Demi mendapatkan biaya pengobatan ibunya, Arneta rela mengorbankan hidupnya menikah dengan Elvano, anak dari bos tempat ia bekerja sekaligus teman kuliahnya dulu.
Rasa tidak suka yang Elvano simpan kepada Arneta sejak mereka kuliah dulu, membuat Elvano memperlakukan Arneta dengan buruk sejak awal mereka menikah. Apa lagi yang Elvano ketahui, Arneta adalah wanita yang bekerja sebagai kupu-kupu malam di salah satu tempat hiburan malam.
"Wanita murahan seperti dirimu tidak pantas diperlakukan dengan baik. Jadi jangan pernah berharap jika kau akan bahagia dengan pernikahan kita ini!"
Follow IG @shy1210_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 - Kehilangan Ibu
Sepanjang perjalanan menuju kediaman ibunya, perasaan Arneta terasa semakin tidak enak saja. Entah kenapa dia bisa merasakan hal tersebut. Padahal, ibunya selalu berkata jika ia baik-baik saja.
"Pak, tolong lebih cepat lagi bawa motornya, ya!" Pinta Arneta di saat perasaannya sudah semakin tidak enak.
Pengemudi ojek yang ditumpangi Arneta mengangguk. Menambah kecepatan motornya walau tidak banyak melihat jalanan yang ada di depannya sudah padat dilewati banyak kendaraan.
Berselang beberapa saat, akhirnya motor yang membawa Arneta tiba di depan kediaman ibunya. Dahi Arneta seketika mengkerut melihat beberapa orang yang kini berdiri di depan rumah kontrakan ibunya.
"Maaf, ada apa ya ramai-ramai di sini?" Arneta bertanya dengan raut wajah bingung.
"Kamu Arneta, kan? Anaknya Bu Maria?" Salah satu wanita paruh baya yang berdiri di depan Arneta bertanya. Arneta pun mengangguk membenarkannya. "Arneta, ibu kamu baru saja dibawa ambulan ke rumah sakit. Satu jam yang lalu, ibu kamu jatuh di kamar mandi. Ibu kamu tidak sadarkan diri sehingga perawat yang menjaganya langsung meminta pertolongan untuk membawanya ke rumah sakit."
"Apa?!" Kedua bola mata Arneta melotot kaget. Jantungnya pun sudah berpacu sangat cepat. "Ibu jatuh di kamar mandi?" Ulangnya dengan suara yang terdengar sangat keras. Wanita itu pun mengangguk membenarkannya.
"Lalu dimana ibu saya dibawa saat ini?" Arneta bertanya cepat. Kedua bola matanya pun sudah nampak penuh dibalut cairan bening.
"Ke rumah sakit Prima, Arneta!"
Arneta gegas pergi menuju rumah sakit yang dimaksud setelah berterima kasih pada wanita yang memberikan informasi kepada dirinya. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Arneta tak henti menangis. Dia sangat takut terjadi apa-apa kepada ibunya. Apa lagi kesehatan ibunya belum sepenuhnya membaik pasca operasi.
Berselang beberapa saat, Arneta telah tiba di rumah sakit. Dia langsung saja menuju instalasi gawat darurat untuk mencari keberadaan ibunya di sana.
"Mbak Arneta!" Perawat yang biasanya menjaga ibunya terdengar menyapa. Arneta gegas menghampiri dan mempertanyakan keadaan ibunya.
"Ibu saya bagaimana, Sus? Kenapa kamu diam aja?" Wajah Arneta nampak tidak sabar menunggu jawaban.
"Dokter masih memeriksakan keadaan By Maria di dalam, Mbak." Hanya itulah jawaban yang bisa diberikan oleh perawat.
Arneta rasanya tidak tenang. Air mata sudah mengalir membasahi kedua pipi. Selama menunggu proses pemeriksaan ibunya, dia tak henti memanjatkan doa. Berharap ibunya baik-baik saja walau pun perasaannya semakin tidak enak saja.
"Tuhan... aku mohon selamatkan ibu. Hanya ibu yang aku punya. Kalau ibu tidak ada, aku dengan siapa? Siapa lagi yang akan menyayangiku?" Lirih Arneta dalam hati. Air mata yang membasahi kedua pipinya pun semakin mengalir dengan deras. Perawat yang berdiri di sebelah Arneta berusaha menenangkan dan sesekali meminta maaf karena tidak bisa menjaga Bu Maria dengan baik.
Hampir satu jam menunggu, dokter yang menangani Bu Maria akhirnya keluar. Dia mengajak Arneta berbicara empat mata untuk memberitahu keadaan ibunya.
"Nona Arneta, saya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan nyawa ibu anda. Namun, maaf, Tuhan berkehendak lain. Nyawa ibu anda tidak tertolong. Ibu anda sudah menghembuskan napas terakhirnya lima belas menit setelah ia dibawa ke sini."
