NovelToon NovelToon
KAISAR IBLIS TAK TERKALAHKAN

KAISAR IBLIS TAK TERKALAHKAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Fantasi Timur / Iblis / Akademi Sihir / Light Novel
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: NAJIL

Menceritakan perjalanan raja iblis tak terkalahkan yang dulu pernah mengguncang kestabilan tiga alam serta membuat porak-poranda Kekaisaran Surgawi, namun setelah di segel oleh semesta dan mengetahui siapa dia sebenarnya perlahan sosoknya nya menjadi lebih baik. Setelah itu dia membuat Negara di mana semua ras dapat hidup berdampingan dan di cintai rakyat nya.

Selain raja iblis, cerita juga menceritakan perjuangan sosok Ethan Valkrey, pemuda 19 tahun sekaligus pangeran kerajaan Havana yang terlahir tanpa skill namun sangat bijaksana serta jenius, hidup dengan perlakukan berbeda dari ayahnya dan di anggap anak gagal. Meskipun begitu tekadnya untuk menjadi pahlawan terhebat sepanjang masa tak pernah hilang, hingga pada akhirnya dia berhasil membangkitkan skill nya, skill paling mengerikan yang pernah di miliki entitas langit dengan kultivasi tingkat tertinggi.

Keduanya lalu di pertemukan dan sejak saat itu hubungan antara bangsa iblis dan ras dunia semakin damai.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NAJIL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

16

Hutan Kematian merupakan salah satu dari 21 hutan terbesar di alam dunia, tempat yang menyimpan kekayaan dan misteri yang tak terhitung. Hutan ini dikenal sebagai wilayah yang subur dan kaya sumber daya, namun di balik keindahannya terdapat ancaman besar yang membuat banyak petualang/pahlawan enggan mendekatinya.

Hutan Kematian menjadi rumah bagi beragam flora dan fauna, termasuk tumbuhan herbal langka, makanan eksotis, hingga hewan unik yang tidak ditemukan di tempat lain.

Rumor mengatakan bahwa Ras Elf Spesial, yang terkenal akan kecantikan luar biasa dan kemahiran sihirnya, juga tinggal di dalam hutan ini. Namun, keberadaan mereka masih menjadi misteri karena hanya sedikit yang dapat bertahan cukup lama untuk menemui mereka.

Selain itu, ras naga, makhluk superior yang memiliki reputasi menakutkan dan penuh keagungan, juga menjadikan Hutan Kematian sebagai salah satu habitat utama mereka. Kehadiran mereka memperkuat status hutan ini sebagai salah satu wilayah paling berbahaya di alam dunia.

Meski menyimpan kekayaan yang luar biasa, Hutan Kematian juga merupakan tempat yang sangat mematikan. Banyak yang mencoba menjelajahinya, namun hanya sedikit yang kembali dengan selamat. Di antara ancaman yang ada, terdapat kisah legendaris tentang Dante, sosok monster brutal yang kekuatannya dianggap melebihi imajinasi.

Selain Dante, Hutan Kematian dihuni oleh berbagai makhluk menyeramkan lainnya, termasuk:

Roh jahat.

Monster liar.

Iblis tingkat menengah hingga tinggi.

Mahluk magis.

Para ras-ras lain.

5 Negara Besar bahkan telah menetapkan Hutan Kematian sebagai salah satu wilayah paling berbahaya, terutama pada malam hari. Risiko yang mengintai terlalu besar untuk diabaikan, menjadikan tempat ini sebagai zona larangan bagi banyak orang.

Terletak di bagian selatan Negara Havana, Hutan Kematian dan 20 hutan besar lainnya tidak berada di bawah yurisdiksi negara mana pun. Hal ini diatur dalam sebuah perjanjian internasional yang melarang akuisisi hutan-hutan tersebut oleh negara manapun, baik negara kecil maupun besar.

Perjanjian ini dibuat untuk menjaga keseimbangan:

Mencegah kerusakan hubungan dengan ras-ras penghuni hutan, seperti naga, elf, goblin, kurcaci, beast, dan lainnya, yang telah tinggal di sana selama ribuan tahun.

Menghindari ancaman dari makhluk penghuni hutan yang dapat menghancurkan wilayah sekitarnya jika habitat mereka terganggu.

Namun, tidak semua pihak mematuhi perjanjian ini. Beberapa negara atau kelompok sering mencoba menguasai wilayah tersebut secara sepihak, yang kerap memicu konflik kecil maupun besar.

Sebagian besar ras selain manusia memilih tinggal di dalam Hutan Kematian dan hutan-hutan besar lainnya. Keputusan ini dilandasi oleh sejarah panjang konflik dengan manusia, di mana mereka merasa lebih aman jauh dari wilayah yang didominasi manusia.

