Semua ini berawal dari kata sandi sambungan Wi-Fi di rumah gue. Kedengarannya sepele, kan?
Tapi percaya, deh, lo salah besar kalau mengira ini cuma hal kecil yang enggak bakal bisa mengubah nasib seseorang.
Sekarang, kata sandi itu bukan cuma gue yang tahu, tapi juga mereka, tiga lelaki keren dari keluarga Batari yang tinggal di belakang rumah gue.
Bukan karena gue pelit, ya.
Tapi ini masalah yang jauh lebih besar, menyangkut harga diri gue sebagai seorang perempuan. Karena begitu dia tahu isi kata sandi itu, gue yakin hidup gue bakal berubah.
Entah akan jadi lebih baik, atau justru makin hancur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Negosiasi
"Jangan panik, Zielle! Jangan panik!" Gue ngomong ke diri sendiri, sambil mondar-mandir di kamar gue.
Anoi mengikuti gue ke mana-mana, merasa kalau gue lagi panik. Gue lirik Asta yang masih tenggelam di alam mimpi. Gue mulai gigit kuku karena deg-degan. Anan lagi mengamuk dan dia bakal datang ke sini buat cari gue.
Ya ampun, internet sialan!
Bikin masalah melulu akhir-akhir ini.
"Oke, tenang, Zielle. Tarik napas, satu-satu dulu," gue bilang ke diri sendiri sambil meremas rambut. "Kalau dia datang, lo tinggal enggak usah bukain pintu. Selesai, beres."
Gue duduk di pinggir ranjang, tarik napas dalam-dalam. Tangan Asta menjuntai ke luar kasur, Anoi ciumi tangan Asta sambil keluarkan suara geraman, menunjukkan giginya. Buat Anoi, Asta itu orang asing.
"Anoi, jangan, sini." Gue tarik Anoi keluar dari kamar dan tutup pintu. Gue enggak mau kalau Anoi gigit Asta pas lagi tidur, bisa makin ribet nanti urusannya.
Gue enggak tahu berapa lama waktu berlalu, tapi gue mengantuk. Gue cek HP gue dan HP Asta, tapi enggak ada notif sama sekali, bahkan enggak ada panggilan.
Apa jangan-jangan Anan sudah tenang sekarang?
Jam meja di samping kasur gue menunjukkan pukul 2:43 pagi. Sudah tengah malam banget, waktu rasanya cepat banget berlalu. Gue masuk ke kamar mandi dan lihat diri gue di kaca, kayak habis kena tampar tiga kali.
Gila, gue kelihatan parah banget. Mata gue merah, rambut coklat gue acak-acakan, ujung-ujungnya kayak ke mana-mana. Eyeliner gue sudah luntur ke bawah mata, mirip Joker di film yang baru-baru ini jadi trending topik. Gue bisa banget keluar sekarang dan bikin takut orang-orang di jalan.
Dari kelihatan super kece jadi hancur?
Itu karena efek alkohol. Gue ikat rambut gue jadi cepol acak-acakan, terus cuci muka buat menghapus sisa make-up. Gue keluar dari kamar mandi, nyeker, terus langsung menuju kasur.
Gue duduk di sisi seberangnya Asta, sudah mulai mengantuk. Hari pertama gue nge-party ternyata keos banget. Gue mengelus muka sambil hembuskan napas pelan, mata gue mulai merem melek. Angin dari jendela bikin gue merinding.
Mendadak, mata gue mekar pas gue ingat kejadian waktu Anan memanjat jendela buat menyelonong masuk ke kamar gue.
"Sial!"
Gue lari ke arah jendela, tapi setengah jalan gue berhenti mendadak. Ada siluet yang jelas banget di balik gorden
Anan lompat masuk ke kamar gue, menyibak gorden yang menghalangi jalannya.
*Oh, f*ck*!
Kayak yang selalu Niria bilang kalau lagi sok ngomong bahasa Inggris.
Anan Batari ada di kamar gue. Tingginya, seperti biasa, bikin kamar gue jadi berasa sempit banget. Dia masih pakai kemeja abu-abu itu, yang lengan bajunya dilipat, bikin dia kelihatan tambah keren.
Tatapan dia dingin banget, sumpah bikin gue merinding. Dia lagi murka, benar-benar murka.
Muka dia tegang, bibirnya ketat, tangan mengepal. Semua bahasa tubuhnya bilang, gue harus hati-hati banget menghadapi ini kalau enggak mau tamat jadi korban ‘Pangeran Jawa.’
“Di mana dia?!” teriak Anan, bikin gue kaget.
Gue telan ludah dan pelan-pelan mendekat. “Anan, dengerin dulu penjelasan gue...”
Anan dorong gue ke samping dan langsung jalan ke kasur. “Gue enggak butuh penjelasan.” Tatapan dia beralih ke baju Asta yang berceceran di lantai dan melihat keadaannya. “Lo mabokin dia?”
“Itu enggak sengaja.”
“Lo tinggalin gue di tengah jalan buat mabokin adik gue?”
“Itu...”
“Itu apa? Kecelakaan? Lo bisa-bisanya sebego itu?”
Dia colek-colek badan Asta, tapi Asta cuma komat-kamit sambil ngomong kalau dia kangen sama mamanya dan membenamkan kepala di bawah bantal.
“Lihat, dia!” Anan berdiri lagi dan tatapannya penuh amarah ke arah gue. “Ini lo sengaja, ya? Segitu bencinya lo sampai mau ngerusak malam gue?”
