Novel ini terinspirasi dari novel lain, namun di kemas dalam versi berbeda. Bocil di larang ikut nimbrung, bijaklah dalam memilih bacaan, dan semua percakapan di pilih untuk kata yang tidak baku
-Entah dorongan dari mana, Dinar berani menempelkan bibirnya pada mertuanya, Dinar mencoba mencium, berharap Mertuanya membalas. Namun, Mertuanya malah menarik diri.
"Kali ini aja, bantu Dinar, Pak."
"Tapi kamu tau kan apa konsekuensinya?"
"Ya, Saya tau." Sahutnya asal, otaknya tidak dapat berfikir jernih.
"Dan itu artinya kamu nggak boleh berenti lepas apa yang udah kamu mulai," kata Pak Arga dengan tegas.
Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon An, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Dengan binar wajah bahagia, Dinar memperhatikannya sejak tadi. Ibunya terus saja berbicara mengenai kehidupannya sebelum menikah saat Dinar masih gadis. Dinar tau, ibunya pasti merindukannya. Begitu pula dirinya.
Dinar tersenyum meresponnya, "Emm.., apa iya Bu? Dinar mah malah lupa kalau Dinar senang banget buat makan bombon jenang dulu sampai gigi Dinar geripis sama cepat copotnya."
"Dulu, Bapak kamu waktu kecil, sering bawanya kalau pulang. Kamu kadang sampai hadang jalan Bapakmu, kalo suara motornya kedengaran.., waktu itu kamu masih jadi gadis kecil Ibu yang lucu dan menggemaskan."
"Aku jadi mau makan lagi rasanya, pasti enak!" Serunya terkekeh.
"Eh jangan salah, Ibu bawa ini loh.., tadi sempat mampir ke toko langganan yang sering Bapak beli dulu."
"Hehe.. mau..." Pintanya manja pada Ibunya, Dinar memperhatikan ibunya yang tengah mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
"Dinar.." Dinar menoleh dan mendapati Pak Arga yang menatap dia dan ibunya. Sama sepertinya, ibunya juga refleks menoleh juga ke arah Pak Arga.
"Pak, ini Ibu datang nengok Dinar." Pak Arga tersenyum ramah ke arah Ibunya, dan mendekati mereka.
"Kak Devi? Udah lama banget gak jumpa. Gimana kabarnya? Sehat?" Kata Pak Arga menyapa hangat, menyapa Bu Devi dengan sebutan kakak karena usianya lebih tua darinya.
Dinar mengerjapkan mata melihat Bapak mertuanya yang duduk di sisinya. Bu Devi yang ada di depan terlihat senang merespon Pak Arga.
"Saya baik Ga. Makasih, udah nerima Dinar sebagai keluarga!" Sahutnya tersenyum ramah dan sopan.
"Waktu saya datang ke rumah kak Devi waktu itu. Saya minta anak kakak, jadi bagian keluarga kami."
Ibunya yang melihat Dinar kini terlihat berkaca-kaca, "Ya sejujurnya saat itu saya bimbang, Dek. Dinar anak kami satu-satunya. Bahkan, harta yang saya punya saat itu. Saat saya lepaskan dia, itu artinya tanggung jawab saya berakhir sebagai Ibu, keluarganya. Di situ lah kekawatiran saya, karna saya juga takut.., karna kamu tau sendiri lah, kami orang gak berada."
Pak Arga terkekeh, "Vano, yang mintanya sendiri buat minang Dinar. Artinya dia memang udah selektif buat milah pendamping hidup. Terbukti sekarang Kak, anak kakak mampu jadi istri yang baik, untuk putra saya, dan juga-"
Pak Arga menoleh menatap Dinar, dan melanjutkan bicaranya. "Untuk saya sendiri."
Deg!
Atmosfir sekitar serasa berubah. Tersirat apa yang di katakan Pak Arga membuat Dinar berdebar-debar. Bagaimana jika Ibunya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi? Ibunya sudah pasti akan kecewa dan terluka.
Kenapa pria itu senang sekali seolah membuatnya terpojok lemah? Argh, sangat menyebalkan. "Maksudmu Ga?" Tanya Bu Devi bingung.
Pak Arga kembali menoleh, dan tersenyum tipis, "Maksud saya sebagai menantu yang baik. Dia juga jaga Arin, anak bungsu saya udah kayak adiknya sendiri. Saya yang berterimakasih, karna Kak Devi relakan Dinar buat masuk ke dalam keluarga ini."
Ibunya tersenyum mendengarnya. "Saya lega dengarin ini. Saya lega karna kamu sendiri udah bilanginnya sama saya, Ga. sekali lagi makasih ya Arga."
"Tentu. Saya pastikan kalau Dinar gak akan bisa ke luar dari rumah ini. Meski dalam keadaan marah sekali-pun."
