Bintang, CEO muda dan sukses, mengajukan kontrak nikah, pada gadis yang dijodohkan padanya. Gadis yang masih berstatus mahasiswa dengan sifat penurut, lembut dan anggun, dimata kedua orang tuanya.
Namun, siapa sangka, kelinci penurut yang selalu menggunakan pakaian feminim, ternyata seorang pemberontak kecil, yang membuat Bintang pusing tujuh keliling.
Bagaimana Bintang menanganinya? Dengan pernikahan, yang ternyata jauh dari ekspektasi yang ia bayangan.
Penuh komedi dan keromantisan, ikuti kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10.
Pesta pernikahan seminggu lagi. Semua persiapan hampir rampung. Sebagian besar, undangan telah disebar. Lokasi pernikahan juga sudah ditentukan. Sera yang menjadi mempelai wanita, hanya menerima apa yang sudah dilakukan orang tuanya. Tidak seperti, calon pengantin lain, yang akan antusias untuk acara pernikahannya. Bahkan, mungkin terlibat langsung untuk mempersiapkan semua.
Selama seminggu juga, Sera lebih banyak diam. Namun pagi ini, ia kembali ke setelan awal.
"Kenapa, Kak? Aku ada kelas pagi ini." Sera mendadak harus menemui Bintang, di sebuah cafe dekat kampus.
"Aku mau kita satu suara," jawab Bintang ambigu.
"Suara, apa?" Sera mengerutkan alis, tidak mengerti.
Masih pagi, woi. Ngapain main teka-teki.
"Mengenai bulan madu. Aku mau kita berdua menolaknya. Dengan alasan, kamu masih kuliah dan kita berdua masih bisa melakukannya nanti. Bagaimana?"
"Aku setuju, Kak."
Lu nggak minta, gue juga bakal nolak.
"Hah, aku sia-sia datang kemari." Bintang terkekeh. "Ah, bukan. Sepertinya, aku yang bodoh. Hahaha..."
"Maksud Kakak, apa?" Sera menatap bingung.
"Yah, aku sudah tahu, kamu akan menjawab apa. Tapi, malah harus bersusah-payah bertemu kamu,"
Seperti biasa, Sera tersenyum bodoh. Meski, sudah disindir, tetap saja tersenyum. Dia adalah aktris, jangan lupakan itu.
"Aduuh, kamu sangat membosankan, Sera." Bintang kembali terkekeh, sembari menatap gadis didepannya.
Sera tidak menjawab. Ia tersenyum kaku, seolah canggung dengan situasi sekarang.
Ya, ya, tertawalah suamiku. Aku harap kau tersedak.
Seperti biasa, Bintang akan langsung pergi, setelah mengatakan tujuannya. Ia tidak akan berbasa-basi, apalagi permisi. Sera juga sudah terbiasa. Lagi pula, itu lebih baik. Melihat Bintang, selalu menyindir dan menertawakannya, bisa-bisa ia kehilangan kendali.
"Non, make up-nya sudah dihapus," ujar Wita.
Sera langsung menyambar pakaian, yang ada didalam kantong plastik.
Di tepi jalan yang sepi, pak Herman berhenti. Ia menengok kiri kanan, memperhatikan situasi. Setelah, cukup aman, ia memberikan sinyal pada Sera.
"Ya, sudah. Gue turun, jemputnya didepan Minimarket."
"Iya, Non."
Sera berjalan, sembari menendang apa saja, yang ia temukan di jalanan. Mulai dari batu kerikil, botol plastik, hingga kaleng minuman. Ia juga tidak melupakan ritualnya, memaki calon suami dari jarak jauh.
"Sial,"
"Gue sumpahin, lu sariawan."
Tiba diruangan, Sera langsung duduk tanpa menyapa penghuni didalamnya. Biasanya, ia selalu heboh.
"Kenapa, Ser?" tanya Renata.
Sera mengela napas, lebih dulu. "Hah, gue bosan."
"Jalan, yuk."
"Ke mana?"
"Bagaimana kalo ke cafe yang baru buka, depan Mall R?"
"Gue lagi malas."
"Kalau malam minggu? Kebetulan orang tua gue, nggak dirumah. Mereka mau menghadiri acara pesta pernikahan."
"Siapa yang nikah?" tanya Sera, lalu kemudian tersadar dengan pertanyaannya sendiri. Sejak kapan, ia jadi kepo dengan pernikahan orang lain.
"Penting?" Renata kembali bertanya.
"Yah, nggaklah. Gue lagi bosan aja. Jadinya, pengen tahu, deh."
"Lu tahu, nggak. Yang nikah tuh, anak konglomerat orang tuanya pemilik real estate. Dia tuh, putri satu-satunya." Renata tiba-tiba bersemangat, kalo soal gosip. "Namanya, siapa yah. Seri, Serli, Septi. Tau, ah, lupa gue."
Jantung Sera tiba-tiba berdegup kencang. Ia mendadak dehidrasi.
Buset, nikahan gue!
