Seorang Nara Pidana yang di pindahkan ke Penjara angker di Pulau terpencil.
Ternyata tak hanya angker, penjara ini di salah gunakan untuk tindakan ilegal yaitu menjual organ-organ Para Nara Pidana.
Setelah mengetahui kebenaran tersebut, Prapto pun bertekad untuk keluar dari penjara sadis ini.......
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhy-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 21
"Aaaaaaaaaa.....sa saya tidak akan katakan !" Suara terputus-putus itu karena menahan sakit terdengar semakin jelas.
Ia pun mempercepat langkah kaki nya ke sebuah lubang persegi kecil pembuangan air, yang terletak di sisi sebelah kiri terowongan itu.
Prapto mencoba mengintip lewat lubang tersebut yang di tutupi kisi-kisi, lubang itu ukuran nya persegi empat 6x6 cm, terletak di tembok paling bawah sendiri dan terletak di atas kepala nya Prapto jika lubang tersebut di lihat dari lorong saluran air tempat Prapto berada.
Mata Prapto terbelalak kaget ketika melihat keadaan ruangan itu. Ternyata ada seorang napi yang sedang di siksa oleh tiga sipir penjara dengan posisi badan berdiri menempel ke sebuah tembok.
Kedua pergelangan tangan nya di pasung horisontal dengan tembok itu, menggunakan plat besi tebal yang di kunci dengan gembok. Kondisi nya seperti orang di salip tapi kedua kakinya renggang. Pergelangan kaki nya juga di pasung menggunakan plat besi tebal yang terpasang kuat di tembok itu.
"Baiknya kau katakan" desak salah satu sipir dengan nada datar, tapi tatapan mata nya bengis sambil berjalan pelan mondar-mandir di depan napi itu dengan tangan kanan nya memegang skalpel (pisau bedah) dan bersarung tangan latex.
Tapi napi itu seperti nya masih enggan untuk mengatakan. Dengan menahan rasa sakit dan nafas tersengal-sengal, ia masih berpegang teguh pada pendirian nya untuk tetap diam.
"Cepat katakan !!!!" Tiba-tiba sipir itu membentak keras penuh amarah dan menatap jengkel ke wajah napi tersebut.
Kresss
"AAAAAAaaaaaaaaaa.....!!! Napi itu teriak kesakitan ketika tiba-tiba sipir algojo itu menarik kuping kanan nya dan dengan cepat memotong nya menggunakan pisau operasi yang dari tadi di pegang nya.
Darah pun mengucur deras dari pangkal telinga nya sampai menetes ke lantai bak air terjun.
Tok,tok,tok....kreggg
Sipir keji itu menginjak daun telinga yang baru di iris nya yang di jatuhkan di atas lantai lalu menginjak nya dengan keras menggunakan sepatu pantofel nya, kemudian di akhiri dengan menekan keras daun telinga itu dan memplintirnya berkali-kali hingga daun telinga tersebut terkoyak.
Prapto menyaksikan itu di depan matanya dengan ekspresi wajah ngeri dan ngilu, ia spontan langsung membuang pandangan nya ke bawah karena tidak tega menyaksikan penyiksaan itu.
"Doni !,tolong ambilkan spekulum!" Perintah sipir algojo itu kepada teman nya yang dari tadi memegangi rambut napi tersebut dengan kuat.
Tanpa bicara, sipir itu langsung melepaskan rambut napi itu dan menuju meja operasi yang di atas nya banyak berjajar benda-benda tajam untuk pembedahan.
"Di di diaaa" gumam Prapto kaget setelah melihat wajah napi itu, yang dari tadi wajah napi tersebut tertutupi lengan besar sipir yang mencengkram erat rambut napi sekarat itu.
"Ya ampun dia" gumam Prapto lagi dengan ekspresi wajah emosional, sedih, marah dan merasa bersalah.
Ia sesekali menundukkan kepala untuk mengalihkan pandangan nya karena tidak tega melihat nya. Reflek kedua telapak tangan nya mengepal kencang, ingin rasanya untuk menolong nya tapi apa boleh buat, itu adalah hal mustahil.
"Apa yang ia katakan padamu Margono?" Sipir algojo itu bertanya lagi dengan nada kalem tapi mengintimidasi, sambil tangan kanan nya menunjukkan alat pencongkel mata di depan matanya.