"Dengerin saya baik-baik, Ellaine! Kamu harus jauhin Antari. Dia bakal kuliah di luar negeri dan dia bakal ngikutin rencana yang saya buat. Kamu nggak boleh ngerusak itu. Ngerti?"
Gue berusaha ngontrol napas gue. "Nyonya, apa yang Ella rasain buat dia itu nyata. Ella—"
"Cukup!" Dia angkat tangannya buat nyuruh gue diam. "Kalau kamu beneran sayang sama dia, kamu pasti pengen yang terbaik buat dia, kan?"
Gue ngangguk pelan.
"Bagus. Karena kamu bukan yang terbaik buat dia, Ellaine, kamu tahu itu. Anak dari mantan pelacur, pecandu narkoba nggak pantas buat cowok kayak Antari."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesta Penyambutan
...Antari...
...✦•┈๑⋅⋯ ⋯⋅๑┈•✦...
"Ayo dong, senyum dikit." protes Maurice.
Gue nggak jawab, mata tetap fokus ke jalan di depan. Nyetir di jalanan yang udah gue hapal di luar kepala. Pulang ke rumah tuh sama sekali nggak bikin gue excited. Tempat itu terlalu banyak nyimpan kenangan pahit yang lebih baik gue lupain.
Maurice, di sisi lain, malah seneng banget. Udah lama dia pengen ketemu keluarga gue. Gue nggak pernah ngerti kenapa dia segitu butuhnya validasi dari keluarga. Mungkin ini caranya buat mastiin kalau gue serius sama hubungan kita setelah pacaran setahun ini.
"Lo kenapa diam aja?" pertanyaannya menggantung di udara. Gue males jelasin dan kayaknya dia sadar. "Gue benci banget kalau lo tiba-tiba masuk mode silent kayak gini. Nyebelin tahu!"
Setelah itu, dia diam juga, sibuk benerin makeup-nya.
Harus gue akui, dia kelihatan cakep banget pakai dress merah yang ngepas di badannya. Rambut merahnya dibiarkan tergerai, bagian ujungnya agak bergelombang. Gue yakin nyokap bakal suka sama dia.
Elegan, dari keluarga terpandang juga. Persis tipe cewek yang nyokap selalu harapkan buat gue.
HP gue bergetar di saku. Gue langsung pasang Bluetooth di kuping.
"Ya?"
"Bos" suara Teddy, tangan kanan gue, kedengeran di seberang sana. "Maaf ganggu, gue tahu ini hari."
"Langsung aja, Teddy."
"Baik, Bos." Dia jeda sebentar. "Ada masalah. Bagian mesin ngelaporin ada kecelakaan sama salah satu bulldozer."
"Wah, ini pasti seru, nih…" gumam gue sambil makin kenceng megang setir. "Apaan lagi?"
"Di proyek baru, kayaknya tanahnya ambles pas lagi dikerjain, bulldozer-nya jatuh ke sungai. Udah diangkat pakai crane, tapi mesinnya mati total."
"Sial." Maurice melirik gue dengan wajah khawatir. " Operatornya bagaimana? Selamat?"
"Iya, Bos."
Gue lumayan lega dengarnya.
"Mesin mau dikirim ke pabrik atau ke bengkel kita?"
"Ke bengkel kita aja, gue lebih percaya sama mekanik sendiri. Kasih update terus."
Gue tutup telepon setelah dia konfirmasi. Dari sudut mata, gue bisa lihat Maurice memperhatikan gue.
"Semua aman?"
"Cuma masalah mesin."
Gue parkir mobil dan langsung buka sabuk pengaman.
"Gue nggak bisa bohong, gue deg-degan banget, nih…" dia ketawa, terdengar agak gugup.
Gue keluar dari mobil, jalan ke sisi lain bukain pintu buat dia. Maurice turun sambil megang tangan gue, dan kita jalan menuju pintu utama.
Rumah gue…
Meskipun gue udah lama nggak tinggal di sini, cuma sesekali mampir dalam lima tahun terakhir, ada rasa familiar yang langsung nyerang. Dan sialnya, ada sepasang mata hitam yang muncul di kepala gue, mengganggu seperti biasa.
