Namanya Erik, pria muda berusia 21 tahun itu selalu mendapat perlakuan yang buruk dari rekan kerjanya hanya karena dia seorang karyawan baru sebagai Office Boy di perusahaan paling terkenal di negaranya.
Kehidupan asmaranya pun sama buruknya. Tiga kali menjalin asmara, tiga kali pula dia dikhianati hanya karena masalah ekonomi dan pekerjaannya.
Tapi, apa yang akan terjadi, jika para pembenci Erik, mengetahui siapa Erik yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali Dikhianati
Waktu itu, pukul 10 malam, di salah satu sudut sebuah kota, nampak seorang pria, menatap nanar ke satu arah.
Dari sorot matanya, tergambar jelas amarah yang makin membara serta rasa kecewa yang begitu besar, sampai dia menahan titik air yang hendak keluar dari sudut matanya.
"Rik."
Pria itu menoleh, menatap temannya yang duduk di jok belakang.
"Aku akan samperin mereka, Jo."
Pria yang akrab dipanggil Erik itu turun dari motor bututnya. Begitu juga temannya yang akrab dipanggil Jojo. Erik segera melangkah, menuju sebuah kafe yang sedari tadi dia perhatikan dan Jojo mengikutinya dari belakang.
"Jadi, ini yang kamu lakukan setiap pulang kerja," ucap Erik pada seorang wanita yang nampak asyik berbincang dengan seorang pria.
Wanita itu menoleh dan sudah pasti, dia langsung terkejut. "Erik?"
"Kenapa? Kaget? Aku tahu kamu ada di sini?" Erik melangkah, lalu duduk di kursi yang terletak di seberang meja wanita itu.
"Siapa dia, Ken?" tanya pria yang duduk bersama wanita itu.
"Bukan siapa-siapa," jawab si wanita nampak begitu tenang. "Kamu bisa pergi sejenak? Aku ingin ngobrol sebentar sama dia."
Pria itu mengangguk. Meski dari raut wajahnya terlihat sangat keberatan, tapi dia tahu apa yang sedang terjadi pada dua orang itu. Pria itupun menyingkir sejenak, duduk di tempat lain.
Mata Erik melebar, mendengar jawaban wanita tersebut. "Bukan siapa-siapa?" tanya Erik memastikan.
Rongga dadanya sangat bergemuruh. Ingin rasanya Erik meluapkan amarahnya saat itu juga. Namun dia berusaha menahannya karena merasa tidak enak jika melampiaskan emosinya.
"Terus, kamu ingin aku jawab apa? Kekasihku? Cih!" wanita itu malah melempar pertanyaan yang semakin membuat dada Erik begitu sesak.
"Jika kamu ingin aku menganggap kamu orang spesial, tunjukan kepadaku, apa yang spesial dari kamu?"
Erik terbungkam. Semua kata yang ingin dia luapkan, seakan berhenti di tengah tenggorokan. Hanya tatapan tajam penuh amarah, melihat sikap wanita yang dia cintai sepenuh hati, sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalahnya.
"Kamu mau marah, silahkan. Tapi bukankah kamu tahu, apa yang aku bicarakan itu fakta? Oke, di awal hubungan kita, memang, aku sangat mencintai kamu. Tapi semakin ke sini, aku sadar, aku harus memakai logikaku, Rik. Aku tidak bisa mengandalkanmu untuk meraih masa depan yang lebih baik. Kita terlalu banyak perbedaan, Rik. Lagian, kamu tahu sendiri, orang tuaku nggak pernah merestui hubungan kita. Aku sadar, ucapan mereka memang benar. Aku nggak mau hidup miskin, Rik."
Erik masih terbungkam. Dia memang miskin, tapi dia tidak menyangka, Niken, wanita yang di awal hubungan, mengatakan, akan menerima Erik apa adanya dan mau menemaninya berjuang dari nol, ternyata ujung-ujungnya sama saja seperti mantan Erik yang lainnya.
"Tapi setidaknya, aku sedang berjuang, Ken. Apa kamu tidak melihat perjuanganku?" Kali ini, Erik membuka suaranya.
"Hahaha..." tawa Niken terkesan sangat mengejek. "Hanya mengandalkan gajimu yang tidak seberapa dari seorang OB, mana kenyang?"
Niken mengangkat gelas kopi yang ada di hadapannya. "Apa kamu pernah, selama dua bulan kita jalan, membelikanku kopi ini? Nggak kan?"
Erik kembali terbungkam. Dia memang tidak bisa membantah ucapan Niken.
