Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?
Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 : Hukum bisa dibeli
Arga menatap Komandan Gunawan dengan tatapan serius, mencoba mengukur keberanian dirinya. "Pak," katanya dengan suara agak parau, "apakah... apakah Bapak termasuk dalam bagian sistem itu?"
Gunawan yang tadinya sedang menyendok nasi, berhenti sejenak. Ada senyum tipis yang tersungging di wajahnya, namun tidak ada tawa di baliknya—hanya ekspresi yang sulit terbaca. “Kenapa, Arga? Kamu ingin tahu kalau aku bagian dari sistem itu?” jawab Gunawan sambil menatapnya dengan mata yang dalam. “Kamu tahu tidak kenapa sampai sekarang aku masih tetap di posisi Kompol, sementara rekan-rekanku sudah naik ke pangkat yang lebih tinggi?”
Arga tidak bisa menjawab, hanya menggeleng dengan napas tertahan. Gunawan menghela napas panjang, meletakkan sendoknya di piring, dan menatap Arga sejenak sebelum menjawab.
“Karena aku menolak menjadi bagian dari sistem itu, Arga,” jawab Gunawan dengan suara berat. “Aku lebih memilih hidup sederhana, lebih memilih kelaparan kalau perlu, daripada harus menerima uang haram dan suap dari orang-orang yang tidak tahu berterima kasih. Selama ini, orang-orang yang seperti aku ini dianggap ‘kacangan’—selalu diabaikan, selalu ditinggalkan. Kamu bisa lihat kan, jabatan aku cuma segitu-segitu aja, sementara orang yang main suap sudah memiliki posisi diatasku.”
Arga terdiam. Kata-kata Gunawan mengalir begitu saja, tetapi setiap kalimatnya seolah membawa sebuah bobot yang berat.
“Aku tahu kamu ingin menegakkan keadilan, Arga. Tapi kamu harus tahu, kadang kita harus memilih apakah kita mau jadi bagian dari sistem ini atau tetap berpegang pada prinsip kita—meskipun itu berarti kamu akan dijauhi atau dianggap bodoh. Pilihannya, mudah atau tidak, tetap ada di tanganmu.”
Gunawan mengusap wajahnya dengan kasar, lalu menatap Arga lagi dengan tatapan yang lebih keras. “Aku sudah memilih jalan ini, Arga. Aku nggak peduli kalau orang mau bilang aku ketinggalan karena nggak naik pangkat. Yang penting, aku nggak tidur dengan hati yang berdosa. Jadi, apakah kamu siap untuk itu? Karena ini bukan pekerjaan yang hanya membutuhkan kemampuan fisik, tapi juga keteguhan hati.”
Arga tidak bisa berkata-kata. Perasaan campur aduk menyerbu hatinya—di satu sisi, dia merasa terinspirasi dengan keberanian Gunawan, tetapi di sisi lain, dia merasa terintimidasi oleh kenyataan yang begitu keras dan tak terhindarkan. Ini adalah dunia yang tak sesuai dengan gambaran indah yang pernah ada di kepalanya.
Gunawan kembali menyendok nasi, tampaknya tidak berharap jawaban langsung dari Arga. "Kamu masih muda, Arga. Dunia ini akan menguji kamu lebih keras daripada yang kamu kira. Tapi ingat satu hal—kejujuran, meskipun sangat sulit, akan selalu lebih baik daripada kemenangan yang didapat dengan cara yang salah."
Arga menatap piringnya, terdiam sejenak. Dalam hati, dia tahu bahwa perjalanan yang harus dia tempuh bukanlah perjalanan yang mudah. Tapi setidaknya, dia punya pilihan—pilihan yang akan menentukan siapa dia dalam dunia yang penuh dengan godaan dan penipuan ini.
Dan mungkin, justru perjalanan ini yang akan mengajarkan Arga apa arti menjadi polisi yang sejati.
...****************...
Gunawan menatap Arga dengan tatapan yang serius, hampir seperti memberi peringatan. "Arga," katanya pelan, suara beratnya menggema di ruang makan kecil warteg yang kini terasa semakin sesak. "Mungkin dalam beberapa hari ke depan, kamu akan mendengar kabar bahwa Ivan bebas. Mereka akan bilang dia tak bersalah, meskipun semuanya jelas sudah kelihatan—meskipun semua bukti ada di tangan kita."
Arga terdiam, matanya menatap kosong ke arah meja. "Maksud bapak... Ivan akan dibebaskan begitu saja?" tanyanya dengan ragu, tidak bisa membayangkan bagaimana hukum yang semestinya ditegakkan bisa begitu saja diabaikan oleh kekuasaan.
Gunawan mengangguk perlahan. "Ya, itu yang akan terjadi," jawabnya. "Karena uang dan kekuasaan punya cara untuk mengubah apapun. Ivan itu anak pejabat. Mereka yang punya kekuatan akan selalu mencari celah, cari jalan untuk membebaskan dia. Dan kabar itu—tentang kebebasan Ivan—akan tersebar cepat, seolah-olah dia adalah orang tak bersalah."