"Hoh," ujar Sera, yang ingin mengakhiri topik pembicaraan.
"Jadi nggak, malam minggu?" Renata kembali teringat akan rencananya.
"Ajak deh, anak-anak lain, biar seru."
"Oke. Jangan telat ya, Ser."
"Iya, iya."
Sorry, Ren. Gue harus menyelamatkan diri dulu.
Kelas sudah bubar. Sera tidak langsung pulang. Ia mengikuti kegiatan organisasi dikampus. Didepan sana, Rio sedang berkoar-koar, entah apa. Anggota lain juga berseru, bahkan ada yang memukul meja. Ada juga, yang berteriak mengacungkan telunjuk.
Sera menatap lurus kedepan. Ia membisu dengan pikiran berkelana entah ke mana. Biasanya, suasana seperti ini, ia akan menjadi orang yang paling rusuh.
"Ser, lu kenapa sih?" bisik Renata, "udah seminggu ini, lu diem aja."
Sera menoleh. "Gue, lapar."
"Bohong. Nggak mungkin, lu lapar selama seminggu."
"Beneran, gue lapar."
"Ya, udah. Ntar, gue traktir bakso."
Keduanya kembali diam dan memperhatikan Rio didepan.
"Ser. Lu dan gue jadi orator," ujar Rio tiba-tiba.
"Hah!"
"Lu, jadi orator," ulang Rio
"Oh, oke."
Sera menggangguk paham, padahal sejak tadi ia tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Ia hanya duduk menopang dagu, sembari memikirkan masalah yang berputar-putar seperti gasing, dikepala.
"Oke, minggu depan. Kita bertemu lagi, buat bahas persiapan."
"Oke," jawab mereka serentak.
Satu persatu, ruangan perlahan kosong. Sementara, Sera masih duduk termenung.
"Ser, lu nggak pulang?" Renata menyenggol bahu Sera.
"Hah! Oh, iya."
"Sebenarnya, lu kenapa sih?"
"Gue lapar banget, Ren."
"Ya udah, makanya cepetan."
Didepan universitas, banyak deretan warung makan. Tinggal memilih sesuai selera. Selain warung makan, ada juga banyak toko perlengkapan kuliah.
Sera dan Renata, duduk berhadapan dengan semangkok bakso di atas meja. Renata sibuk meracik kuah baksonya, sedangkan Sera hanya mengaduknya.
"Tumben, lu makan polos gitu."
"Ren. Menurut lu, kalo gue nikah, bgm?"
Uhuk, uhuk, uhuk
Renata langsung tersedak, padahal baru juga mencicipi kuah baksonya.
"Elu, Nikah? Hahahaha.... " Renata terpingkal, hingga air matanya menetes. "Astaga Ser, lu punya pacar, aja kagak,"
"Gue cuman nanya."
"Ntar. Jangan-jangan, lu punya pacar diam-diam, ya?"
"Nggak."
"Terus, ngapain lu nanya mendadak kayak gitu?"
"Gue bosan aja."
"Ser. Elu, makin hari, makin aneh deh. Lu punya masalah?"
"Kagak, sumpah."
Dalam perjalanan pulang, Sera mengeluarkan buku dari dalam tasnya. Ia menulis sesuatu yang cukup panjang. Sesekali, ia menatap keluar jendela. Lalu, kembali mencoret diatas kertas.
"Non, kita hampir tiba," ujar Wita mengingatkan.
"Tau."
Di halaman rumah, ada sebuah mobil asing yang terparkir. Sera tidak peduli, ia berlari kecil masuk rumah.
"Ma," panggil Sera.
Karena tidak ada jawaban, ia memilih masuk kamar. Baru saja, ia membuka pintu. Sera sudah berteriak.
"Lu, ngapain dikamar gue?" bentak Sera. Namun, seketika ia sadar dan langsung mengumpat dalam hati.
Sial!
"Oooo, ternyata Nyonya Allandra, punya sisi lain." Bintang selangkah demi selangkah mendekat.
"Maaf, Kak. Aku hanya terkejut," kilah Sera, yang kini jantungnya sudah mau copot.
"Benarkah?" Bintang kembali memangkas jarak.
"Iya," jawab Sera, dengan tegas. Ia menatap Bintang, tanpa merasa gugup. Padahal, jarak mereka sudah sangat dekat.
Bintang mundur perlahan dan kembali duduk di tepi ranjang. Sementara Sera, melepaskan sepatu dan menaruh tas diatas meja.
"Kau pulang telat sekali."
"Iya, Kak. Aku ada kegiatan sore." Sera mengambil posisi duduk disofa. "Maaf, Kak. Kak Bintang ada apa datang kemari?"
"Tidak ada. Aku hanya bosan."
Sera tidak memberikan ekspresi atas jawaban Bintang, yang sebenarnya bikin naik darah. Ia sepertinya sudah mulai terbiasa, dengan pangeran mahluk halus ini.
🍓🍓🍓
ceritanya bagus, jadi ga sabar nunggu up