Emily seorang model yang sukses dan terkenal. Namun, kesuksesan itu tidak dia dapatkan dengan gampang dan berjalan mulus. Mimpi buruk terjadi disaat dia menjadi boneka *** pribadi milik presedir di agensi tempat dia bekerja. Mulut terbungkam saat dia ingin berteriak, namun ancaman demi ancaman terlihat jelas di depan matanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeppeudalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pikiran Yang Mengganggu
📍Mvvo Entertaiment
-Ruangan Presedir-
Di ruangan kerja yang penuh ketegangan itu, suara barang jatuh dan teriakan menggema. Mattheo mengamuk. Wajahnya memerah, matanya berkilat penuh kemarahan saat tangannya mengayunkan stik golf dengan tenaga penuh. Stik itu menghantam meja, lalu berganti mengarah ke tubuh Endrick, sekretarisnya, yang hanya bisa berdiri pasrah tanpa membela diri.
"Kenapa dia berani mengatakan hal seperti itu?!" bentak Mattheo, suaranya tajam dan menggelegar.
Endrick tidak menjawab. Tubuhnya gemetar, bibirnya terkatup rapat, menahan sakit sekaligus rasa takut. Dia tahu apa pun yang dikatakannya hanya akan menambah kemarahan atasannya.
"DIA MEMPERMAINKANKU, HUH?!" seru Mattheo lagi, mengayunkan stik golfnya ke udara. "SIALAN KAU TANO! AKU SUDAH BERUSAHA MENJAMU DENGAN BAIK UNTUKMU!”
Endrick tetap diam, menunduk dalam-dalam. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, sementara di seberang ruangan, tumpukan dokumen yang jatuh berserakan menjadi saksi bisu atas amarah Mattheo yang tak terkendali.
****
📍 Rai's House
Rumah luas itu terlihat sepi, dengan lampu krystal besar yang bergantung di tengah ruangan. Reymond membuka pintu utama dan melangkah masuk. Suara langkahnya di lantai marmer menggema pelan sebelum akhirnya disambut oleh Rein, istrinya, yang tersenyum lembut dari ruang tengah.
"Kamu pulang lebih awal hari ini," kata Rein sambil melipat selimut yang sebelumnya ia gunakan untuk bersantai di sofa. "Gimana kerjaan hari ini? Lancar?"
Reymond melepas jasnya dan meletakannya disofa. "Lumayan," jawabnya, singkat. “Ada rapat panjang, saya pikir akan kembali telat, tapi ternyata dugaan itu salah.” Ucap Reymond kembali menyerut lengan kemejanya.
Perlahan, Reymond berjalan ke arah ruang makan. Begitu pula dengan Rein.
Wanita muda itu, menuangkan air putih ke dalam gelas dan memberikan kepada suaminya, untuk meneguk air putih itu.
Rein pun, menyandarkan dirinya pada pinggiran meja, kedua tangannya memegang cangkir teh ketika pembantu baru saja masuk dan meletakkan di atas meja untuk Rein. “Baguslah kalau semuanya lancar," ujarnya dengan nada santai.
Reymond menatap sekeliling sejenak, ekspresinya berubah serius. "Papa sudah pulang?" tanyanya, suaranya pelan namun penuh rasa ingin tahu.
Rein menggeleng pelan. "Belum. Sepertinya dia masih bertemu dengan Mr. Tano. Mungkin lagi bahas soal kerjasama itu."
Reymond hanya mengangguk, tapi ada sesuatu yang ganjil di hatinya. Perasaan tak tenang mulai merayap, seperti angin dingin yang tiba-tiba menyelinap masuk. Dia termenung, tatapannya kosong seolah pikirannya melayang jauh entah ke mana.
"Rey?" panggil Rein sambil menyentuh lengannya.
Reymond tersentak, kembali ke dunia nyata. "Hah? Oh, nggak apa-apa," katanya, mencoba tersenyum untuk menyembunyikan kegelisahannya. Dia merapikan rambutnya dengan tangan dan menghela napas. "Saya mandi dulu, ya, sebelum makan malam."