Meskipun perjanjian melindungi wilayah ini, niat segelintir manusia untuk mengambil alih tetap menjadi ancaman bagi penghuni asli. Konflik perebutan wilayah sering terjadi, namun sejauh ini situasi selalu berhasil diredam demi menjaga stabilitas.

Setelah menempuh perjalanan panjang yang melelahkan, Enzo akhirnya tiba di sebuah padang savana yang luas. Meskipun masih berada dalam lingkup suram Hutan Kematian, pemandangan ini bagaikan oase di tengah kegelapan. Hamparan rumput memanjang sejauh mata memandang, seolah menghapus batas antara tanah dan cakrawala.

Angin kencang berhembus, menggoyangkan ilalang dan menerpa tubuhnya yang masih basah kuyup akibat air rawa sebelumnya. Baju lusuhnya menempel dingin di kulit, menambah sengatan udara yang menusuk hingga ke tulang. Tubuhnya menggigil hebat, namun ia tetap berdiri di sana, diam, seolah-olah akar tak terlihat menahannya untuk terus memandangi langit malam.

Di atas sana, bulan purnama menggantung sempurna—cahaya peraknya jatuh lembut menyelimuti padang rumput, menciptakan siluet berkilauan yang menari bersama angin. Udara malam terasa bersih, hampir murni, membawa aroma tanah dan rerumputan yang menyegarkan.

Sesaat, waktu seakan berhenti. Goyangan lembut ilalang yang tertiup angin mengundangnya kembali pada kenangan yang telah lama terkubur. Seketika, ingatan masa lalu menyelinap masuk—bayangan wajah-wajah yang pernah ia cintai, tawa yang pernah ia dengar, dan tempat-tempat indah yang pernah ia singgahi. Semua itu berputar di benaknya, bagaikan lagu lama yang menenangkan jiwa.

“Entah mengapa hatiku tiba-tiba terasa nyaman,” ucapnya pelan, hampir tak terdengar. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya, tanpa ia sadari, bagaikan bisikan angin yang menyatu dengan malam. Senyuman tipis muncul di wajahnya yang letih, seolah ia baru saja menemukan ketenangan di tengah badai yang tak berkesudahan.

Namun, hanya selang beberapa menit kemudian, tubuh Enzo tiba-tiba limbung. Ia jatuh tersungkur di tengah hamparan rumput, terkulai tanpa tenaga. Rerumputan yang lembut menjadi alas bagi tubuhnya yang kelelahan. Apa yang terjadi? Pertanyaan itu menggantung di udara, tak ada jawaban yang pasti.

Saat diperhatikan lebih seksama, ia ternyata tertidur pulas. Nafasnya naik turun perlahan, diiringi suara dengkuran halus yang memecah kesunyian malam. Wajahnya yang semula tegang kini terlihat damai—sebuah senyum tipis tergambar jelas di sana, seolah ia sedang melepas seluruh beban yang selama ini ia pikul sendirian.

Di bawah cahaya bulan yang menyinari, tubuh Enzo tampak begitu kecil di tengah luasnya dunia, namun ketenangan yang melingkupinya malam ini bagaikan pelukan lembut semesta. Entah kelelahan atau kehangatan aneh dari padang savana ini, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Enzo benar-benar beristirahat.

Dalam lelap tidurnya, Enzo terbawa ke dalam sebuah mimpi yang begitu nyata. Di tengah kabut cahaya yang lembut, sosok Dewi Hestia muncul—pancaran kehangatan dan ketenangan menyelimuti dirinya, bagaikan api abadi yang membara namun tak pernah membakar. Sang Dewi berdiri anggun dengan senyum lembut di wajahnya, memancarkan aura kebahagiaan yang tak terlukiskan.

Tangan Dewi Hestia perlahan turun, mengelus rambut Enzo dengan penuh kasih sayang. Sentuhan itu bagaikan hangatnya mentari pagi yang mengusir kegelapan malam. Dalam momen itu, seluruh beban yang selama ini menghimpit dada Enzo terasa menguap, digantikan oleh kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

“Jalan yang kau pilih sekarang sudah benar,” bisik Dewi Hestia, suaranya lembut namun penuh kekuatan.

Mendengar kata-kata itu, air mata Enzo tak terbendung. Bahunya bergetar, dan ia menangis tersedu-sedu, seakan seluruh perasaannya yang tertahan selama ini akhirnya menemukan tempat untuk dilepaskan. Ia bersimpuh di pangkuan sang Dewi, memeluk harapan yang selama ini terasa jauh.

“Aku berusaha menjadi lebih baik agar ibu senang...,” isaknya dengan suara bergetar, “tapi semua tindakanku malah membuatku semakin jauh dari apa yang ibu inginkan.”

