Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.
Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.
Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akan Selalu Ada
Karina tidak dapat tidur sejak pulang dari kegiatan kantornya. Rasa lelah menguap begitu saja ketika menemukan botol obat yang membuat dirinya terkejut dan tanda tanya di kepala semakin besar.
Karina tidak tahu bagaimana sekarang, Karina tidak tahu harus bersikap bagaimana pada Nino. Apa ia harus bertanya tentang obat itu? Bagaimana cara bertanyanya? Karina membuang napas berat. Karina kembali mengambil ponsel milik Nino, ia mengetikkan sesuatu di mesin pencarian. Karina membaca salah satu artikel tentang apa yang harus dilakukannya jika orang terdekat mempunyai masalah kesehatan mental, terlebih jika orang tersebut mempunyai trauma.
Karina terkejut saat melihat Nino bergerak, ia masih memakai ponsel pria itu, ponsel miliknya masih di charger. Ia membuang napas lega ketika Nino hanya mengubah posisi tidurnya. Setelah selesai membaca artikel itu, Karina segera menghapus semua riwayat dalam pencariannya. Nino tidak boleh tahu jika ia sudah memakai ponselnya untuk mencari tahu tentang obat dan sesuatu yang lainnya.
"Karin?"
Karina terkejut dan segera menyembunyikan ponsel Nino di balik punggungnya. "M-Mas?"
Nino menyesuaikan penglihatannya dan beranjak duduk. "Kamu pulang jam berapa?"
Karina gelagapan. "A-aku pulang jam delapan tadi."
Nino melirik jam yang sudah menunjukkan pukul dua belas malam. "Terus kenapa kamu belum tidur jam segini?"
Karina tersenyum canggung. "Badanku pegel-pegel, Mas. Aku jadi gak bisa tidur."
"Mau aku pijit—"
"Enggak usah, Mas." Karina memotong ucapan Nino sambil mengangkat kedua tangannya. "Mas Nino lanjut tidur aja, ya."
"Maaf ya, aku gak tahu kamu pulang. Aku gak enak badan tadi."
"Enggak apa-apa, kok. Mas tidur lagi, ya. Aku juga mau tidur, kok."
Nino tersenyum. "Oke."
Nino kembali berbaring, diikuti oleh Karina. Wanita itu memeluk Nino, dalam benaknya ia memikirkan tentang keadaan Nino sekarang. Dia pasti banyak melewati hari yang berat. Ia merasa bersalah karena sebagai istri, Karina tidak mengetahui sepenuhnya tentang Nino dan sering menuntut sesuatu yang berlebihan.
"Mas."
Nino bergumam. Istrinya berada dalam pelukan sekarang. Karina tidak sedang menatapnya, ia menenggelamkan wajahnya di dada pria itu.
"Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada buat kamu. Aku akan dampingi kamu dalam keadaan apa pun." Karina memeluk Nino semakin erat. Nino hanya hanya memandanginya dengan raut wajah bingung. Karina tidak pernah berbicara seperti ini sebelumnya. Namun, kata-kata itu membuatnya terharu dan merasa lega.
***
"Gimana perasaan kamu hari ini?" tanya Karina saat masuk ke kamar dan menemukan suaminya sedang memakai kemeja.
Nino menoleh sambil tersenyum. "Lebih baik dari hari kemarin."
Apa karena efek obat itu? Karina membatin. Suara hatinya seakan berteriak untuk mengatakan itu tidak hanya dalam benaknya saja. Namun, ternyata hal itu tidak bisa terucap.
Karina mengenyahkan semua pertanyaan tentang sesuatu yang ia temukan kemarin. Ia tidak ingin membuat mood suaminya memburuk. Sebisa mungkin, ia harus tetap membuatnya nyaman.
Karina menghampiri Nino, lalu merapikan dan mengancingkan kemeja yang dipakai oleh pria itu.
"Apa ada sesuatu yang aku lupa hari ini?" tanya Nino sambil menatap istrinya dengan tatapan hangat.
Karina mendongak. Ia berpikir sejenak, lalu menggeleng. "Enggak ada."
"Hari ini, kenapa kamu manis banget?"
Karina tidak pernah membantunya mengancingkan kemeja, karena ia juga sibuk dengan semua persiapan untuk berangkat kerja.
Karina terkekeh. "Maksud kamu?"
"Ya," Nino mengedikkan bahu. "Mengancingkan kemeja aku, tanya-tanya kabar dan kata-kata semalam?"
Karina bergumam untuk mencari jawaban yang tepat, ternyata Nino tidak menyadari jika semalam ia meletakkan obat itu di luar dan Karina yang menyimpannya di dalam laci nakas. Nino juga tidak bertanya tentang itu, padahal jika Nino bertanya, itu akan menjadi celah untuk pembahasan selanjutnya mengenai keadaan Nino.
"Aku pengen kamu selalu bahagia aja."
