Rasa bersalah yang menjerumuskan Evelin, atlet renang kecil untuk mengakhiri hidupnya sendiri, karena sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa seluruh keluarganya. Kesepian, kosong dan buntu. Dia tidak mengerti kenapa hanya dia yang di selamatkan oleh tuhan saat kecelakaan itu.
Namun, sebuah cahaya kehidupan kembali terlihat, saat sosok pria dewasa meraih kerah bajunya dan menyadarkan dia bahwa mengakhiri hidup bukanlah jalan untuk sebuah masalah.
"Kau harus memperlihatkan pada keluargamu, bahwa kau bisa sukses dengan usahamu sendiri. Dengan begitu, mereka tidak akan menyesal menyelamatkanmu dari kematian." Reinhard Gunner.
Semenjak munculnya Gunner, Evelin terus menggali jati dirinya sebagai seorang perenang. Dia tidak pernah putus asa untuk mencari Gunner, sampai dirinya tumbuh dewasa dan mereka kembali di pertemukan. Namun, apa pertemuan itu mengharukan seperti sebuah reuni, atau sangat mengejutkan karena kebenaran bahwa Gunner ternyata tidak sebaik itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elsa safitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gugup
Evelin tidak membuat tanggapan. Meski sebelumnya dia tampak terkejut dengan ungkapan Gunner, namun kini dia kembali seperti semula. Melihat Evelin yang benar-benar jauh dari kata sadar, Gunner menghela nafas berat lalu kembali menyandarkan kepala gadis itu ke dalam dadanya.
Saat itu terjadi, Evelin tiba-tiba memeluknya. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam jaket Gunner yang tebal setinggi lutut dengan resleting yang terbuka. Dia melingkarkan tangan kecilnya ke pinggang pria itu dan terlelap dalam suhu tubuh Gunner yang hangat.
Sambil menikmati kehangatan suhu tubuh Gunner yang hanya terhalang kaos putih, dia kembali mendongak.
"Dingin."
Gunner meliriknya dari atas. Dia terkejut saat gadis itu dengan berani memeluknya, namun mengingat Evelin yang mabuk berat, dia mengabaikan hal itu.
"... Kau satu-satunya yang mengenakan jaket tebal. Sungguh tidak adil."
Evelin melanjutkan. Gunner kembali menghela nafas berat untuk menyadarkan dirinya tentang betapa bahayanya wajah imut Evelin saat mabuk. Dia tidak boleh menyentuh gadis itu apapun yang terjadi!
Dia kembali memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket, lalu menutup tubuh Evelin dengan jaketnya. Sebuah jaket tebal berwarna hitam setinggi lutut itu kini di isi dua orang dewasa.
"Apa kamu sudah merasa lebih baik?"
Saat Gunner bertanya, Evelin kembali di buat terkejut. Jantungnya berdegup sangat cepat. Meskipun dalam keadaan mabuk, dia masih sangat menyukai pria itu. Sebagai tanggapan bahwa dia merasa lebih baik, dia menenggelamkan kepalanya lebih jauh dan mempererat pelukan.
"Senior.."
Dari dalam jaket, gadis itu tiba-tiba memanggilnya. Dia yang masih mendongak sambil menghirup udara kembali di buat menunduk untuk melihat gadis itu.
"Ada apa?"
"Senior kau seorang playboy, kan?"
"Apa? haha.. kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?"
Evelin tiba-tiba mendongak dan mata mereka kembali bertemu. Sebelum menyahut, gadis itu terdiam seolah sedang memindai sesuatu dari wajah Gunner.
"... Wajahmu masih sangat tampan bahkan setelah sekian lama."
Mendengar ucapan Evelin tersebut, Gunner memicingkan mata bingung. Dia tahu gadis itu sedang tidak sadar sekarang. Mau bagaimanapun, seseorang yang sedang mabuk memang sering bicara omong kosong.
Setelah mengatakan hal yang ambigu, Evelin perlahan memejam dan kembali menjatuhkan kepalanya ke dada Gunner. Sementara itu, Gunner yang masih di buat bingung dengan cepat memeluk tubuh Evelin untuk membuat gadis itu tidak jatuh karena tidur sambil berdiri.
*
*
*
Keesokan paginya, saat Evelin membuka mata setelah mabuk berat semalam, dia melihat sebuah jendela yang mengarahkan cahaya matahari ke arahnya. Dia melihat ke langit-langit kamar, dan sadar bahwa itu bukan kamar yang sering dia tempati untuk tidur.
Dia dengan cepat mengangkat tubuh bagian atasnya. Sambil melihat sekelilingnya yang tampak asing, dia menggosok kedua matanya berkali-kali.
"Dimana ini?!"
Saat dia masih sibuk membuat raut wajah terkejut, pintu kamar terbuka dan seseorang masuk sambil membawa segelas air putih.
"Senior?!"
Evelin semakin di buat terkejut. Ternyata dia berada di rumah Gunner. Namun, dia benar-benar tidak mengingat apapun selain dirinya yang di bawa paksa untuk melakukan party di bar.