Rein memandangnya dengan alis sedikit terangkat, seolah mencoba membaca sesuatu dari wajah suaminya. Tapi dia hanya mengangguk. "Oke. Aku siapkan makanannya untuk kita."
Reymond berjalan menuju kamar mandi, tetapi langkahnya terasa berat. Di dalam hati, kegelisahan itu terus mengintai, membuatnya tak bisa sepenuhnya tenang.
Tapi kenapa? Kenapa dengan dirinya.
****
📍 Gedung Gym & Pilates
Ruangan pilates itu tenang, hanya terdengar suara lembut instruktur yang memberi arahan dan deru nafas teratur para peserta. Di sudut ruangan, Emily mencoba fokus pada gerakannya, membiarkan tubuhnya mengikuti ritme pelatihan. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya di sana.
Reymond… Pikirannya berkelana, memutar ulang memori yang terus membayangi. Sudah dua hari, hampir tiga, sejak terakhir kali mereka bertemu. Malam itu, malam yang tak bisa dia lupakan. Tapi dia tahu, dia harus berhenti memikirkannya. Dengan tekad, Emily menarik napas panjang, mencoba mengusir bayangan pria itu.
Di sisi lain, tanpa Emily sadari, Reymond memang sengaja menjaga jarak. Pria itu merasa apa yang terjadi di antara mereka adalah sebuah kesalahan besar. Ia takut, terlalu dekat dengan Emily hanya akan menggoyahkan pendiriannya dan mengacaukan fokusnya.
Ketika sesi pilates berakhir, Emily bangkit dari matrasnya, menghapus keringat di dahinya dengan handuk kecil. Saat mengambil ponselnya, layar hitam itu memberi peringatan.
"Hhh… HP-ku lowbat lagi," keluhnya, setengah frustrasi.
“Kamu sudah mau pulang, Emily?” tanya instruktur, seorang wanita berambut pendek yang akrab dipanggil Yena eonnie.
“Ah! Yena eonnie, terima kasih banyak untuk pelajarannya hari ini. Aku harus pulang segera.” Emily tersenyum sopan sambil merapikan barang-barangnya.
“Kamu hati-hati di jalan, ya,” balas Yena dengan tulus.
“Eonnie juga,” jawab Emily sebelum melangkah keluar.
-Basement Parkir-
Suasana di basement parkir itu sepi, hanya terdengar suara langkah sepatu Emily yang menggema di antara mobil-mobil yang terparkir rapi. Udara dingin dari AC sentral membuat bulu kuduknya sedikit meremang, tapi dia tidak terlalu memikirkannya.
Saat mendekati mobilnya, pandangannya tertuju pada sebuah van hitam dengan mesin menyala yang terparkir tak jauh. Matanya mengerut curiga, tapi dia tetap berjalan, berpikir itu hanya mobil orang lain. Namun, langkahnya terhenti ketika seseorang tiba-tiba muncul dari belakang van itu.
“Eh, siapa—” serunya, tapi kata-katanya terpotong.
Pria itu, mengenakan topi dan masker, menarik Emily dengan kasar sebelum dia sempat bereaksi.
“Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan?!” jeritnya, panik dan berusaha melawan. Tapi pria itu lebih kuat, membungkam mulutnya dengan kain, dan menyeretnya masuk ke dalam van.
Pintu van tertutup dengan keras, dan kendaraan itu melaju cepat, meninggalkan gedung gym dan pilates yang kini seolah tak tahu apa yang baru saja terjadi di sana. Emily menghilang, dibawa pergi oleh sosok misterius itu.
****
-Dalam Mobil-
“LEPASKAN AKU!” teriak Emily.
Namun, tamparan melayang dipipinya. PLAKKK!!
“Diam kau sialan!” tegas pria itu.
Dia langsung mengikat kedua tangan Emily, dan membungkam mulut Emily dengan perekat.
Bahkan, kedua bola mata itu ditutup dengan kain yang terikat, memblokir kedua matanya.
Seketika itu pula, dunia menjadi gelap. Emily terus berusaha untuk melepaskan dirinya dari ikatan itu.