Dewi Hestia tersenyum, senyum yang menenangkan dan penuh makna. “Kau tidak salah, Enzo...,” ucapnya lembut, “justru itulah jalan yang akan membimbingmu menjadi sosok yang lebih baik. Bangkitlah, wujudkan mimpi-mimpimu, dan buat ibumu bangga.”

Kata-kata itu terasa bagaikan mantra yang meresap ke dalam jiwanya. Suara sang Dewi perlahan memudar, cahaya mulai meredup, namun kehangatan itu tetap tinggal, tertanam kuat di hatinya.

Enzo terbangun dengan napas terengah-engah. Tubuhnya berkeringat, matanya liar menoleh ke kanan dan kiri, berusaha memastikan apakah apa yang barusan ia alami hanyalah mimpi. Namun, perasaan itu masih ada—begitu nyata, seperti jejak yang ditinggalkan di dalam hatinya.

“Ibu... apa barusan itu kau?” bisiknya, suaranya parau dan gemetar.

Setelah beberapa saat, Enzo terdiam. Ia tersadar. Itu bukan sekadar mimpi biasa. Itu adalah pesan—sebuah pengingat dari sang kakek tua, agar ia selalu ingat akan mimpi Dewi Hestia yang disandarkan di pundaknya. Perlahan, senyuman muncul di wajahnya yang masih lelah namun penuh kelegaan.

“Kakek tua! Jadi kau masih mengawasi ku ya? Ha-ha-ha, dasar sialan.” Suara tawanya pelan, tetapi ada kehangatan di baliknya—sebuah kelegaan yang sulit digambarkan. Senyum tipis terlintas di wajahnya, seolah seluruh keraguan yang pernah membelenggunya kini semakin menghilang.

Tanpa ia sadari, empat hari telah berlalu sejak ia tertidur pulas di tempat itu. Tak ada satu pun yang datang membangunkannya, sebab tempat itu terisolasi dari tanda-tanda peradaban.

Hanya hewan-hewan liar yang datang silih berganti mendekatinya. Burung-burung kecil hinggap di rerumputan sekitar, sementara rusa-rusa jinak berjalan perlahan, mengelilingi tubuhnya yang berbaring di tengah savana. Bahkan ada macan tutul yang ikut tidur di sampingnya.

Para hewan itu tak bergerak menjauh. Bahkan, mereka tampak nyaman berada di dekat Enzo, hal ini terjadi bukan tanpa sebab. Dalam tubuh Enzo, mengalir energi surgawi Count 4—kekuatan yang ia kuasai ketika menghadapi Empat Menteri di masa lalu.

Energi ini, yang dikenal karena mampu menghancurkan segala sesuatu, ternyata menyimpan dua sisi yang bertolak belakang.

Di balik kedahsyatannya, energi surgawi Count 4 mengandung kelembutan yang begitu halus—sebuah getaran suci yang hanya bisa dirasakan oleh makhluk-makhluk alami, seperti hewan. Itulah sebabnya mereka mendekat, merasakan kedamaian yang begitu langka di tengah kerasnya dunia.

Namun, keheningan itu tak bertahan lama. Rasa lapar tiba-tiba menyerang untuk yang kesekian kalinya, bagaikan pukulan keras yang mengguncang kesadarannya. Perutnya berbunyi nyaring, memaksanya untuk segera bergerak.

“Aku harus mencari makan... dan sumber air,” gumamnya lirih, suaranya nyaris tertelan angin.

Dengan langkah tegap, Enzo mulai berjalan ke arah utara, meninggalkan padang rumput luas yang membentang tak berujung. Angin dari arah timur berhembus kencang, menyelinap di antara pohon-pohon besar yang menjulang.

Ranting-ranting menari, dedaunan jatuh satu per satu, berputar-putar di udara seolah menyambut langkah kakinya yang perlahan menjauh.

Semakin jauh ia berjalan, semakin dalam ia menyusuri wilayah asing yang menyimpan misteri. Pepohonan raksasa dengan batang yang gelap tampak seperti penjaga purba, berdiri diam dengan aura megah namun menekan.

Di sela-sela perjalanan itu, pemandangan aneh mulai bermunculan—hal-hal yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Dia menemukan bunga raksasa dengan kelopak sangat besar. Namun, keindahan bunga itu segera pudar begitu bau busuk menyengat menusuk hidungnya.

Bau itu begitu pekat, seperti bangkai yang telah lama membusuk, memaksanya menahan napas agar tak muntah.

Tak jauh dari sana, tumbuhan merayap berwarna merah darah menyembul dari tanah, melilitkan dirinya di batang pohon terdekat.