"Apa?!" Arneta berteriak sangat keras. Air matanya kembali mengalir membasahi kedua pipi. "Enggak. Itu gak mungkin... ibu saya gak mungkin pergi... ibu saya masih hidup!!" Arneta rasanya tidak percaya begitu saja dengan perkataan dokter. Dia lekas masuk ke dalam ruangan untuk memastikan keadaan ibunya di sana.
"Ibu..." jeritan Arneta terdengar pilu saat melihat ibunya terbujur kaku dan tertutup oleh selembar kain bewarna putih. Arneta segera mendekati brankar dimana ibunya terbaring. Dia menarik selembar kain yang menutupi wajah ibunya untuk melihat keadaan ibunya saat ini.
Lagi, terdengar suara jeritan Arneta melihat wajah ibunya yang sudah nampak pucat dan ada beberapa memar di bagian kening dan pipi akibat ibunya jatuh di kamar mandi.
"Ibu bangun... ibu gak boleh pergi ninggalin aku!!" Arneta berteriak. Menggoncang tubuh Bu Maria berharap wanita yang sudah melahirkannya ke dunia itu bisa kembali hidup dan menemaninya hingga akhir.
"Nona Arneta, tenanglah..." perawat yang berada di sana berusaha menenangkan. Namun, Arneta yang tengah diliputi rasa pilu tidak bisa tenang begitu saja. Apa lagi kepergian ibunya terkesan sangat mendadak.
"Ibu... kenapa Ibu pergi ninggalin aku. Siapa lagi yang akan menyayangiku kalau bukan Ibu. Aku sendirian, Bu... bagaimana aku bisa hidup tanpa Ibu??!!" Arneta masih saja menjerit seraya menangis. Suara tangisannya yang terdengar pilu membuat perawat yang sudah merawat Bu Maria beberapa bulan belakangan ini jadi ikut menangis dan merasa sangat bersalah.
"Maafkan saya, Mbak Arneta..." hanya ungkapan itulah yang keluar dari mulut perawat. Jika saja dia tidak membiarkan Bu Maria pergi ke kamar mandi sendiri tadi, semuanya pasti tidak akan terjadi seperti ini. Bu Maria akan tetap hidup dan menyangi Arneta seperti yang diharapkan Arneta saat ini.
Beberapa saat berlalu, Arneta masih saja menangis. Perawat yang bertugas menjaga Bu Maria pun berinisiatif mengurus administrasi kepulangan Bu Maria agar bisa segera dimakamkan. Arneta membiarkan saja perawat mengurus administrasi ibunya. Sementara dirinya, senantiasa berada di samping Bu Maria dan berdoa agar ibunya bisa hidup kembali.
"Kemana kita akan membawa jenazah Bu Maria, Mbak?" Perawat akhirnya bertanya setelah mendapatkan ambulan yang akan mengantarkan kepulangan Bu Maria.
Arneta menghela napas dalam-dalam untuk mengurai rasa sesak di dada. "Ke rumah kontrakan saja." Balasanya. Tidak ada tempat selain kontrakan untuk membawa ibunya pulang. Arneta sadar diri jika suaminya tidak akan mau menampung jenazah ibunya di rumah. Sedangkan ibunya masih hidup saja, suaminya itu sudah enggan. Apa lagi sudah terbujur kaku seperti ini.
"Oh ya, Mbak. Saya mau kasih tau Tuan Keenan dan Tuan El tentang masalah ini." Beri tahu perawat. Bagaimana pun juga, dia harus memberitahukan segala informasi tentang Bu Maria pada kedua pria tersebut.
Arneta mengiyakannya saja. Dia sudah tidak perduli apa pun selain fokus pada ibunya. Arneta kembali mengajak ibunya yang sudah terbujur kaku itu berbicara walau pun ia sadar jika ibunya tidak akan bisa lagi menjawabnya.
"Bu... aku mohon bangun... aku gak sanggup melewati hidup ini tanpa Ibu. Hanya Ibu yang aku punya. Hanya Ibu yang bisa memberikan kasih sayang yang begitu tulus kepadaku. Ako mohon, Bu... ayo bangun... aku butuh Ibu... huuuu..." Arneta kembali meminta walau semuanya terasa tidak mungkin. Entah sudah berapa banyak air mata yang mengalir dari sudut matanya. Arneta tidak memperdulikannya. Dia terus saja menangis hingga membuat kedua kelopak matanya terlihat semakin membengkak saja.
***
*Gedegbgntsamael*
tapi penasaran sama hubungan el dan evan.apa el merasa orang tuanya bertindak tidak adil padanya yaa karena emang anak angkat,, semoga kedepan mereka berdua selalu rukun dan saling menjga