"Kok sepi? Katanya ada pesta?" Maurice nyodorin kuping ke pintu, penasaran.
"Ada, tapi nyokap biasanya kasih surprise." Gue pegang gagang pintu. "Jadi, nanti pura-pura kaget aja, ya."
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
...Ellaine...
...────୨ৎ────જ⁀➴...
Pintu terbuka, lampu dinyalain, dan tepuk tangan menggema di ruangan besar ini.
Gue benci bagaimana jantung gue langsung berdetak lebih cepat begitu lihat dia.
Antari.
Gue nggak bisa pura-pura nggak ngeh kalau dia udah banyak berubah.
Dia bukan lagi cowok 17 tahun dengan mata berbinar yang dulu genggam tangan gue di malam kembang api itu. Sekarang dia udah jadi laki-laki seutuhnya. pakai jas rapi yang bikin dia kelihatan lebih tua dari umurnya.
Orang-orang langsung mengelilingi dia, termasuk bokap-nyokapnya.
Dia berubah.
Banget.
Dulu sering senyum, sekarang matanya kosong, dingin.
Tapi gue nggak bisa bohong, dia makin ganteng.
Rahangnya lebih tegas, wajahnya dihiasi jenggot tipis yang bikin dia kelihatan lebih dewasa. Gue akhirnya berhasil mengalihkan pandangan dari dia, dan saat itu gue baru sadar ada cewek berambut merah di sampingnya.
Cantik banget.
Badannya berisi, pakai dress yang… yah, cukup pamer lah.
Dia ngerapihin sejumput rambutnya ke belakang kuping, terus senyum manis ke nyokapnya Antari. Dari cara dia nempel ke Antari, jelas dia orang yang spesial buat dia.
Dan emangnya kenapa kalau iya, Ellaine?
Gue geleng-geleng kepala, siap buat muter balik, tapi…
Mata kita bertemu.
Mata coklatnya, mata yang dulu selalu gue suka, lagi menatap langsung ke gue, dan napas gue langsung tertahan. Rasanya ada udara lain di sekitar, ada sesuatu yang menghubungkan kita di tengah keramaian ini.
Gue nggak cukup berani buat natap dia lama-lama, jadi gue buru-buru buang muka dan muter balik.
Tiba-tiba, Irvy udah ada di depan gue. "Aslinya dia lebih ganteng ya kalau dilihat langsung."
Gue nggak jawab, cuma jalan ngelewatin dia.
Billo nyambut gue di minibar dengan senyum lebarnya. "Kenapa sih selalu cemberut? Senyum tuh nggak dosa, tahu."
Gue nyodorin nampan kosong berisi gelas champagne buat diisi ulang. "Nggak ada alasan buat senyum."
Billo ngasih gue gelas-gelas yang udah diisi penuh. " Nggak perlu alasan juga, kan? Lagian…" dia nyender ke meja bar, "lo cantik kalau senyum."
Gue angkat sebelah alis. "Udah gue bilang, gombalan lo tuh nggak mempan ke gue."
Irvy tiba-tiba nimbrung. "Jelas aja nggak mempan. Ella tuh lebih suka cowok berjenggot."
Billo pura-pura manyun. "Gue bisa numbuhin jenggot buat lo."
Gue mau bales, tapi tiba-tiba ada dua tangan kuat yang melingkar di pinggang gue dari belakang. Bau parfum yang udah gue hapal langsung masuk ke hidung gue.
Anan.
Dia meluk gue erat. "Lo penyelamat gue, makasih."
Gue langsung melepaskan diri, muter buat hadap dia. "Ini yang terakhir kali."
"Gue janji." Senyumnya lebar.
"Itu juga yang lo bilang terakhir kali."
"Gue janji yang super, super serius kali ini." Dia pakai ekspresi anak anjing yang pasti sering bikin cewek-cewek klepek-klepek.
Gue males menanggapi, jadi gue cuma jitak dahinya. Anan ketawa, dan di balik bahunya, gue bisa lihat Antari sama si cewek merah mendekat.
