalam gendongannya. “Sayang, bukankah nenek sudah katakan padamu. Bagaimanapun dia bukan ibu kandungmu, sayang.”
Rosaline menatap wajah polos Lilly dengan sorot mata yang tajam namun lembut. Ia mengusap pipi cucunya dan berkata, "Lilly, dengarkan nenek, kau tidak perlu sedih karena kepergian wanita itu.” Rosaline berkata seperti itu dengan wajah serius.
“Karena ibu yang sebenarnya ada di sini, Sayang. Dialah yang melahirkanmu."
Dari balik tubuh sang nenek, Lilly dapat melihat siluet yang nampak gelap itu kini menjelma menjadi bentuk utuh seorang wanita dewasa, ketika cahaya lampu lantai mengenainya. Wanita itu memiliki rambut coklat panjang ikal seperti milik Lilly, tersenyum dengan mata berkaca-kaca pada sang gadis kecil.
Wanita itu melangkah maju, menatap Lilly. "Hai, Lilly Anne," katanya dengan suara lembut yang bergetar.
Sementara Rosaline tersenyum puas.
****
Benturan roda koper dengan jalanan aspal di bawahnya terdengar ketika Everly mengeluarkan bagasinya dari mobil. Anaya dari pintu pengemudi keluar ikut membantunya.
“Kau yakin tidak ingin kutemani,” tanya sahabatnya itu khawatir. Anaya serius mengkhawatirkan Everly, sejak di mobil, menempuh 4 jam perjalanan, wanita itu hanya termenung pada pemandangan di luar jendela mobil, tanpa mengucapkan satu kata pun, dan Anaya memakluminya.
Tetapi dia agak khawatir untuk meninggalkan Everly sendirian di apartemen. Setidaknya meski dirinya tidak membantu banyak, dia bisa menjadi tempat curhat atau sekedar tukar pikiran.
“Tidak, Nay, kau sudah sangat membantuku dengan menjemputku di pagi buta,” kata Everly tak enak hati, setelah mengganggu tidur sahabatnya itu. Dia sengaja pergi subuh-subuh sebelum Lilly Anne bangun, karena tidak ingin membuat Lilly terlalu sedih.
Meski sempat terlibat perdebatan kecil dengan Mason yang memaksa untuk mengantarnya pada siang hari, tetapi pria itu akhirnya menyerah ketika Everly bilang ingin pergi sendiri dan menenangkan hatinya. “Lagi pula saat ini aku benar-benar ingin sendirian, Nay,” tambah Everly lagi.
Tidak ada yang bisa Anaya katakan selain mengangguk paham. Ia akan memberikan ruang kepada sahabatnya, tetapi tetap memastikan Everly akan menelponnya jika butuh sesuatu.
“Kau harus menelponku jika butuh bantuan atau apapun. Ingat kau tidak sendiri, aku dan Rosemary masih ada untukmu, Eve,” ujar Anaya mengingatkan.
Everly tersenyum. “Aku tahu, terima kasih.”
Setelah berpelukan sebentar, Mobil Anaya perlahan menjauh dari sahabatnya yang melambai padanya.
Everly berpaling pada apartemen tua yang masih berdiri kokoh di hadapannya. Apartemen yang menjadi saksi persatuan nya dengan Mason dalam ikatan pernikahan. Apartemen yang menjadi saksi masa-masa sulit mereka membangun rumah tangga di tengah himpitan ekonomi, sebelum semuanya berubah ketika mereka pindah ke Harrisburg, pusat kota Pennsylvania.
Everly sebenarnya tahu, jika pilihannya ini bisa saja salah. Kembali ke tempat yang menyimpan banyak kenangan hari bahagia mereka mungkin saja akan melukainya tambah dalam. Tetapi justru ia berpikir sebaliknya, mungkin kembali mengingat masa lalu maka ia dapat menghargai hubungannya dengan Mason kembali. Dapat menemukan makna dari hubungan mereka yang sebenarnya. Selain itu ia dapat memastikan hatinya, pantaskah dia mempertahankan perasaan dan kepercayaan kepada seorang Mason Zanella, pria yang telah hidup dengannya selama 11 tahun.
Everly melangkah masuk menyeret kopernya. Menaiki lift untuk sampai ke depan pintu apartemen yang kusam. Ketika pintu itu dibuka, bau lembab serta pengap menyergap indranya. Sedikit berdebu, tetapi tidak terlalu parah. Karena bulan lalu Everly sempat meminta orang untuk membersihkan apartemen ini, jaga-jaga jika seandainya dia sekeluarga akan mengunjungi tempat ini kembali, meski pada akhirnya dia hanya seorang diri datang ke sini.
Everly meninggalkan kopernya di foyer, berjalan memasuki apartemen kecil yang hanya memiliki satu ruang tidur, kamar mandi, dan ruang keluarga yang tersambung dengan dapur. Sebagian besar furniture di apartemen itu dilindungi kain putih dari debu. Mengikat rambutnya dan menggulung lengan baju, Everly mulai membuka jendela, lalu kain yang menutupi furniture satu-persatu dengan hati-hati. Kemudian menyedot lantai yang berdebu dan menata barang-barang dari kopernya satu persatu ke dalam lemari yang kosong.
Namun sesuatu menghentikan gerakannya ketika mata biru Everly berpapasan dengan foto polaroid yang tertempel di pintu lemari kayu itu.
Matanya perlahan ditutupi kabut kesedihan, tatkala menyaksikan bagaimana sumringahnya senyuman Mason dan Everly muda di dalam foto itu, dalam balutan jas dan gaun pernikahan, berpose konyol.
Satu-persatu cairan bening yang tak lagi tertahankan itu jatuh di sudut netra birunya. Bersamaan dengan tubuh ringkihnya melorot ke lantai. Dengan memeluk lutut, Everly tenggelam dalam tangisannya di tempat yang penuh kenangan masa-masa indah pernikahannya.