Sinopsis:
Melia Aluna Anderson, seorang manajer desain yang tangguh dan mandiri, kecewa berat ketika pacarnya, Arvin Avano, mulai mengabaikannya demi sekretaris barunya, Keyla.
Hubungan yang telah dibina selama lima tahun hancur di ulang tahun Melia, saat Arvin justru merayakan ulang tahun Keyla dan memberinya hadiah yang pernah Melia impikan.
Sakit hati, Melia memutuskan untuk mengakhiri segalanya dan menerima perjodohan dengan Gabriel Azkana Smith, CEO sukses sekaligus teman masa kecilnya yang mencintainya sejak dulu.
Tanpa pamit, Melia pergi ke kota kelahirannya dan menikahi Gabriel, yang berjanji membahagiakannya.
Sementara itu, Arvin baru menyadari kesalahannya ketika semuanya telah terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dilamar Gabriel
📍Pagi yang Hangat di Rumah Keluarga Anderson
Melia membuka tirai jendela kamarnya, membiarkan sinar matahari pagi masuk dan menerpa wajahnya. Sejak kepulangannya ke kota B, hari-hari terasa sedikit lebih damai. Meski luka di hatinya masih terasa, kehadiran keluarganya sedikit banyak menjadi obat bagi kepedihannya. Namun, pikirannya masih sesekali teringat pada Arvin dan luka pengabaian itu.
“Melia, sayang, turun sebentar. Mama mau bicara,” terdengar suara lembut ibunya dari bawah.
Melia menyahut pelan, “Iya, Ma. Sebentar.”
Ia merapikan rambutnya, menarik napas dalam, dan turun menuju ruang keluarga. Di bawah, kedua orang tuanya sudah menunggu dengan senyum penuh arti. Namun, yang mengejutkan, ada sosok Gabriel yang duduk dengan tenang di sofa. Gabriel mengenakan kemeja putih rapi dan celana hitam, tampak begitu elegan dan berwibawa. Baskara, asistennya, juga tampak duduk di sampingnya dengan senyum ramah.
Melia mengernyit bingung. “Ada apa ini?”
Ibunya, Ny. Anderson, tersenyum lembut. “Duduklah dulu, sayang.”
Dengan langkah ragu, Melia duduk di hadapan Gabriel. Tatapan pria itu begitu teduh, namun kali ini ada ketegasan di dalamnya yang membuat Melia merasa sesuatu akan terjadi.
“Melia,” Gabriel memulai dengan suara dalamnya yang menenangkan, “Aku tahu ini mungkin terdengar mendadak bagimu, tapi aku sudah memikirkan ini dengan matang.”
Melia menatap Gabriel, jantungnya berdegup lebih kencang. “Apa maksudnya, Gabriel?”
Gabriel menarik napas dalam, lalu beralih menatap kedua orang tua Melia sebelum kembali ke wajahnya. “Dulu, waktu kita masih kecil, kita sering bercanda tentang masa depan. Tentang bagaimana keluarga kita sudah menjodohkan kita sejak lama. Saat itu kita mungkin menganggapnya hanya sekadar lelucon masa kecil.”
Melia mengangguk pelan, berusaha memahami arah pembicaraan Gabriel.
“Tapi hari ini, aku ingin menjadikan lelucon masa kecil itu menjadi kenyataan,” lanjut Gabriel. Ia berdiri dari tempat duduknya dan berlutut di hadapan Melia, membuka sebuah kotak kecil yang berisi cincin berlian yang sederhana namun begitu elegan.
Melia terkejut, mulutnya sedikit terbuka tanpa kata.
“Melia Aluna Anderson, izinkan aku untuk menjadi pria yang mendampingimu. Aku tahu kau sedang melalui masa sulit, dan aku tidak ingin memaksamu untuk melupakan masa lalu. Tapi aku ingin kau tahu... aku tulus mencintaimu sejak dulu. Aku ingin membuatmu bahagia, ingin melindungi hatimu dari siapa pun yang pernah menyakitimu.”
Melia menatap cincin itu, lalu ke mata Gabriel yang terlihat begitu dalam dan penuh harapan. Ia terdiam. Jantungnya berdetak semakin kencang, sementara suasana ruangan itu terasa begitu hening.
“Gabriel...” suara Melia nyaris berbisik. Ia menunduk, berusaha mencari jawaban di dalam hatinya.