Dinar tau apa yang di pikirkan pria matang itu. Dinar tidak cukup kolot membaca arti setiap perkataan Pak Arga sejak tadi. Dinar menjadi gelisah.
"Dinar pasti bersyukur punya Bapak mertua kayak Dek Arga pastinya. Iya kan, Din?"
"Ah. I-iya, Buk. Din-Dinar ngerasa bersyukur," Katanya sambil tersenyum kikuk.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sepulangnya Ibunya dari rumah itu, Dinar mendatangi Bapak mertuanya. Pak Arga nampak santai di ruang tamu sambil membaca koran.
"Apa yang coba Bapak lakuin?" Katanya berterus terang.
Pak Arga menarik sebelah alisnya, lalu menatap Dinar, "Bapak ngelakuin apa? Gak ngelakuin apa pun selain baca koran. Kenapa?"
Dinar menghela napas. "Dengan coba jelaskan semua ke Ibu terang-terangan, apa yang Bapak mau?!"
Pak Arga melipat koran, menghela napas, "Loh kamu ini aneh. Apa memang yang coba Bapak bilang, Din? Kenapa sampai kamu marah?" Dinar menatap sekeliling, lalu menatap kembali ke arahnya.
Kata-kata Pak Arga sebelumnya seolah tersirat untuk malam itu! "Kan udah Dinar bilang, semua udah selesai di malam itu. Kenapa Bapak gak bisa paham." Ketusnya.
Pak Arga bangkit dari duduknya. Matanya menyorot dingin, dan menatap Dinar. "Saya juga udah bilang sama kamu. Apa yang udah lepas kamu mulai, kamu juga gak bisa ngakhirinya gitu aja. Kamu lupa?"
Dinar tertegun. Apa maksudnya? Dia kira itu hanya perkataan saat Pak Arga yang membangkitkan gairahnya. Dia hanya ingin menuntaskan dan tidak berhenti, itu saja. Tidak lebih.
"Ma-maksud Bapak apa?"
Pak Arga mendekat. Dia menyeringai di ujung bibirnya. Dinar terdiam di tempat menatapnya mendekatinya.
Lalu Dinar rasakan pinggang rampingnya di tarik ke depan, dan tubuh mereka bertabrakan menempel satu sama lain. Dinar terkejut.
Refleks dia menengok ke sekitar dengan cepat, takut bahwa Arin akan melihatnya.
"Pak, lepasin!.., Arin nanti lihat!" Katanya dengan penuh penekanan.
Dinar memukul tangan Pak Arga dengan keras, agar pria itu melepaskan rengkuhan pada pinggangnya. Namun, Pak Arga tidak mengidahkan.
"Gak ada siapa pun di rumah. Arin juga gak ada di rumah, dia lagi ke kampus, kamu lupa juga?"
Deg!
Debaran jantungnya mulai berdetak tidak karuan. Dinar meneguk salivanya sambil diam menatap manik mata yang jaraknya hanya beberapa inci dari wajahnya.
Pak Arga mendekatinya, wajahnya semakin dekat ke arah Dinar. Namun, bukan untuk mengecup bibirnya, tapi mendekati ke samping wajahnya. Dia membisikan sesuatu di telinga Dinar.
"Kamu yang nyalakan api, Dinar. Bukannya saya yang harus jaganya biar terus nyala?" Tidak lama setelah beliau mengatakannya, Dinar merasa daun telinganya di gigit pelan. Lalu di berikan sentuhan terakhir yaitu jilatan di sana sebelum menarik dirinya kembali.
Apa yang Pak Arga lakukan membuat sengatan listrik di tubuhnya. Pak Arga menyeringai menatapnya wajah Dinar yang merah padam.
"Kamu begitu cantik kalau terkejut. Saya suka wajah meronamu ini." Dinar refleks mendorong tubuh Pak Arga, dan pergi dari sana.
Dinar membawa tubuhnya yang berdebar-debar ke kamar, menguncinya. Saat dia berada di kamar, tubuhnya menempel di sandarkan di pintu. Matanya terpejam sempurna. Dia membawa tangannya di depan dada, dan merasakan debaran.
"Aku bisa gila kalau Pak Arga terus ngegodaku.., Apa yang harus aku lakuin?" Rutuknya dalam hati.
...BERSAMBUNG,...
...Othor kasi visualnya, semoga suka!😋...
Pak Arga, Mertua.
Dinara eleta, Istri Vano.
buang lah sampah pada tempat'y 🤣
Gas keun Dinar jangan kasih kendor..
Lanjut Ka author semangat 💪
klo dinar gk mau jodohkan sma aku aja ka thor... lumayan buat serep klo suamiku lgi telat pulang kantor 🤣🤣
up lagi dong ☺️☺️☺️
pisah aja, trus kembali kerumah mi Dinar, Uda capek capek berbakti sama suami dan keluarga suami, ehh ujung ujungnya di khianati juga.
maju terus.... di gasken.....
vano dhe di kemplang wae