Halimah, Seorang ibu muda yang tengah mengandung yang harus menerima kenyataan di gugat cerai oleh suaminya karena suaminya lebih memilih perempuan lain yang lebih cantik, lebih mudah dan lebih memperhatikan penampilan dari pada dirinya. dia pun menyetujui permintaan suaminya tersebut dengan syarat dia meminta waktu 40 hari kepada suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuri_Pen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari pertama yang tak berkesudahan
"Oh iya, tadi nama Mas siapa?" Lagi, Limah membuatku kesal.
"Tahu ah." Dia hanya tersenyum puas.
"Stop, stop, Mas! Itu di depan rumahnya. Yang cat abu-abu, lo," teriaknya.
"Ya ampun, ini cuma beda 10 rumah aja dari rumah kita. Ngapain si kamu pake pindah segala?" Aku semakin kesal dibuatnya.
"Kita kan temenan, jadi jangan dekat-dekat. Nanti kamu khilaf lagi, Mas," jawabnya santai sembari membuka safe belt-nya.
"Astaghfirullah kamu mengidap penyakit apa si Dik? Jadi eror gini." Aku benar-benar tidak paham dengan kelakuannya sore ini. Kukira ia terkena alzheimer di usia muda, namun melihat dari gelagatnya ia seperti sehat-sehat saja.
"Penyakit? Enak aja. Aku gak penyakitan!" tukasnya cepat.
"Lah ini? Ngapain ribet banget kayak gini segala si?" Aku menggulung lengan baju sampai sikut.
"Shut! Jangan berisik, Mas! Tuh lihat Jingga udah mulai tidur di jok belakang. Ayo bantu aku pindahan!" Setelah parkir di rumah barunya, Limah langsung turun dengan semangat 45. Hanya sepuluh rumah saja namun ia terlihat begitu antusias untuk pindahan.
"Mas, ayo!" Teriaknya dari belakang mobil.
"Eh iya, iya." Aku segera keluar dan mengeluarkan barang-barang Limah.
"Tolong bantu bawa Jingga ke kamar ya, Mas!" Dengan santainya Limah menarik dua koper besar. Tangguh sekali dia.
"Makasih ya, Mas. Udah bantuin pindahan, udah memindahkan Jingga ke kamar juga. Sekarang Mas pulang ya! Gak enak sama tetangga." Baru saja aku mau melepas penat di kursi, dengan seenaknya dia mengusirku.
"Ntar lah, Dik. Aku cape." Aku sudah benar-benar malas untuk berdiri bahkan rasanya tak mau beranjak walau sejengkal.
"Eits, No … no … no. Sekarang juga keluar! Mas mau kita digerebek terus dinikahin?" Dia menarik tanganku lalu menyeretnya ke luar rumah.
"Biarlah kita dinikahkan dua kali, Dik. Lama-lama aku gemas denganmu." Tanganku berusaha menyentuh pipinya.
"Hiya.. plak." Tanpa aku sadari dia menghindar dan langsung melayangkan tangannya ke arah pipiku, perih sekali dan panas.
"Awww, sakit, Dik! Galak banget si kamu." Aku memegang pipi ngilu.
Ah aku terlalu meremehkan dia yang tadi sudah menyeret dua koper besar, ternyata tenaganya memang besar seperti Samson Wati.
Tanpa basa-basi dia beranjak masuk, dan menutup pintu tanpa mengajakku ikut masuk bersamanya.
"Eh tunggu ... Limah, nasibku gimana?" Hening, tak ada tanda-tanda dia kembali keluar. "Argh..." Aku menyerah dan memilih pulang.
***
Aku masuk ke dalam rumah, lalu menyalakan semua lampu. Rumah ini selalu tertata rapih dan bersih. Mungkin dia memiliki bakat terpendam menata ruangan. Tak ada satupun ruangan yang terlihat kacau dan berantakan.
Kubuka tudung saji. Tempe, tahu, lalapan dan sambal sudah tersaji, tak lupa Sop iga sapi kesukaanku terlihat begitu menggiurkan tersaji di sampingnya. Ah lezat sekali.
"Makan yang banyak ya, Mas. Anggap sebagai tanda perkenalan." Ada stik note berwarna biru yang tertempel di meja. Limah, kau membuatku seperti orang linglung dalam waktu sepersekian detik.
Aku segera mengambil piring dan menyantap makanan yang sudah tersaji, tak usah ditanya rasanya. Limah ku tak pernah gagal meracik apapun.
Enak juga ternyata ya hidup sendiri. Enggak ada suara berisik tangisan anak kecil, enggak ada lagi yang cerewet nanyain ini itu, akhirnya aku bisa menikmati hidup.
Setelah selesai makan, aku beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Penat sekali rasanya hari ini. Aku menikmati sejuknya air di bawah guyuran shower. Tiba-tiba lampu kamar mandi kelap-kelip seperti bintang di langit.
"Hey siapa di sana? Jangan bercanda!" Aku yang sedang mencuci muka mulai ketar ketir.
Hening tak ada jawaban, namun lampu terus saja berdisko. Gawat, kalau aku lari, mataku perih karena busa sabun masih utuh di wajah. Dengan secepat kilat aku langsung mengguyur diri, dan seketika lampu mati. Ruangan gelap tak terlihat ujung jari pun.
"Aaaaa tidak!" Secepat kilat aku menyambar handuk lalu keluar dari kamar mandi.
meringkuk diri dengan kedua tangan. Apakah aku sedang bermimpi?
***
"Limah, di rumah ada hantu. Cepat kamu kesini! Aku takut." Setelah telpon tersambung, aku langsung menelpon Limah untuk pulang.
[Hantu apaan si, Mas? Selama 5 tahun aku di rumah itu, enggak pernah tuh ketemu sama hantu. Kamu belum shalat kali. Makanya mahluk halus pada seneng menampakan diri, hih. Udah ya, aku mau ngaji dulu. Tut..Tut..] Sambungan diputusnya sepihak.
Sial, kenapa dia buru-buru mematikan sambungan telpon kami? Tapi ada benarnya juga, hampir saja aku lupa untuk shalat Maghrib.
Setelah shalat, ku buka Al-Qur'an di meja, lalu mulai membacanya. Biasanya kami selalu melingkar kecil usai shalat maghrib untuk mendengarkan aku mengaji, dan menyampaikan beberapa nasihat. Tapi kali ini, sepertinya hanya debu-debu dan mahluk Halus yang mendengar suaraku. Sepi, dan ini baru satu hari.