Arga menggigit bibirnya, hatinya mendengung. Semua nilai yang dia pegang teguh sebagai seorang polisi mulai berdebat keras di dalam dirinya. "Tapi, Pak… kalau dia benar-benar bebas, artinya hukum yang kita perjuangkan selama ini nggak ada artinya dong?" Arga mencoba mencari penjelasan lebih lanjut, seolah mencari secercah harapan agar hal ini tidak benar-benar terjadi.
Gunawan menghela napas panjang, matanya menunjukkan kelelahan yang sudah lama ia sembunyikan. "Inilah kenyataannya, Arga. Kita sering kali harus hidup dengan kenyataan yang pahit. Hukum itu bisa dibeli, keadilan bisa dikuasai oleh mereka yang punya uang dan kekuasaan. Tapi bukan berarti kita harus menyerah pada keadaan itu."
Arga mengangguk, namun rasa bingung dan frustrasi semakin menyelubungi dirinya. "Lalu apa yang harus saya lakukan, Pak? Kalau semuanya sudah pasti seperti ini?"
Gunawan menatapnya dalam-dalam, seolah mencari tahu seberapa besar keteguhan hati Arga. "Tunggu, Arga. Jika berita itu benar, jika Ivan bebas, kamu harus siap dengan dua hal. Pertama, kamu harus kuat untuk menerima kenyataan ini. Kedua, kamu harus siap untuk tetap berpegang pada prinsipmu, bahkan jika itu membuatmu berdiri sendirian."
Arga merasakan ada beban besar di pundaknya. Sebagai polisi, dia telah diajarkan untuk melindungi yang lemah, untuk menegakkan hukum. Namun, seiring berjalannya waktu, dia mulai menyadari bahwa kadang-kadang, hukum dan keadilan tidak berjalan pada jalur yang sama.
"Dan jika kabar itu memang benar, Arga," Gunawan melanjutkan, suara kini lebih tenang, "kamu harus siap. Siap untuk membuat keputusanmu sendiri. Apakah kamu akan ikut arus atau kamu akan tetap berdiri tegak meskipun itu berarti kamu harus berjuang sendirian?"
Arga menghela napas dalam-dalam, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Komandan Gunawan. Dia tahu, pertempuran yang sebenarnya baru saja dimulai. Ini lebih dari sekadar soal tugas—ini soal apa yang akan dia pilih untuk menjadi.
...****************...
Gunawan menyandarkan punggungnya ke kursi plastik warteg, matanya menatap kosong ke luar jendela, seolah sedang memikirkan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar kasus Ivan. "Arga," katanya lagi dengan suara yang lebih tenang, "saya tahu kamu kecewa. Tapi ini bukan tentang menangkap Ivan saja. Ini tentang bagaimana kita bisa melawan sistem yang sudah terlanjur rusak."
Arga menatap Komandan Gunawan dengan penuh perhatian. "Jadi, kita cuma diam dulu? Menunggu?" tanyanya, rasa frustrasinya mulai terdengar dalam nada suaranya.
Gunawan mengangguk perlahan. "Untuk sementara, iya. Kita harus hati-hati. Kita tahu ada banyak pihak yang bermain di belakang layar. Kalau kita langsung melawan tanpa persiapan, kita bisa jadi sasaran selanjutnya. Semua butuh strategi, Arga. Kita nggak bisa gegabah."
"Strategi?" Arga bertanya, agak bingung. "Maksud Bapak, apa yang harus saya lakukan? Cuma diam saja?"
"Saat ini, iya," jawab Gunawan dengan tegas. "Kita harus mengamati. Mengamati setiap langkah mereka. Apakah mereka akan benar-benar membebaskan Ivan, ataukah mereka hanya sekadar menggertak? Kita butuh data, butuh bukti lebih lanjut sebelum melangkah lebih jauh."
Arga mengangguk, meskipun hatinya masih penuh tanda tanya. "Tapi... kalau kita hanya mengamati, bukankah itu seperti kita membiarkan kejahatan terus berjalan?"
Gunawan menatapnya serius, lalu memberi senyuman tipis. "Kadang, kita harus sabar. Keputusan yang gegabah bisa berakhir buruk. Ini bukan tentang siapa yang cepat, tapi siapa yang paling cerdas dalam melangkah. Kalau kita tunggu waktu yang tepat, kita akan bisa lebih kuat saat bertindak."
Arga mencerna kata-kata Komandan dengan serius. "Jadi, kita tunggu saja, ya?" tanyanya, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh kebingungannya.
Gunawan mengangguk. "Tunggu. Amati. Jangan ragu untuk bertindak saat waktunya tiba. Aku pastikan Kerja kerasmu untuk menangkap Ivan tidak akan sia-sia, Arga. Kita harus mengatur strategi cerdas untuk benar-benar membuat Ivan tidak akan bisa berpikir untuk mempermainkan hukum seenaknya hanya karena dia memiliki uang."
Arga merasa sedikit tenang setelah mendengar kata-kata tersebut, meskipun perasaan ingin segera bertindak masih menggantung di hatinya. Dia tahu, meskipun menunggu adalah hal yang paling sulit untuk dilakukan, ini mungkin jalan terbaik yang bisa mereka pilih. Semua butuh waktu, dan lebih dari itu, butuh kesabaran.
...****************...