Netha Putri, wanita karir yang terbangun dalam tubuh seorang istri komandan militer, Anetha Veronica, mendapati hidupnya berantakan: dua anak kembar yang tak terurus, rumah berantakan, dan suami bernama Sean Jack Harison yang ingin menceraikannya.
Pernikahan yang dimulai tanpa cinta—karena malam yang tak terduga—kini berada di ujung tanduk. Netha tak tahu cara merawat anak-anak itu. Awalnya tak peduli, ia hanya ingin bertanggung jawab hingga perceraian terjadi.
Sean, pria dingin dan tegas, tetap menjaga jarak, namun perubahan sikap Netha perlahan menarik perhatiannya. Tanpa disadari, Sean mulai cemburu dan protektif, meski tak menunjukkan perasaannya.
Sementara Netha bersikap cuek dan menganggap Sean hanya sebagai tamu. Namun, kebersamaan yang tak direncanakan ini perlahan membentuk ikatan baru, membawa mereka ke arah hubungan yang tak pernah mereka bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pantai
Setelah keributan di halaman rumah selesai dan para tamu yang tidak diundang itu pergi, Netha langsung menggiring El dan Al ke dalam rumah. Wajahnya terlihat tenang, namun tatapannya yang mengarah ke Sean begitu tajam, membuat pria itu langsung merasa salah tingkah.
"Masuk ke dalam, El, Al. Jangan lupa bersihkan wajah kalian," ujar Netha lembut kepada kedua anaknya.
El dan Al menurut tanpa banyak bicara. Mereka melangkah masuk ke ruang tamu, meskipun sesekali melirik ke arah Sean dan Netha yang masih berdiri di depan pintu.
Ketika pintu rumah sudah tertutup dan hanya tersisa mereka berdua, Sean merasa seperti seorang prajurit yang sedang menunggu keputusan hakim militer. Ia tidak tahu apa yang akan Netha katakan, tapi tatapan dinginnya sudah cukup untuk membuat Sean merasa bersalah.
"Sean Jack Harison," ucap Netha dengan nada yang tegas namun tetap terkendali.
Sean mengangkat wajahnya, menatap Netha dengan hati-hati. Nama lengkapnya disebut, dan itu jarang sekali terjadi kecuali ketika Netha benar-benar serius.
"Aku sudah bilang, jagalah anak-anak ini baik-baik," lanjut Netha, suaranya sedikit melembut tapi tetap penuh makna. "Tapi baru sehari kamu di sini, masalah besar sudah terjadi. Apa yang sebenarnya kamu lakukan sampai anak-anak harus menghadapi situasi seperti tadi?"
Sean membuka mulutnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat, tapi tidak ada yang keluar. Ia merasa seperti prajurit yang dimarahi atas kegagalan dalam misi penting.
"Netha, aku... aku minta maaf," ucapnya akhirnya, nadanya penuh penyesalan. "Aku benar-benar tidak menduga ini akan terjadi. Aku seharusnya lebih waspada."
"Waspada? Kamu bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi di sekitar anak-anakmu," balas Netha sambil memijat pelipisnya. "Sean, aku menyerahkan mereka padamu karena aku percaya kamu bisa melindungi mereka. Tapi apa yang aku dapatkan? Anak-anak dihina, dan aku hampir saja kehilangan kendali tadi di depan mereka."
Sean menundukkan kepala. Ia tahu Netha benar. Sebagai seorang komandan, ia terbiasa menghadapi situasi berbahaya, tetapi saat ini, ia merasa gagal dalam tugasnya sebagai seorang ayah.
"Aku tidak bermaksud mengecewakanmu," kata Sean pelan. "Aku benar-benar ingin membuktikan kalau aku bisa menjadi ayah yang baik untuk El dan Al... dan mungkin..." Sean berhenti sejenak, ragu melanjutkan kalimatnya.
Netha mengangkat alis. "Dan mungkin apa?" tanyanya dengan nada mendesak.
"Dan mungkin... menjadi suami yang lebih baik untukmu," ucap Sean akhirnya, wajahnya memerah karena malu.
Netha tertegun. Ia tidak menyangka Sean akan mengatakan hal seperti itu. Namun, ia cepat-cepat mengendalikan ekspresinya, tidak ingin terlihat terlalu terpengaruh oleh kata-kata Sean.
"Sean," ujar Netha dengan nada lebih lembut, "aku menghargai niatmu. Tapi jika kamu benar-benar ingin memperbaiki hubungan ini, kamu harus mulai dari hal yang paling dasar, belajar untuk benar-benar hadir dalam hidup mereka. Bukan hanya memberikan perintah atau uang, tapi ada di sana ketika mereka membutuhkannya."
Sean mengangguk pelan. "Aku mengerti. Aku akan berusaha lebih baik lagi. Aku janji."