Pasti mau nyapa Anan.
Oke, ini waktunya gue cabut.
"Gue mau ambil makanan lagi." gumam gue pelan, ninggalin Irvy yang langsung protes karena kita sama-sama tahu makanan masih banyak.
Gue butuh tempat aman.
Dapur.
Ini tempat gue tumbuh. Tempat di mana dulu gue suka corat-coret di meja dapur sementara nyokap masak atau beres-beres. Dapur ini jarang banget dimasuki sama keluarga Batari.
Ini wilayah gue.
Gue pura-pura sibuk nata makanan yang udah siap. Padahal, kalau ada yang masuk, mereka bakal lihat gue cuma buang-buang waktu. Kalau nyonya Batari ngeh, mungkin gue bakal dikomplain. Gue juga nggak ngerti kenapa sih gue malah kabur dari Antari.
Padahal, di kepala gue, malam ini harusnya berjalan beda. Gue nggak pernah ngebayangin bakal sembunyi di dapur kayak pengecut.
Apaan sih lo, Ellaine?
Lo cuma kaget aja lihat dia berubah. Itu doang. Jangan jadi cupu. Jangan biarin dia jadi orang pertama yang bikin lo grogi.
"Lo baik-baik aja?"
Suara Asta, si bungsu keluarga Batari, bikin gue kaget setengah mati.
Gue langsung muter badan. "Iya, gue baik."
Asta itu versi polos dari kedua kakaknya. Mata coklat lebar, senyumnya lugu, tapi kalau dilihat-lihat, dia ganteng juga. Bahkan, feeling gue bilang, nanti dia bakal lebih cakep dari kakak-kakaknya. Ditambah lagi, dia punya kepribadian yang jauh lebih baik.
"Kalau lo baik-baik aja, kenapa lo ngumpet di sini?" Dia nyandar ke meja dapur, menyilangkan tangan di dada.
"Gue nggak ngumpet."
Dia angkat alis. "Terus, lo lagi ngapain?"
Gue buka mulut, tapi nggak ada jawaban. Otak gue muter, cari alasan yang masuk akal. "Gue lagi…"
"Buang-buang waktu."
Suara tajam Nyonya Astuti motong omongan gue. Dia baru aja masuk ke dapur dengan tatapan nggak sabar. " Kamu bisa jelasin kamu ke mana aja selama 20 menit terakhir?"
Gue menarik napas dalam. " Cuma ngecek kalau..."
"Sst!" Dia langsung angkat tangan, nyuruh gue diam. "Saya nggak butuh alasan kamu. Sekarang balik ke luar dan layani tamu-tamu kita."
Gue tahan omelan gue sendiri. Gue udah janji ke nyokap buat bersikap manis malam ini, jadi… demi itu aja, gue nurut.
Dengan setengah hati, gue jalan ngelewatin Asta dan balik ke pesta palsu ini.
Gue mulai melayani tamu, ngasih minuman, dan tersenyum kayak orang bego. Gue berusaha keras buat nggak mikirin Antari.
Tapi… karena terlalu sibuk menghindar dari dia, gue malah nabrak sesuatu.
Bukan sesuatu.
Seseorang.
Gue nabrak dada seseorang. Seseorang yang paling nggak gue harapkan di sini.
Natius.
Matanya nyala begitu dia lihat gue. "My genius girl…"
Sial.
"Hei." Gue cuma angkat tangan sekilas, terus coba jalan ngelewatin dia. Tapi dia langsung nangkep lengan gue. "Eh, eh, tunggu."
Dia muter gue biar menghadap dia. "Kalau lo pikir gue bakal ngelepasin lo gitu aja kali ini, lo salah besar."
Gue langsung ngelepasin tangan gue dari genggamannya. "Gue lagi sibuk sekarang."
"Kenapa lo nggak angkat telepon gue?" Ini percakapan yang paling gue hindari. "Gue ngerti, lo lagi main tarik ulur. Tapi, dua bulan ngediamin gue tuh kelewatan."
