Seorang arsitek muda bersedia mengikuti rencana iseng temannya dalam sebuah perjodohan atas dasar peduli teman. Namun siapa sangka, rencana tersebut malah menyebabkan konflik serta membongkar kasus yang melibatkan beberapa oknum pengusaha dan aparat. Bahkan berujung pada terancamnya kerajaan bisnis dari sebuah keluarga keturunan bangsawan di Perancis.
Bagaimana akhir dari rencana mereka? Simak kisah seru mereka di novel ini. (un) Perfect Plan. Semoga terhibur...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 29
"Sudah lama?", tanya Mita pada seseorang di taman itu yang sedang duduk memainkan ponselnya.
Orang itu adalah Rizal, yang hanya melihat sekilas pada Mita kemudian kembali melihat layar ponselnya.
"Kau hitung saja waktunya sejak aku menelponmu, kira-kira menurutmu lama atau tidak?!", sahutnya ketus.
"Lagipula apa kau harus berdandan seperti itu hanya untuk pergi beberapa ratus meter dari rumahmu?", sambung Rizal.
Mita terperangah mendengar ucapan Rizal. Mulut pedasnya memang tak perlu diragukan lagi.
"Aku.. setelah ini mau ke butik, ada barang yang harus kuperiksa. Bagaimana mungkin aku ke sana hanya dengan pakaian seadanya? Bisa-bisa pelangganku kabur melihat penampilanku", sahutnya beralasan, bohong, karena sebenarnya dia tak ada rencana ke butiknya sama sekali.
"Duduklah, aku perlu menyampaikan sesuatu", Rizal kemudian berdiri dari bangku.
Setelah itu Mita duduk di situ sedangkan Rizal tetap berdiri di samping bangku tersebut.
"Dengar, aku hanya seorang anggota polisi berpangkat rendah. Bukan dari keluarga berada karena ayahku juga hanya seorang pensiunan polisi. Seperti yang kau lihat, bahkan mobil pun aku belum punya. Aku hanya punya tabungan secukupnya yang memang aku persiapkan untuk modal berumah tangga, tapi bukan dengan seorang putri konglomerat. Gaya hidupku jauh dari kata mewah, dan aku memang tak cocok dengan gaya hidup seperti itu. Aku hanya menginginkan kehidupan rumah tangga yang rukun, dekat dengan Tuhan, dan menjadi tempatku menemukan kedamaian di saat sedih dan susah. Setelah mengetahui semua itu, apabila kau tidak keberatan, aku akan segera menemui Papamu untuk melamarmu", ucap Rizal tanpa melihat Mita sama sekali.
Rizal tak tahu saja kalau lawan bicaranya seperti mendapat serangan jantung. Mita tak bisa berkata apa-apa, karena bernafas pun rasanya sudah sulit.
"Aku tunggu jawabanmu secepatnya, assalamualaikum", ucapnya seraya menuju motornya yang kemudian melaju dan menghilang dengan cepat.
Mita masih tak bisa bergerak dari tempatnya. Melihat hal itu, Alin segera turun dari mobil menghampirinya. Khawatir kalau terjadi hal buruk pada Mita.
"Alin.. tolong aku, aku tidak bisa berdiri...", ucapnya lirih.
*********
Sikap Mita semakin aneh setelah pulang dari taman. Dia hanya bergumul bolak-balik dalam selimutnya sambil bergumam tak jelas. Alin merasa sangat sedih melihatnya. Apakah majikannya sudah mengalami gangguan kejiwaan?
"Alin.. apa aku terlihat seperti orang gila?", tanya Mita dengan rambut acak-acakan akibat kelakuannya barusan.
Alin mengangguk lemah.
"Aah.. aku memang sudah gila. Dia juga sudah gila. Bagaimana mungkin ia sampai mengucapkan itu padaku. Apa dia tidak tahu kalau itu bisa membuat jantungku meledak?", ucapnya.
Alin tak paham ucapan Mita.
"Permisi nona, saya keluar sebentar", Alin kemudian keluar dari kamar itu untuk menelpon dokter keluarga Ibrahim Hasan.
Sementara itu Mita kembali masuk dalam selimutnya lalu menyalakan ponselnya.
"Baiklah aku bersedia, demi Papaku. Aku hanya ingin membahagiakannya sebagai balasan atas jasanya merawatku selama ini"
Dikirimnya pesan gengsi tapi mau itu pada Rizal sambil memejamkan matanya. Terkirim. Kemudian dia lempar ponsel itu jauh ke ujung tempat tidurnya.