Netha menghela napas panjang. Ia tahu Sean sungguh-sungguh, tapi ia juga tahu bahwa perubahan tidak akan terjadi dalam semalam.
"Aku tidak butuh janji, Sean. Aku butuh tindakan," katanya sambil menatap Sean dengan serius. "Buktikan kalau kamu benar-benar peduli pada mereka, bukan hanya sebagai seorang komandan, tapi sebagai seorang ayah."
Sean mengangguk lagi, kali ini dengan lebih yakin. "Aku akan melakukannya. Dan aku juga akan memastikan tidak ada lagi masalah seperti tadi."
Netha hanya mengangguk kecil sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah. "Aku harap begitu, Sean. Karena kalau tidak, aku tidak akan segan-segan mengambil anak-anak ini dan pergi."
Kata-kata itu membuat Sean tertegun. Ia menatap punggung Netha yang menjauh, merasa ada beban besar yang harus ia tanggung. Tapi kali ini, ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain selain membuktikan dirinya.
"Aku tidak akan mengecewakanmu lagi, Netha," gumam Sean pada dirinya sendiri, tekadnya semakin kuat.
Setelah suasana rumah kembali tenang, Netha memutuskan untuk mengajak El dan Al keluar. Ia tahu kejadian pagi tadi cukup membebani pikiran anak-anak, dan pergi ke taman hiburan adalah cara terbaik untuk mengalihkan perhatian mereka.
"El, Al, cepat mandi dan ganti baju. Kita pergi jalan-jalan," seru Netha dengan senyum lembut, sambil menatap kedua anak kembarnya yang duduk di sofa.
Mata El dan Al langsung berbinar. "Ke mana, Ma?" tanya Al dengan antusias.
“Pantai” jawab Netha sambil tersenyum.
Mereka tampak sangat bersemangat setelah mendengar rencana itu. "Mama, kita bisa main pasir, kan?" tanya Al penuh antusias.
“Iya, tapi kalau kalian lambat, Mama batalin,” jawab Netha dengan nada menggoda.
El dan Al langsung berlari ke kamar mandi. Sementara itu, Sean yang masih berdiri di dekat Netha tampak canggung. Dia sebenarnya ingin ikut, tetapi tak tahu bagaimana menyampaikannya.
Sementara itu, Sean masih berdiri di dekat pintu ruang tamu. Wajahnya terlihat canggung, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi ragu. Ia mendengar rencana Netha dan si kembar, dan di dalam hatinya ia ingin sekali ikut. Namun, ia tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya.
Sean berpikir keras. "Apa aku boleh ikut? Tapi bagaimana kalau dia menolak? Apa dia akan menganggap aku merepotkan?"
Netha yang sedang membereskan tasnya menyadari tatapan penuh harap Sean. Ia diam sejenak, lalu mendesah pelan.
"Kamu mau ikut juga?" tanyanya dengan nada datar, sambil menatap Sean.
Sean terkejut, tapi langsung mengangguk. "Kalau boleh, aku ingin ikut," jawabnya, suara penuh harapan.
Netha mengangkat alis, matanya menelusuri pakaian yang dipakai Sean. "Kalau mau ikut, ganti bajumu dulu. Lihat itu, kau masih pakai seragam militer. Apa kamu mau jadi pusat perhatian di sana?"
Sean melihat ke arah bajunya sendiri. Ia mengenakan pakaian militer lengkap dengan atributnya. Wajahnya memerah, merasa sedikit malu karena tidak menyadarinya sejak tadi.
"Oh... iya, aku ganti sekarang," katanya cepat, lalu berjalan menuju kamarnya untuk berganti pakaian.
Beberapa menit kemudian, Sean keluar dari kamar dengan pakaian yang lebih santai, kaos putih polos dan celana pendek krem, tampak jauh lebih santai. Penampilannya jauh lebih santai dibanding sebelumnya, tapi tetap terlihat rapi. Sean berdiri di ruang tamu dengan tangan di saku, masih merasa kikuk. Ia melirik Netha, berharap mendapatkan sinyal apakah kehadirannya benar-benar diinginkan.
Netha meliriknya sebentar dan mengangguk kecil. "Baiklah, sekarang kamu terlihat normal," gumamnya.
Sean tersenyum lega. Meskipun komentar Netha terdengar dingin, setidaknya dia tidak dilarang untuk ikut. Dalam hatinya, Sean merasa senang karena ini adalah kesempatan untuk lebih dekat dengan Netha dan si kembar.
Ketika El dan Al keluar dari kamar dengan pakaian bersih, mereka langsung bersorak gembira melihat Sean ikut bergabung.
"Papa juga ikut? Yeay!" seru El.
