Di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tebal sepanjang tahun, Ardan, seorang pemuda pendiam dan penyendiri, menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran misteri setelah menerima surat aneh yang berisi frasa, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya." Dengan rasa penasaran yang membakar, ia mulai menyelidiki masa lalunya, hanya untuk menemukan pintu menuju dunia paralel yang gelap—dunia di mana bayangan seseorang dapat berbicara, mengkhianati, bahkan mencintai.
Namun, dunia itu tidak ramah. Ardan harus menghadapi versi dirinya yang lebih kuat, lebih kejam, dan tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Dalam perjalanan ini, ia belajar bahwa cinta dan pengkhianatan sering kali berjalan beriringan, dan terkadang, untuk menemukan jati diri, ia harus kehilangan segalanya.
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARIRU EFFENDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Langit di atas hutan terlihat lebih gelap, meskipun hari sudah siang. Awan tebal bergulung di kejauhan, seakan menandakan hujan deras akan segera turun. Ardan berjalan perlahan keluar dari bangunan tua itu, napasnya masih berat. Tangannya memegang erat buku lusuh berwarna kelabu, yang tampak lebih seperti artefak kuno daripada sekadar buku biasa.
Ia memandang sampul buku itu. Simbol aneh yang terukir di sana, berbentuk lingkaran dengan garis yang terhubung, seolah menyimpan rahasia besar. Bahkan hanya menyentuhnya saja membuat tangan Ardan terasa dingin, seperti menyentuh es di musim dingin.
“Kenapa buku ini terasa lebih berat sekarang?” Ardan bergumam, mencoba mengusir rasa gugupnya. Ia melangkah keluar ke jalan setapak yang dilapisi dedaunan kering, mencoba menjernihkan pikirannya. Tapi setiap langkah membuat pertanyaan baru bermunculan.
Apa sebenarnya isi buku ini? Siapa yang meninggalkannya di sana? Dan kenapa ia merasa seperti ada sesuatu yang mengikuti sejak ia menyentuhnya?
Pikiran itu membuat langkahnya semakin ragu. Tapi ia tahu, berhenti sekarang bukan pilihan. Ardan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia harus segera membawa buku ini kembali ke desanya, ke seseorang yang mungkin tahu cara membacanya.
Di tengah perjalanan, Ardan mendengar suara gemerisik di semak-semak. Ia berhenti, memandang ke sekitar. Angin bertiup lembut, menggoyangkan dedaunan. Tapi suara itu berbeda, seperti sesuatu yang bergerak cepat di antara pepohonan.
“Siapa di sana?” tanyanya, mencoba terdengar berani meskipun hatinya berdebar kencang.
Tidak ada jawaban.
Ardan menghela napas. “Mungkin hanya hewan kecil.” Ia mencoba mengabaikan dan melanjutkan langkahnya. Tapi setelah beberapa meter, suara itu terdengar lagi—lebih dekat.
Ia berhenti mendadak, menoleh cepat ke belakang. Matanya menyapu pepohonan, tapi tidak ada yang aneh. “Oke, Ardan. Jangan paranoid. Ini hanya suara angin...” katanya kepada dirinya sendiri.
Namun, saat ia berbalik untuk melanjutkan perjalanan, langkahnya terhenti oleh sesuatu yang kecil dan berbulu. Seekor musang mungil berdiri di tengah jalan, menatapnya dengan mata hitam bulatnya yang lucu.
Ardan tersentak, hampir menjatuhkan bukunya. “Kamu... astaga, hanya musang kecil!” katanya, setengah lega dan setengah kesal. Ia jongkok, memperhatikan makhluk itu.
“Dengar, aku sedang sibuk, oke? Jangan main-main denganku sekarang.”
Musang itu tidak bergerak, hanya memiringkan kepalanya seperti sedang menghakimi Ardan. Lalu, dengan gerakan yang tiba-tiba, musang itu melompat ke arah Ardan, membuatnya terjengkang ke belakang.