Ibunya segera angkat bicara. “Melia, sayang, Gabriel adalah pria baik yang sudah lama menyayangimu. Mama dan Papa percaya ini adalah pilihan terbaik untuk masa depanmu. Kamu tidak perlu terburu-buru, tapi pikirkan baik-baik.”
Melia menatap ibunya, lalu beralih ke Gabriel yang masih berlutut sabar menunggunya. Melia merasa hatinya bimbang. Apa ia siap menerima lamaran ini? Apakah ini terlalu cepat? Namun, di sisi lain, Gabriel telah membuktikan dirinya sebagai sosok yang tulus dan penuh perhatian, berbeda jauh dengan Arvin yang terus mengabaikannya.
Bibir Melia bergetar. “Gabriel... apakah kau yakin? Aku bukan orang yang sempurna. Hatiku... masih belajar untuk sembuh.”
Gabriel tersenyum lembut. “Aku yakin, Melia. Aku tidak akan memaksamu untuk langsung mencintaiku. Aku hanya ingin ada di sisimu dan memberimu kebahagiaan yang pantas kau dapatkan. Aku akan menunggumu sampai kau siap.”
Kata-kata itu mengguncang hati Melia. Perlahan, ia merasa hangat menjalar di seluruh tubuhnya. Gabriel tidak memaksanya, tidak menuntut apa pun. Pria itu hanya menawarkan ketulusan.
Melia mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis, meski matanya berkaca-kaca. “Baiklah, Gabriel... aku menerimanya.”
Gabriel tampak terkejut sesaat, namun senyumnya segera melebar. Ia mengambil cincin itu dan dengan lembut menyematkannya di jari manis Melia. Baskara, yang dari tadi menahan diri, langsung bertepuk tangan pelan.
“Selamat, Tuan Gabriel! Selamat, Nona Melia!” ujar Baskara dengan senyum lebar.
Ny. Anderson dan Tn. Anderson tampak bahagia. Sang ibu bahkan memeluk Melia dengan penuh haru. “Kau tidak akan menyesali ini, sayang. Gabriel adalah pria baik yang akan menjagamu.”
Melia hanya bisa mengangguk. Sebuah senyum lembut terukir di wajahnya meski hatinya masih diliputi berbagai perasaan.
Arvin Mulai Merasa Ada yang Hilang
Sementara itu, di kota N, Arvin duduk di ruang tengah apartemen yang sunyi. Sekali lagi, ia menatap foto dirinya dan Melia yang terpajang di dinding. Tiba-tiba, ia merasa apartemen itu terlalu besar, terlalu kosong tanpa keberadaan Melia.
Ponselnya berdering, membuatnya tersentak. Keyla menelepon. Dengan malas, Arvin mengangkat panggilan itu.
“Ya, Keyla. Ada apa?” tanyanya dengan nada datar.
“Pak, Anda terlihat lelah. Mungkin kita perlu ngobrol sambil minum kopi? Saya khawatir Anda terlalu stres memikirkan Melia,” ujar Keyla dengan suara manisnya.
Arvin menggeleng pelan, meski Keyla tak bisa melihatnya. “Aku lagi nggak mood, Keyla.”
“Baiklah, Pak. Tapi kalau butuh teman bicara, saya selalu siap,” ucap Keyla sebelum menutup telepon.
Arvin meletakkan ponselnya dan kembali tenggelam dalam pikirannya. Entah kenapa, kali ini ia benar-benar merasa kehilangan. Semua hal kecil yang dulu ia abaikan dari Melia kini terasa begitu berarti.
“Apa yang aku lakukan?” gumam Arvin, tatapannya kosong.
Di rumah keluarga Anderson, malam harinya digelar makan malam sederhana bersama keluarga Gabriel dan keluarga Melia. Kedua keluarga tampak bahagia dengan keputusan tersebut. Gabriel duduk di samping Melia, sesekali mengajaknya bicara ringan untuk membuatnya lebih nyaman.
“Melia, mulai sekarang aku akan ada untukmu,” ucap Gabriel dengan suara lembut. “Apa pun yang kau butuhkan, aku akan jadi orang pertama yang kau cari.”
Melia memandangnya dan mengangguk kecil. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ia merasa sedikit lega. Meski hatinya masih berproses untuk sembuh, kehadiran Gabriel seperti cahaya yang memberi harapan baru.