"Asyik, kita semua pergi bareng!" tambah Al, wajahnya berbinar.
“Sudah siap semua?” Netha bertanya sambil mengecek tas kecilnya untuk memastikan semua perlengkapan seperti dompet, ponsel, dan tisu basah ada di sana.
El dan Al serempak menjawab, “Siap, Ma!”
Sean mengangguk, mencoba menyembunyikan senyumnya.
Melihat itu, Netha menghela napas, “Kalau kau sudah selesai menatap kosong, ayo kita pergi. Aku tidak mau terlambat, takut ramai di taman hiburan nanti.”
“Baik,” jawab Sean singkat, segera mengambil kunci mobil dan mengikuti Netha serta si kembar ke luar rumah.
Perjalanan menuju pantai berlangsung cukup damai. El dan Al tak henti-hentinya mengobrol tentang apa saja yang ingin mereka lakukan begitu sampai di pantai. "Aku mau bikin kastil pasir terbesar!" seru El.
"Dan aku mau berenang!" tambah Al dengan semangat.
Sean sesekali melirik ke arah Netha yang sedang mengemudi. Dia tampak serius, matanya fokus ke jalan. Dalam hatinya, Sean merasa kagum. Dulu, ia tak pernah melihat Netha yang seperti ini, mandiri, perhatian, dan tegas.
"Terima kasih sudah mengajak mereka ke pantai," kata Sean akhirnya.
Netha melirik sekilas ke arah Sean. "Aku hanya ingin mereka bahagia," jawabnya singkat.
Sean tak tahu harus menjawab apa lagi, jadi dia memilih diam.
📍Pantai
Begitu sampai di pantai, El dan Al langsung berlari ke arah pasir. Mereka tampak sangat bahagia, tertawa dan melompat-lompat. Netha membawa tikar dan beberapa camilan, lalu duduk di bawah pohon kelapa.
Sean membantu mengatur barang-barang mereka. Setelah semuanya beres, dia menatap El dan Al yang sedang bermain pasir. "Mereka benar-benar terlihat bahagia," katanya pelan.
Netha hanya mengangguk. Dia membuka buku yang dibawanya dan mulai membaca. Tapi tak lama kemudian, El datang dengan wajah penuh pasir. "Mama, bantu aku bikin kastil pasir, dong!" pintanya sambil menarik tangan Netha.
Netha tertawa kecil. "Baiklah, Mama bantu," jawabnya. Dia meletakkan bukunya dan berjalan ke arah El dan Al.
Sean, yang tadinya hanya berdiri di pinggir, akhirnya ikut bergabung. "Aku juga mau bantu," katanya sambil duduk di pasir.
Ketiganya mulai membuat kastil pasir bersama-sama. El dan Al tertawa-tawa saat Sean membuat menara yang miring dan Netha mencoba memperbaikinya. Untuk sesaat, mereka tampak seperti keluarga yang benar-benar harmonis.
Setelah puas bermain pasir, mereka duduk di tikar dan makan siang bersama. Netha membawa bekal sandwich, buah-buahan, dan jus.
"Mama, sandwich-nya enak banget!" kata Al sambil mengunyah dengan lahap.
"Kalau suka, makan yang banyak," balas Netha sambil tersenyum.
Sean memperhatikan interaksi Netha dengan anak-anaknya. Hatinya terasa hangat. Dia merasa.. bahwa inilah momen yang selalu dia inginkan, kebersamaan dengan keluarga kecilnya.
Menjelang sore, mereka duduk bersama di pinggir pantai, menatap matahari yang perlahan tenggelam di ufuk barat. El dan Al duduk di tengah, memegang tangan Sean dan Netha.
"Pantainya indah banget," kata El pelan.
"Iya, aku suka di sini," tambah Al.
Netha menatap matahari yang mulai memerah. Dalam hatinya, dia merasa damai. Meskipun situasi dengan Sean belum sepenuhnya jelas, setidaknya hari ini dia bisa membuat El dan Al bahagia.
Sean, di sisi lain, merasa semakin yakin bahwa dia ingin mencoba memperbaiki hubungannya dengan Netha. Tapi dia tahu, itu tak akan mudah.
Saat mereka kembali ke mobil, Sean dengan lembut berkata, "Terima kasih sudah mengajak kami hari ini, Netha."
Netha hanya tersenyum tipis. "Aku hanya ingin kita semua bahagia, mereka juga anak-anakku, dan aku adalah Mamanya" katanya.
Tapi dalam hatinya, dia tahu bahwa hari ini bukan hanya untuk El dan Al. Entah bagaimana, dia juga merasa sedikit lebih bahagia.
“Dan aku juga papanya” ucap Sean dengan suara kecil, namun Netha tetap mendengarnya.
“Ya benar” ucap Netha menimpali ucapan Sean.