Namun, hal yang mengejutkan adalah gerakannya—seakan hidup, akar-akar merayap itu bergerak cepat, seperti ular yang mencari mangsa. Saat Enzo melangkah lebih dekat, akar itu bergetar—dan dalam sekejap, ia melesat ke arahnya!

Dengan reflek yang terlatih, Enzo mundur beberapa langkah, menghindari lilitan tersebut. Napasnya terengah, tetapi ia menyeringai kecil. “Hutan ini memang tidak pernah kehabisan kejutan...” gumamnya sambil melangkah lebih hati-hati.

Semakin jauh ia berjalan, semakin banyak keanehan yang ia temui—serangga bercahaya sebesar kepalan tangan beterbangan dalam kawanan, batu-batu yang bersinar samar di bawah bayangan pohon, dan angin yang berbisik lirih seakan menyampaikan cerita lama yang terkubur di tempat itu.

Namun, di balik segala keanehan itu, tekad Enzo tak goyah. Dia tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya soal menemukan air atau makanan, tetapi juga soal menghadapi dirinya sendiri. Setiap langkahnya diiringi oleh desiran dedaunan dan suara angin yang tak pernah berhenti, seakan alam sedang menguji keteguhan hatinya untuk menjadi sosok yang jauh lebih baik.

Setelah perjalanan yang panjang dan penuh kejutan, akhirnya Enzo menemukan sebuah danau besar. Airnya begitu jernih hingga dasar danau tampak jelas—ikan-ikan kecil berenang bebas di antara bebatuan halus, mencerminkan kejernihan air yang hampir sempurna. Permukaan danau tampak berkilauan bak kaca, memantulkan sinar matahari yang tembus melalui celah-celah pepohonan.

Danau itu dikelilingi oleh pepohonan raksasa yang menjulang tinggi, dahan-dahannya saling berputar, menciptakan sebuah lingkaran alami yang seolah-olah begitu menyejukkan. Tempat itu terasa sepi, namun penuh dengan kehidupan—sebuah oasis yang tersembunyi di jantung Hutan Kematian.

“Akhirnya…,” ucap Enzo pelan, suaranya disertai hembusan napas lega. Matanya menatap kagum ke arah danau, seolah menemukan sebuah keajaiban kecil di tengah ganasnya alam liar. “Dengan begini, satu masalah sudah beres. Aku tinggal mencari buruan. Perut kosong ku benar-benar sudah meronta-ronta.”

Tanpa berpikir panjang, Enzo melompat ke dalam danau. Air dingin menyelimuti tubuhnya, membawa rasa segar yang menembus hingga tulang. Sambil menyelam, ia meminum air langsung dari danau, membiarkan rasa haus yang menyiksa itu sirna seketika. Setiap teguknya terasa seperti hadiah dari alam, menyegarkan tubuh dan pikirannya yang lelah.

Sembari menikmati kesegaran itu, Enzo bergerak lincah di dalam air, menangkap ikan-ikan yang berenang cepat di sekitar bebatuan. Tangannya yang cekatan berhasil menangkap beberapa ekor ikan besar. Di sela pencariannya, ia menemukan rumput laut langka yang tumbuh di dasar danau—Gloria, tumbuhan air tawar yang dikenal memiliki rasa lezat dan bergizi tinggi.

Setelah keluar dari danau, tubuh Enzo terasa lebih segar dari sebelumnya. Wajahnya tampak lega, beban lapar dan haus yang selama ini ia tahan telah terangkat. Senyuman kecil tersungging di bibirnya.

“Woke… Sekarang hanya tinggal sedikit polesan.” Ucapnya dengan nada puas.

Ia melangkah ke sekitar danau, mengumpulkan ranting-ranting kering dan dedaunan yang jatuh untuk dijadikan api unggun. Suara ranting yang patah di genggamannya terdengar samar di antara nyanyian angin. Tak lama kemudian, ia menghampiri sebuah pohon besar di tepi danau, akarnya mencuat kuat dan menjalar seperti tangan raksasa yang menopang kehidupan.

“Tempat ini cocok…” gumamnya sambil menatap pohon itu. Ia memutuskan untuk beristirahat di bawahnya. Di sini, suasana terasa begitu tenang—sebuah kedamaian yang kontras dengan kekacauan dunia luar.

Sambil menyalakan api unggun, Enzo menatap bara api yang mulai menyala. Cahaya kemerahan memantul di matanya yang penuh pemikiran. Dalam keheningan, ia bergumam pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

“Sepertinya… aku akan memulai kehidupanku di tempat ini. Bukan sebagai Raja Iblis atau apalah itu. Tapi sebagai sosok baru—mencari arti sebuah keadilan, dengan cinta yang sesungguhnya.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!