Beberapa saat kemudian Alin kembali masuk ke kamar Mita dengan tergesa.
"Nona, apa anda sedang jatuh cinta?", tanyanya dengan wajah panik.
Di sisi seberang, Rizal yang masih berada di kantor mendengar suara pesan masuk di ponselnya. Setelah dia membaca isinya, tubuhnya seolah membeku. Benarkah Mita bersedia?
Dibacanya isi pesan itu berulang-ulang, memang seperti itulah yang dikatakan Mita. Mengapa sekarang ia malah merasa panik?
Rizal mengusap wajahnya. Cukup lama ia terdiam memikirkan apakah yang telah dia lakukan adalah benar? Kemudian diraihnya kembali ponsel di mejanya untuk mengetik sebuah pesan.
"Baiklah. Tolong sampaikan pada Pak Ibrahim. Besok malam aku akan ke sana"
Kemudian dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ya! Dia sudah memutuskan dan akan menanggung konsekuensinya. Menikahi seorang anak konglomerat pasti akan sangat berat bagi orang sepertinya. Kesenjangan sosial dan ekonomi kadang bisa memicu masalah yang awalnya mungkin kecil tapi bisa menjadi momok dalam rumah tangga.
Tapi niatnya sekarang adalah untuk melindungi dan menjauhkan seorang wanita dari keinginan busuk seorang pria yang ingin memanfaatkannya untuk ambisi pribadi.
Dia kembali menyalakan ponselnya kemudian menghubungi seseorang.
"Halo, assalamualaikum. Mak.. apa kabar?!"
**********
Suasana di villa milik Andre mulai terlihat ramai. Berbagai ornamen, tanaman hias dan lampu-lampu indah menambah kesan dramatis halaman belakang yang kini disulap jadi tempat pesta pertemuan antara keluarga besar de Bourbon dan Vermont.
Meja-meja sudah ditata dengan berbagai alat makan mewah. Tak lupa botol-botol anggur dan gelas yang berjejer rapi, sajian wajib pada setiap pesta warga Perancis.
Intan dan Tiara hanya duduk di bangku taman dengan pandangan lesu menyaksikan hiruk pikuk persiapan final dari acara pesta tersebut.
"Mbak.. aku pengen pulang... Aku gak mau di sini..", ucap Tiara, akhirnya tak kuasa lagi membendung air matanya.
"Sabar ya dik, Insya Allah kita akan segera pulang dan semua akan kembali seperti semula", sahut Intan iba.
"Ya.. Mungkin tidak akan sama persis seperti sebelumnya. Nanti kita tidak akan tinggal bersama lagi. Kau akan tinggal bersama Arya, suamimu. Melayaninya dengan baik, melahirkan keponakan-keponakan lucu untukku, dan hidup bahagia bersama keluargamu sampai akhir hidupmu", tambah Intan seraya tersenyum.
Mendengar kata-kata Intan, Tiara jadi tersipu malu. Intan senang, karena bisa sedikit menghibur adiknya.
"Baik Mbak, aku akan bersabar. Semoga Allah menolong kita", sahut Tiara lebih optimis.
"Assalamualaikum", mereka dikagetkan oleh suara seseorang.
"Fatima? Kau.. ada di sini?", tanya Intan bingung sekaligus senang.
"Iya nona. Tuan Andre akan memindahku untuk bekerja ke perusahaan di sini. Tapi untuk sementara, aku ditugaskan dulu untuk mendampingi kalian selama di Perancis", sahutnya dengan wajah ceria.
"Benarkah? Sekarang kau tidak lagi bertugas sebagai kurir berkas?", canda Intan.
Fatima tertawa mendengarnya kemudian mengangguk mantap.
"Wah, kau sudah berdandan rapi. Sungguh cantik", puji Intan melihat tampilan sederhana Fatima, dengan riasan tipis namun membuatnya tampil elegan.
"Menurut anda begitu? Aku melakukannya sendiri. Apa anda ingin kurias?", tawarnya serius.
"Bolehkah? Kalau begitu, tunggu apa lagi?", kata Intan senang, langsung mengajak Fatima dan Tiara ke dalam villa.
Saat berjalan menuju kamar tidur, mereka berpapasan dengan Andre.
"Mau kemana kalian?!", tanya Andre melihat ketiga wanita itu berjalan bersama dengan wajah cerah.