“Hei! Apa-apaan ini?” Ardan mencoba bangkit, tapi musang itu dengan cekatan mencengkeram bukunya dengan gigi kecilnya.
“Oh, tidak, tidak, tidak! Lepas!” Ardan berusaha merebut kembali bukunya, tetapi musang itu berlari ke semak-semak. Ardan bangkit dan mengejarnya dengan panik.
“Dasar musang nakal! Itu bukan makananmu!”
Perburuan aneh itu berlanjut selama beberapa menit. Ardan melompati akar pohon, menyibak semak-semak, dan hampir terpeleset di lumpur, sebelum akhirnya melihat musang itu berhenti di bawah pohon besar. Makhluk kecil itu menjatuhkan buku tersebut, lalu menatap Ardan dengan ekspresi puas seolah berkata, “Hanya bercanda, sobat.”
Ardan terengah-engah, mengambil bukunya. “Kau serius? Kau melakukan ini hanya untuk bersenang-senang? Apa kau tidak punya hal lain untuk dilakukan?”
Musang itu hanya menjilat bulunya, lalu melesat pergi ke hutan tanpa suara.
“Luar biasa. Dikerjai oleh seekor musang,” gumam Ardan sambil membersihkan buku itu dari tanah. Ia memandang ke arah musang itu menghilang, kemudian kembali ke jalan setapak. “Setidaknya aku masih punya buku ini.”
Setelah beberapa menit berjalan, suasana hutan kembali sunyi. Terlalu sunyi. Bahkan suara angin yang menggoyangkan daun seolah menghilang.
Ardan berhenti lagi. Perasaan itu kembali datang—perasaan bahwa ia tidak sendirian. Ia memutar tubuhnya, menatap sekeliling. Tidak ada apa-apa, hanya pepohonan yang menjulang tinggi dan bayangan gelap di antara mereka.
Tapi kemudian, ia melihatnya. Di antara bayangan pepohonan, sepasang mata merah menyala menatapnya dari kejauhan. Ardan merasakan darahnya berhenti mengalir.
Ia mencoba melangkah mundur, tetapi suara anak kecil yang ia dengar sebelumnya kembali bergema di pikirannya:
"Kau tidak sendiri, tapi tidak semua yang mengikutimu adalah teman."
Mata merah itu tidak bergerak, hanya terus menatapnya. Lalu, sekejap kemudian, suara gemerisik terdengar, dan sosok itu menghilang.
Ardan tertegun di tempatnya, tidak berani bergerak. Ia merasa dingin, bukan karena udara, tetapi karena ketakutan yang kini menyelimutinya.
Langit semakin gelap. Ia tahu, apa pun yang ada di hutan itu, kini mengetahui keberadaannya.
Namun, ketika ia melangkah lagi, sesuatu jatuh dari atas pohon, tepat di depannya. Ardan melompat mundur dengan teriakan kecil, hanya untuk melihat bahwa itu... buah kering.
Ia menatap ke atas, berharap tidak ada makhluk menyeramkan di sana. Tapi yang ia lihat hanya seekor monyet kecil yang menatapnya dengan tatapan polos.
“Serius? Kamu juga ingin bermain denganku?” Ardan menggelengkan kepala, setengah kesal, setengah lega. Ia mengangkat buku itu lagi, menguatkan dirinya.
“Mungkin aku memang tidak sendiri,” gumamnya, melangkah pergi. “Tapi aku harus memastikan aku bisa keluar dari sini hidup-hidup dulu.”
---
Saat Ardan berjalan lebih jauh, ia tidak menyadari bahwa dari balik pohon tempat musang itu sebelumnya berlari, sesuatu yang lebih besar dan menyeramkan kini mengintainya. Bayangannya samar, tetapi matanya menyala merah seperti bara api. Makhluk itu tidak menyerang, hanya mengawasi—menunggu saat yang tepat.
Dan ketika Ardan akhirnya menghilang dari pandangan, suara kecil seperti tawa lembut bergema di antara pepohonan.
---