Semakin dia menjelajah pikirannya untuk menemukan pertemuannya dengan Gunner tadi malam, kepalanya malah semakin pusing. Dia tidak mengingat apapun selain dirinya yang minum anggur terlalu banyak.
"Senior, bagaimana aku bisa ada disini? Apa aku membuat kekacauan? Apa aku mengatakan sesuatu yang buruk padamu? Ugh.. Aku sangat buruk saat mabuk."
Gunner menertawakan pertanyaan itu. Dia lalu menyodorkan segelas air yang dia bawa, dan Evelin meraihnya. Setelah gadis itu minum beberapa teguk, Gunner menyusul duduk di tepi ranjang.
"Mau tahu?"
Evelin mengangguk dengan yakin. Meskipun dia merasa sangat gugup untuk tahu apa yang dia lakukan pada Gunner saat dia tidak sadar, sampai pria itu membawa dia ke rumahnya.
"... Kamu mengatakan bahwa kamu sangat menyukaiku."
"A-apa?! Apa aku benar-benar mengatakan itu?"
Evelin membola terkejut. Dia langsung percaya karena apa yang Gunner katakan memang benar. Dia sangat menyukai pria itu. Dia takut dia benar-benar mengungkapkannya tadi malam. Apalagi, saat mabuk seseorang cenderung lebih jujur.
Namun, saat jantungnya berdegup begitu cepat karena gugup, Gunner malah kembali menertawakannya. Sepertinya pria itu punya hobi mengejek selain menjadi buaya darat.
"Haha.. Tidak, aku bercanda. Kamu tidak mengatakan apapun. Saat itu kamu mabuk dan tidak mengatakan dimana alamat rumahmu, jadi aku membawamu ke rumahku."
Mendengar ungkapan tersebut, Evelin menghela nafas lega. Melihat Evelin yang sepertinya sudah cukup tenang, Gunner kembali beranjak.
"Aku membuatkanmu sandwich. Makanlah sebelum pulang."
"Baik. Terimakasih, senior."
Setelah Evelin setuju, Gunner pergi dari kamar itu. Kini, di kamar yang luas dengan interior cukup klasik hanya ada Evelin dengan dentuman keras dari arah jantung.
Setelah dia menenangkan hatinya, dia beranjak dari kasur untuk menyusul Gunner. Sambil berjalan keluar kamar, dia melihat sekeliling rumah itu dan ternyata, Gunner tinggal di sebuah apartemen.
Dia tahu pria itu cukup kaya untuk selalu bersenang-senang. Namun, mendapat fakta bahwa dia tinggal sendirian di sebuah apartemen besar, dia cukup terkejut.
Saat dia menuruni tangga, dari kejauhan terlihat Gunner yang sedang menyiapkan dua gelas kopi. Evelin mendekat untuk mencari tahu dimana Sandwich miliknya.
"Senior."
Gunner menoleh dengan cepat. Dia lalu memberikan satu piring berisi sandwich pada Evelin dan satu gelas kopi susu.
"Ayo makan di meja."
Evelin mengangguk lalu mengikuti langkah Gunner dan duduk di salah satu kursi di meja makan. Dia berhadapan langsung dengan Gunner. Saat kau berhadapan dengan seseorang yang sangat kau sukai, tingkah ambigu kadang tercipta karena rasa gugup yang berlebihan.
Saat dia hendak memakan sandwich tersebut, dia tiba-tiba mengalami cegukan. Keheningan terjadi setelahnya. Gunner membeku sesaat mendengar Evelin mengeluarkan suara yang lucu dari tenggorokannya.
"Pfft! Haha.. Evelin, apa kamu masih kedinginan?"
"T-tidak. Maafkan aku-- huk."
Gunner menertawakan suara itu lagi. Dia lalu beranjak dari kursi dan membawakan Evelin segelas air hangat, karena biasanya cegukan tercipta saat kamu kedinginan. Namun, cegukan kali ini tercipta karena Evelin benar-benar sangat gugup.
"Ini, minumlah."
Evelin mengambil gelas tersebut dan meminumnya dengan cepat. Setelah beberapa tegukan, suara cegukan itu akhirnya hilang. Dia menghela nafas lega lalu kembali mengambil sandwich untuk segera memakannya.
Sementara itu, Gunner memperhatikannya dalam diam. Tingkah Evelin benar-benar sangat lucu sampai membuat dia terus terpaku pada gadis itu.
Saat keheningan terjadi, suara ponsel yang berdering memecah suasana. Gunner dengan cepat beranjak dari kursi untuk mengambil ponselnya.
"Maaf, aku akan mengangkatnya dulu."
Evelin mengangguk. Dia di tinggalkan sendirian, sementara Gunner pergi untuk berbicara dalam sebuah panggilan. Sambil memakan sandwichnya, dia memperhatikan Gunner dari jauh. Pria itu tampak bersenang-senang dalam pembicaraannya.