"Sorry, Rik, detik ini juga, kita putus. Anggap aja, kita tidak pernah saling kenal, mengerti?" Niken bangkit dan meninggalkan Erik yang masih terdiam. Erik hanya menatap Niken yang berlalu dengan kekasih barunya tanpa ada niat untuk mencegahnya.
"Rik," Jojo yang sedari tadi mengawasi dari tempat lain, langsung mendekati sahabatnya.
"Gimana? Kenapa kamu malah kebanyakan diam? Harusnya kamu maki dia dong?" Jojo malah kesal dengan sikap Erik yang dinilai kurang tegas.
"Buat apa?" Balas Erik sampai membuat sahabatnya terkejut.
"Buat apa?" Jojo mengulang pertanyaan Erik. "Kamu bilang buat apa, Rik? Astaga!" Jojo semakin tak percaya dengan sikap sahabatnya.
Erik pun tersenyum. "Sudahlah, mending kita pulang," Erik bangkit dari duduknya dan melangkah, meninggalkan sahabatnya dalam terbalut dalam rasa heran.
"Tadi aja kaya orang mau ngamuk. Giliran udah di depan mata, malah diam kaya pengecut," gerutu Jojo, lalu dia segera menyusul sahabatnya.
Emosi, tentu, Erik sangat emosi. Namun, Erik sadar, saat ini dia sedang tidak beruntung. Erik selalu mendapatkan wanita yang hanya manis diawal saja.
"Kita nongkrong dulu?" tanya Jojo, satu-satunya sahabat yang selalu berada di sisi Erik dalam keadaan apapun.
Mungkin karena memiliki nasib yang sama, dua pria itu seakan saling mengerti kesusahan masing-masing. Mereka memang belum lama menjadi teman dekat. Kedekatan mereka berawal karena Erik menolong Jojo dari insiden pembulian di tempat kerja.
"Nggak lah, males aku."
"Baiklah."
Kali ini giliran Jojo yang memegang kendali motornya.
####
Keesokan harinya, seperti biasa, Jojo dan Erik bersiap untuk menjalankan tugasnya sebagai office boy. Mereka sudah mendapat jadwal, bagian kantor mana yang harus mereka bersihkan.
"Erik," panggil kepala bagian yang mengurusi para pekerja kebersihan.
"Iya, Tuan," jawab Erik patuh.
"Karena ini pertama kalinya kamu mendapat tugas membersihkan ruangan presdir, saya harap kamu melakukannya dengan baik."
"Baik, Tuan, saya akan berusaha menjalankan tugas saya sebaik mungkin."
"Oke, saya pegang kata katamu," ucap pria berusia 40 tahun tersebut.
"Baik, Tuan, kalau begitu, saya permisi."
Erik pun bergegas pergi dengan segala peralatan yang akan dia gunakan. Erik tak peduli dengan beberapa rekan kerjanya, yang memandang sinis kepadanya. Dia berlalu begitu saja, meski dia tahu, sedang ditatap penuh kebencian oleh orang-orang itu.
"Kita harus secepatnya bergerak, Bos. Biar tu anak tahu, siapa kita sebenarnya."
"Tenang saja. Hari ini, juga kita bergerak, kalian tahu kan, apa yang harus kalian lakukan?"
"Tahu, dong!"
"Sip! Ya udah, mari kita lakukan sekarang, selagi kantor masih sepi."
Ketiga orang itu serentak tertawa sembari terus menatap kepergian Erik.
Tak butuh waktu lama, Erik kini sudah berada di lantai paling tinggi gedung tempat kerjanya. Dengan dada berdebar lebih kencang, Erik memasuki satu-satunya ruang kerja yang ada di lantai tersebut.
"Wahh!"
Kagum, itulah ekpresi yang keluar dari wajah Erik, kala sudah berada di dalam ruangan pemilik perusahaan.
"Ruang kerja yang keren," gumamnya.
Erik tahu, sang pemilik perusahaan biasa berada di kantor sekitar pukul delapan. Sedangkan pekerjaannya harus selesai pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Erik segera menjalankan tugasnya sembari memperhatikan setiap detail ruang tersebut.
"Loh, ini kan?" ucap Erik kala dia sedang membersihkan meja kerja sang presdir. matanya menangkap sebuah cincin. "Kenapa, bentuknya sama seperti punyaku?"
Erik pun segera mengeluarkan kalung yang dia gunakan. "Tu kan sama persis?"
Erik mengambil cincin tersebut dan membandingkannya dengan cincin yang berada di kalungnya.
"Apa yang kamu lakukan di sana! Hah!"
Tiba-tiba sebuah suara menggelegar, membuat Erik terperanjat.