Nino tersenyum, lalu menarik Karina ke dalam dekapannya. "Aku selalu bahagia kok sama kamu, tapi sikap manis kamu barusan bikin aku tambah bahagia lagi. Harusnya … aku yang membuat kamu lebih bahagia lagi."
"Gak ada salahnya kok. Aku bahagia karena kamu dan kamu bahagia karena aku. Kita punya kewajiban masing-masing untuk saling membahagiakan."
Karina merenggangkan pelukan untuk menatap pria itu. Nino memandang Karina lekat-lekat. Karina selalu merasa terbius dengan tatapan pria itu. Ia bisa merasakan bagaimana perasaan cintanya melalui mata itu. Sangat dalam, lembut dan penuh cinta. Sampai-sampai ia takut membuatnya terluka, karena jika tergores sedikit saja, semua itu akan hilang.
"Mas, kamu mau kan berbagi apa yang kamu rasakan. Sedih, senang, marah, kecewa, atau apa pun itu sama aku?"
"Kenapa kamu tiba-tiba bicara begini?" Nino menatap Karina bingung.
"Karena kita hidup bersama bukan untuk setahun, dua tahun, Mas. Kita hidup bersama untuk selamanya. Sehidup semati. Aku berhak tahu apa yang kamu rasakan, karena aku istri kamu. Orang yang akan selalu ada buat kamu, aku harap seperti itu."
"Kamu membuat aku takut, Sayang." Nino tersenyum samar. "Aku justru takut kamu ninggalin aku sendirian."
Karina mengangkat tangan dan membelai sisi wajah pria itu. "Enggak akan, aku gakan ninggalin kamu sendiri."
Nino tersenyum. Lalu, kembali memeluk Karina. "Terima kasih karena kamu udah hadir di hidup aku."
Entah kenapa, semuanya terasa manis pagi ini. Nino berharap semua itu memang bukan hanya kata-kata saja.
***
Nino merasakan hal yang aneh pada diri Karina hari ini. Ia berbicara seolah-olah tahu apa yang dirasakannya akhir-akhir ini dan tentang masa lalunya.
Apa Karina mengetahui sesuatu? Nino menggeleng pelan. Ia belum berkata apa pun pada wanita itu. Mustahil jika Karina tahu. Namun, kata-kata Karina membuat Nino sedikit lebih percaya, jika Karina tidak akan seperti yang lain—yang meninggalkannya saat mengetahui ketidaknormalannya. Selama pemicu trauma terbesarnya tidak muncul, ia masih bisa mengendalikan diri. Meskipun kemarin ia hilang kontrol dan terpaksa meminum obat itu lagi.
Namun, Nino sadar, jika semuanya tidak bisa dikendalikan semudah dulu. Semakin hari, semuanya terasa sulit. Ia takut berdampak jika terus menerus dibiarkan, ia juga tidak ingin kembali ketergantungan obat-obatan seperti dulu.
Nino mengambil ponsel yang tergeletak di meja. Ia kembali menimbang-nimbang saat melihat kontak yang tertera di layar ponselnya. Ia ragu dan takut, ia ingin Karina tahu semuanya saat dirinya sudah sembuh, tetapi Nino takut saat-saat kritis itu akan kembali ketika dirinya sedang menjalani pemulihan. Itu akan memperburuk keadaan dan membuat Nino semakin sulit mengatakan yang sebenarnya.
Nino membuang napas pelan seraya memejamkan mata. Setelah itu, Nino membulatkan tekadnya, ia akhirnya menghubungi nomor itu.
Nino mengetuk-ngetuk jarinya di meja, menunggu orang di seberangnya menjawab telepon.
"Halo."
Nino menegakkan badannya saat mendengar suara wanita di seberang sana. Jantungnya mendadak berdebar. "Mbak Amira?"
"Iya? Ini siapa?"
"Ini Nino, Mbak."
"Nino?" Wanita di seberang sana tampak berpikir sejenak. Lalu, ia seperti terkejut karena kembali berhubungan dengan seseorang yang sudah lama hilang kontak. Suaranya berubah riang. "Nino, apa kabar kamu sekarang?"
"Aku … baik, Mbak." Nino ragu menjawab dirinya baik-baik saja.
"Mbak dengar, kamu udah nikah sekarang. Mbak seneng denger kabar itu." Suaranya terdengar lega.
"Iya, Mbak, tapi … apa kita bisa bertemu?"
"Boleh, bawa istrinya, ya. Kenalin sama Mbak." Wanita itu terkekeh.
"Mungkin lain kali aku bawa istriku, tapi ini bukan pertemuan biasa. Mbak masih praktek di rumah sakit yang dulu, kan?"
Hening sejenak.
"No, jangan bilang kalau ini tentang …."
"Iya, Mbak. Ini tentang traumaku. Bayangan tentang kejadian yang menimpa Clarissa saat itu kembali lagi."