Oh, Natius…
Singkat cerita, Natius itu hasil dari sebuah malam panjang yang dipenuhi alkohol dan hasrat yang udah lama nggak tersalurkan. Dia pemain bola di timnya Anan, lebih muda setahun dari gue, dan… ya, dia bagus di ranjang.
Banget.
Tapi ya udah.
Itu cuma seks.
Nggak lebih.
Gue orang yang jujur sama diri sendiri. Gue tahu apa yang gue mau.
Dan jujur aja?
Ngapain peduli omongan orang?
Cewek juga punya hak buat nikmatin hidup, buat tidur sama siapa yang mereka mau, kapan mereka mau, selama mereka aman dan jaga diri sendiri.
Mungkin banyak yang nge-judge gue, tapi buat apa gue pusingin?
Setuju nggak?
Gue nggak tertarik sama hubungan serius apalagi pacaran, tapi gue suka ditemenin sama cowok yang cakep dan tahu apa yang dia harus lakuin di ranjang.
Emangnya ada yang salah sama itu?
Hidup gue, aturan gue.
Bukan berarti gue nggak respek sama orang yang percaya sama hubungan atau yang nganggep seks itu sakral. Gue hargai pandangan mereka, dan gue cuma minta mereka juga respek sama gue. Tiap orang punya jalan sendiri buat ngelewatin gelap sebelum akhirnya menemukan cahaya.
Jadi, dengan kepala tegak, gue bilang ke Natius, "Natius, lo itu cowok yang ganteng banget."
Dia senyum. "Makasih."
"Tapi itu cuma one-night stand doang. Jujur, gue aja hampir lupa. Jadi, tolong lah, lupain gue."
Senyumnya langsung hilang, muka dia berubah, penuh kebingungan. "Apa?"
Gue usap muka, frustrasi.
"Natius, itu cuma sekedar seks, nggak lebih. Gue nggak main tarik ulur, gue cuma pengen tidur sama lo, udah terjadi, ya udah."
"Gue nggak percaya."
Gue ngelirik dia sambil ngeluarin napas panjang. "Kenapa?"
"Cewek itu selalu pengen lebih dari sekadar seks."
"Ya udah, berarti gue bukan cewek, karena gue 100% yakin kalau gue nggak mau lebih dari itu."
"Gue nggak tahu lo lagi main apaan, Ellaine, tapi stop. Lo udah bikin gue tertarik, nggak perlu usaha kayak gini."
Cowok…
Kenapa sih susah banget percaya kalau cewek juga bisa nikmatin seks tanpa harus ada drama lebih lanjut?
"Gue nggak main apa-apa dan…"
"Nunggu, ada apa?"
Anan tiba-tiba nongol, melihat kita berdua dengan tatapan heran.
Gue langsung senyum. "Nggak ada. Gue malah mau cabut."
Gue pergi secepat mungkin, ninggalin Natius yang masih bengong.
Pesta lanjut seperti biasa, dan pas selesai, Irvy sama yang lain bantuin gue beres-beres sebelum mereka pamit. Gue pastiin nyokap udah tidur nyenyak sebelum balik ke dapur buat cek semuanya udah rapi atau belum.
Gue usap muka dan ngeluarin napas berat.
"Capek?"
Gue langsung nahan napas.
Suaranya…
Berubah.
Jauh lebih berat, lebih dalam, lebih…
Jantan dari yang gue ingat.
Gue pelan-pelan memutar badan, akhirnya berani menatap dia lagi setelah sekian lama.
Antari.
setelah antari beneran selesay sama maurice,tetap aja masih sulit buat bersatu dgn ellaine,blm lagi masalah restu dari orangtua antari
btw yg ngerasain perawannya ella natius kah 🤔🤔
senang nih antari bakal ada ellaine di kantornya 🥰 thanks elnaro
kayaknya bener,antari bukan batari,tapi emang karna jadi seorang batari lah antari jadi pengecut
akhirnya jadi tau asal luka di tangan antari dan memar di wajah asta
penasaran dgn part yg antari mukulin asta 🤔