Air mata yang mengalir dengan tubuh yang gemetaran, membuatnya benar-benar ketakutan dengan debaran jantung yang begitu cepat.
“Tolong…” teriaknya di dalam hati yang tidak bisa berbuat apa-apa.
*** BAB LOCK ***
Khusus bab ini, bab tambahannya sudah
tersedia dikaryakarsa; Miralee. Yang berminat baca silahkan cek dikaryakarsa.
Beberapa bab penting akan selalu diupdate di karyakarsa; beberapa diantara seperti pov atau sudut pandang dari karakter utama. Ada pula bab yang lebih frontal dengan gambar-gambar yang tidak akan diupload disini.
****
📍 Rai’s House
-Ruangan Kerja Reymond-
Reymond duduk di kursinya, memandangi berkas-berkas yang berserakan di meja. Tapi pikirannya tidak tertuju pada pekerjaannya. Dia melirik jam di pergelangan tangannya. Jarum pendek mendekati angka 11 malam.
"Papa mertua belum juga pulang," gumamnya, nada suaranya penuh kekhawatiran.
Dia mencoba mengalihkan fokus dengan membaca dokumen, namun perasaan tidak tenang itu terus menghantui. Akhirnya, Reymond mengambil ponselnya dan mengetikkan nama kontak yang telah menjadi sorotan pikirannya sejak tadi.
Emily.
Jari-jarinya menekan tombol panggil. Suara nada sambung terdengar beberapa kali, tapi kemudian berganti pesan suara. Dia mengulangi panggilan itu, namun hasilnya tetap sama.
“Hhh… Hp-nya mati,” keluh Reymond sambil membanting pelan ponselnya ke meja. Rasa resah menjalar semakin kuat, menyesakkan dadanya.
Dengan gerakan tiba-tiba, dia bangkit dari kursi. Tatapan matanya gelisah, seperti orang yang kehilangan arah.
Saat menyetir, pikiran itu terlihat jelas memikirkan Emily. Raut wajahnya terlihat begitu gelisah.
Malam yang dingin menyelimuti kota saat Reymond keluar dari rumah. Angin lembut menerpa wajahnya, namun tidak mampu menenangkan pikirannya. Dia memutuskan untuk mencari Emily di tempat-tempat yang biasa dikunjungi perempuan itu.
Pertama, dia menuju bar di pinggir kota, tempat Emily sering menghabiskan waktu saat ingin melepas penat. Namun, setelah memeriksa setiap sudut, tidak ada tanda-tanda kehadirannya.
“Tidak di sini…” gumam Reymond sambil mengusap wajahnya dengan frustasi.
Dia kemudian melajukan mobilnya ke pantai, tempat lain yang sering menjadi pelarian Emily. Reymond memarkir mobilnya dan berjalan di sepanjang garis pantai yang gelap. Angin laut menerpa mantelnya, membawa aroma asin yang khas, namun tidak ada bayangan Emily di sana.
“Emily!” panggilnya beberapa kali, berharap perempuan itu muncul dari kegelapan. Namun, hanya deburan ombak yang menjadi jawaban.
Reymond berhenti, berdiri memandang laut yang gelap. Tangannya mengepal kuat di sisinya, tubuhnya kaku, seolah menahan sesuatu yang hampir meledak.
Pikiran yang mengganggu.
Dia menunduk, pandangannya tertuju pada pasir di kakinya. Ada perasaan yang sulit dia jelaskan, mencengkram erat di dadanya.
"Kenapa aku jadi seperti ini?" gumamnya, suaranya berat. Dia menggigit bibir bawahnya, mencoba menyangkal kebenaran yang perlahan menghantam. “Sial! Kenapa jadi resah gini.”
Dia tahu, perasaan itu muncul karena Emily. Wanita itu selalu muncul di pikirannya, tidak peduli seberapa keras dia mencoba untuk menyingkirkannya. Reymond menggenggam erat setir mobilnya saat kembali, rasa frustrasi dan cemas bercampur menjadi satu.
Tanpa Emily tahu, Reymond sudah mencarinya sepanjang malam. Namun dia tidak pernah tahu ke mana perempuan itu sebenarnya pergi.