"Ah, Andre! Terima kasih karena sudah mengirimkan make up artist untuk kami. Kau memang abang yang hebat!", sahut Intan yang disambut tawa oleh kedua wanita di sampingnya.
Andre hanya mengerutkan dahi, kemudian menggelengkan kepalanya.
"Setelah acara ini selesai, aku ingin mengajak kalian ke suatu tempat. Kalau ada yang bertanya, katakan kalau kalian lapar dan aku mengajak kalian ke restoran halal", ucap Andre.
"Semua makanan di sini non halal, jadi kalian punya alasan untuk itu", ujarnya lagi.
"Baiklah, nanti beritahu aku kapan kita berangkat", sahut Intan.
"Tentu. Dan... Fatima. Kau juga ikut", ucap Andre kemudian berlalu dari situ.
"Asyik.. kita bertiga mau ditraktir makan", seru Intan senang.
Intan baru selesai dirias saat seorang pelayan menemui mereka untuk menyampaikan kalau ayah mereka memanggil.
"Silahkan nona keluar duluan, nanti aku menyusul", ucap Fatima seraya membereskan alat make up nya.
"Fatima, panggil saja kami Intan dan Tiara. Kau saudara kami juga", pinta Intan.
Fatima tersenyum mengangguk.
"Terima kasih", ujarnya senang.
Sepeninggal Intan dan Tiara, wajah Fatima berubah sendu.
"Ya Allah, aku pasrahkan semua padamu. Bantulah diriku, ridhoi ikhtiarku, berikanlah aku balasan pahala, dan masukkan lah aku dalam golongan orang-orang yang bersabar. Aamiin", ucapnya lirih sambil bercermin.
Setelah selesai berkemas, dia menuju ke luar kamar. Di dekat pintu belakang menuju tempat pesta, ia berpapasan dengan keluarga Vermont. Matanya tak sengaja bertemu tatap dengan Louis Vermont. Buru-buru ia alihkan, kemudian menuju dimana Intan dan Tiara tengah duduk.
Tak seperti Fatima yang langsung berpaling, Louis masih menatap Fatima sampai wanita itu duduk di samping Intan. Tiba-tiba bahunya ditepuk oleh seseorang, seraya berbisik di telinganya.
"Ya, itu calon isterimu", ucap seseorang itu kemudian langsung berlalu dari sana.
Louis tersentak kaget. Namun segera memasang senyum di wajahnya karena Phillippe sedang menghampiri untuk menyapanya.
Acara pesta tersebut cukup meriah. Setiap orang di sana menikmati hidangan yang tersedia dengan perasaan puas kecuali beberapa orang yang terlihat tak menyentuh sajian itu sedikit pun.
"Kenapa kau memesan makanan yang semuanya non halal Andre? Apa kau lupa pada adik-adikmu?", ucap Phillippe kesal dengan setengah berbisik.
"Maaf Pére, aku terlalu sibuk jadi aku hanya menyuruh sekretarisku. Dan aku lupa memberitahunya tentang itu", jawab Andre dengan wajah menyesal.
"Tapi mereka masih bisa makan buah dan air mineralnya. Paling tidak mereka tidak akan kelaparan", ujarnya lagi.
Phillippe hanya mendengus kesal.
Sampai pada saat dimana rencana pernikahan Louis dan Tiara diumumkan. Phillippe meminta Tiara mendekat pada Louis. Tapi Tiara menolak, dengan alasan itu bukan suatu yang pantas dalam agamanya.
Phillippe menyerah, ia tak ingin terlalu memaksa Tiara. Yang penting putrinya menyetujui rencana pernikahan ini.
Beberapa lama kemudian Andre menghubungi Intan untuk mengajaknya keluar. Setelah membaca pesan itu, Intan berbisik pada Phillippe. Awalnya wajah Phillippe terlihat ragu, tapi kemudian dia mengangguk.
Setelah memohon ijin untuk pergi, ketiga wanita itu kemudian berjalan beriringan menuju ke halaman villa. Di sana sudah menunggu Andre yang sedang duduk di dalam mobil.
"Kita berangkat sekarang", ucapnya setelah ketiga wanita itu sudah berada di dalam mobil.
Mobil itu kemudian melaju cepat menuju sebuah cafe kecil. Pemiliknya adalah seorang warga Perancis keturunan Aljazair. Suasana cafe itu sangat sepi. Sepertinya tak ada pengunjung sama sekali.
Setelah mereka masuk ke dalam, Intan dan Tiara terkejut melihat Louis juga ada di sana.
Bagus...