Dia mendekat ke arah gue, tapi gue tetap di tempat, enggak bakal kasih dia kesempatan buat bikin gue ciut. "Dengerin baik-baik, Anan, ini benaran kecelakaan. Gue nyiapin minuman buat gue sendiri, tapi adik lo ngira itu buat dia. Karena dia enggak biasa, ya dia mabok cuma gara-gara itu."
"Lo kira gue bakal percaya omongan lo?"
Gue ketawa sinis. "Mau percaya atau enggak, bodo amat. Gue cuma bilang yang sebenarnya."
Anan kelihatan kaget sebentar, tapi habis itu dia senyum.
"Anak manis, ternyata punya nyali juga."
"Gue bukan anak kecil, kecuali lo mau minta maaf karena udah teriak-teriak dan nerobos masuk ke kamar gue begini, gue enggak mau ngomong sama lo. Mending lo pergi."
"Minta maaf?"
"Iya."
Anan keluarkan napas panjang tapi diam saja, jadi gue lanjut ngomong.
"Adik lo enggak bakal bangun dalam beberapa jam ke depan, jadi saran gue, biarin dia tidur dulu, baru nanti lo jemput."
"Lo suruh gue biarin dia tidur di sini sendirian bareng lo? Mimpi kali!"
"Kok, lo kedengarannya kayak pacarnya dia, cemburuan gitu, sih?"
Anan senyum, benar-benar enggak stabil. "Lo pasti pengen banget, ya?"
Dia mendekat lagi, dan gue waspada. "Lo ngapain?"
Anan ambil tangan gue dan tarik ke wajahnya, terus bibirnya yang lembut menempel di kulit tangan gue.
"Minta maaf." Dia kecup bagian dalam tangan gue sambil menatap langsung ke mata gue. "Maaf, Zielle."
Rasanya gue ingin banget teriak dan bilang kalau permintaan maaf doang enggak cukup, tapi gestur lembutnya dan tatapan jujurnya bikin gue enggak bisa marah lagi. Amarah gue menguap, digantikan sama rasa geli di perut yang selalu muncul tiap kali gue dekat sama Anan.
Gue tarik tangan gue dari genggamannya.
"Lo tuh gila, tahu enggak?"
Anan angkat bahu. "Enggak, gue cuma tahu cara ngakuin kesalahan."
Gue mundur menjauh karena otak gue mulai ke pikiran sama hal-hal yang sudah gue lakukan di bar sama dia.
Please, Zielle. Jangan ke pikiran itu sekarang!
Gue pura-pura cek keadaan Asta, merapikan selimutnya biar kelihatan sibuk. Tiba-tiba, Anan muncul di sisi lain kasur. Gue lihat dia sambil mengeluarkan sepatu.
"Lo lagi ngapain sih?" Gue tanya, tapi dia diam saja, malah lanjut lepas sepatu terus mulai buka kancing kemejanya. "Anan!"
"Lo kira gue bakal pulang dalam keadaan kayak begini?" Dia pasang muka memelas, bikin napas gue hampir berhenti. "Lagian, enggak baik buat lo tidur sendirian sama cowok."
"Oh, jadi baiknya gue tidur sama dua cowok sekaligus, gitu?"
Anan mengabaikan omongan gue, terus melepas kemejanya.
Ya ampun, Pangeran, tolonglah!
Pipi gue langsung panas, merah kayak tomat. Ternyata dia ada tato lain di bagian bawah perut dan di sisi kiri dadanya. Tangan dia mulai ke arah kancing celananya.
"Stop! Jangan! Kalau lo lepas celana, lo tidur di lantai!"
Anan kasih gue senyum nakal. "Lo takut enggak bisa ngontrol diri?"
"Enggak sama sekali."
"Terus kenapa?"
"Pakai aja celananya."
Dia angkat tangan tanda menyerah. "Apa pun mau lo. Ayo, udah waktunya tidur, penyihir."
Gue berusaha keras biar mata gue enggak fokus ke badannya. Anan, tanpa kemeja, ada di kamar gue. Ini keterlaluan banget.
Dia rebahan di tengah kasur, menyisakan cukup tempat buat gue di pinggir. Untungnya kasur gue gede dan Asta sudah melipat diri di pojok. Kalau enggak, kita pasti enggak muat semua di sini.
Gue berbaring pelan-pelan di sebelah Anan, melihat dia yang lagi memperhatikan gue sambil menyengir. Gue tatap langit-langit sambil kaku, merasakan kehangatan tubuh Anan yang dekat banget ke lengan gue.
Rasanya gue bisa mati gara-gara ini. Gue ambil bantal dan taruh di antara kita buat kasih pembatas.
Anan ketawa. "Bantal? Serius?"
Gue tutup mata, pura-pura enggak dengar.
"Selamat malam, Anan."
Baru beberapa detik, tiba-tiba bantal di sebelah gue ditarik begitu saja, dan yang berikutnya gue rasakan adalah lengan Anan tarik gue ke arahnya sampai punggung gue menempel di dadanya.
Gue bisa merasakan dia dekat banget, semua dari dia, menempel ke gue. Anan malah makin pepet badan gue ke dia, napasnya dekat banget ke telinga gue.
"Selamat malam? Gue enggak yakin. Malam baru aja dimulai, penyihir. Dan lo masih punya utang sama gue."
Duh, ya, Tuhan, lindungi gue!