Karena jebakan dari sahabatnya membuat Naya dituduh telah tidur dengan Arsen, seorang bad boy dan ketua geng motor. Karena hal itu Naya yang merupakan anak dari walikota harus mendapat hukuman, begitu juga dengan Arsen yang merupakan anak konglomerat.
Kedua orang tua mereka memutuskan untuk menikahkan mereka dan diusir dari rumah. Akhirnya mereka hidup berdua di sebuah rumah sederhana. Mereka yang masih SMA kelas dua belas semester dua harus bisa bertahan hidup dengan usaha mereka sendiri.
Mereka yang sangat berbeda karakter, Naya seorang murid teladan dan pintar harus hidup bersama dengan Arsen seorang bad boy. Setiap hari mereka selalu bertengkar. Mereka juga mati-matian menyembunyikan status mereka dari semua orang.
Apakah akhirnya mereka bisa jatuh cinta dan Naya bisa mengubah hidup Arsen menjadi pribadi yang baik atau justru hidup mereka akan hancur karena kerasnya kehidupan rumah tangga di usia dini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12
"Lo kuat kan bawa motor?" tanya Naya sepulang sekolah hari itu karena wajah Arsen semakin terlihat pucat dan badannya juga semakin terasa panas.
"Kuat. Udah cepat naik. Gak usah bawel!"
Naya memakai helmnya lalu naik ke boncengan Arsen. Setelah itu Arsen langsung melajukan motornya. Kepala Arsen memang terasa sangat pusing. Rasanya dia ingin segera tidur setelah sampai di rumah.
Beberapa saat kemudian, mereka sampai di rumah. Naya turun dari motor dan melepas helmnya. Dia kini membuka pintu itu. Setelah pintu terbuka, buru-buru Arsen masuk ke dalam rumah. Dia melepas helmnya dan merebahkan dirinya di atas sofa.
"Buka sepatu dulu. Kalau mau tidur di kamar aja." kata Naya sambil melepas sepatunya lalu meletakkan di rak sepatu.
"Hem." Hanya itu jawaban Arsen. Dia kini sudah memejamkan matanya meski tidak tidur.
Naya segera menuju kamar dan berganti pakaian setelah itu dia keluar untuk membeli makanan. Sampai dia kembali Arsen masih saja tidur di atas sofa. Melihat hal itu Naya menjadi khawatir. Dia mendekat dan melepas sepatu Arsen lalu dia menyentuh tengkuk leher Arsen yang semakin terasa panas.
"Arsen, gue beli bubur buat lo. Lo makan dulu terus minum obat."
Arsen duduk dengan lemas. Dia masih saja memegang pinggangnya yang terasa sakit. "Nay, pijitin gue. Badan gue beneran sakit ini. Lemah banget gue hari ini."
Naya menghela napas panjang. "Iya, iya, habis makan. Mulai sekarang lo tidur aja di kamar gak usah tidur di sofa lagi. Gayanya aja sok preman padahal anak manja. Baru juga empat hari tinggal di sini udah KO." kata Naya sambil menyiapkan bubur untuk Arsen. Untunglah di warung dekat tempat tinggal mereka menjual lengkap aneka masakan dan juga bubur.
"Tuh bibir bawel banget, mau dicium lagi." goda Arsen. Saat kondisi sakit saja Arsen masih menggoda Naya.
"Iuh, jijik. Udah lo cepat makan. Terus minum obat lagi."
Arsen akhirnya mulai memakan bubur ayam itu. "Lain kali beli kuahnya aja. Gue gak terlalu suka bubur."
"Ya takutnya ada gangguan di pencernaan lo juga. Biasanya orang sakit harus makan yang lembut. Kalau gak mau tukar punya gue aja nih."
"Nggak usah. Gak papa gue makan." Arsen akhirnya menghabiskan bubur itu karena kebetulan porsinya juga tidak terlalu banyak. Setelah itu dia meminum obat.
"Nay, janji lo." kata Arsen sambil berdiri.
"Iya bentar, gue beresin dulu ini." Naya kembali mendumel. Mengapa dia seolah mendalami peran sebagai seorang istri yang sering cerewet seperti ini.
Setelah membuang sampah dan mencuci piring, Naya masuk ke dalam kamar. Dia melihat Arsen yang sudah tengkurap dengan memakai celana pendeknya saja. "Arsen, pakai baju lo."
"Nay, biar pijitan lo terasa. Hawanya juga panas banget, ditambah badan gue juga panas. Kalau pakai baju rapat nanti gue kejang."
"Dih, emang lo masih bayi." Naya kini mengambil minyak anginnya yang kebetulan selalu dia bawa kemana-mana. Ya, siapa tahu saja Arsen masuk angin karena sering keluyuran malam. Kemudian dia mengoles punggung Arsen sebelum memijatnya.
"Nay, naik sini." Arsen menggerakkan pan tat nya pertanda Naya disuruh duduk di atasnya.
"Ih, gak mau."
"Biar tenaga lo bisa maksimal."
Naya berdengus kesal, akhirnya dia naik ke atas Arsen dan mulai memijat pinggang Arsen lalu pijatan itu semakin naik ke atas. Sebenarnya dia juga tidak tahu caranya memijat yang baik dan benar. Dia hanya memijat asal, urusan salah urat pikir belakangan.
"Enak Nay, ahh, ahhh..."
Mendengar suara itu seketika Naya menjitak kepala Arsen. "Jangan bilang gitu, jijik."
"Emang enak Nay. Coba aja gue terlentang, duh, makin enak."
"Udah ah, gak mau mijitin kalau pikirannya kemana-mana." Naya menekan kasar punggung Arsen lalu turun dari tubuhnya.
"Gue cuma bercanda. Iya, iya gue diam."
Akhirnya Naya kembali naik ke atas tubuh Arsen dan memijatnya lagi. "Awas kalau pikirannya kemana-mana."
"Iya, iya. Lo juga pikirannya sekarang pasti lagi travelling."
"Ih, nggak!" Meskipun terus mendumel Naya tetap melanjutkan pijatannya. Beberapa saat kemudian sudah tidak ada suara dari Arsen. Napasnya juga terdengar teratur.
Naya membungkuk dan melihat wajah Arsen yang sekarang sudah terlelap. "Udah tidur." Kemudian Naya menyudahi pijitannya lalu dia menyelimuti Arsen. Dia kini duduk di tepi ranjang dan mengirim pesan pada Rani agar menemaninya mencari kerja sampingan.
Setelah mendapat jawaban dari Rani, dia memakai celana panjangnya lalu memakai cardigannya. Tak lupa membawa dompet dan juga ponselnya yang dia masukkan ke dalam tas selempangnya.
Setelah menulis sebuah pesan untuk Arsen, dia keluar dari rumah tak lupa mengunci pintu.
...***...
"Capek Nay, lo mau nyari kemana lagi?" kata Rani sambil duduk di pinggir jalan.
Naya sebenarnya juga merasa capek. Dia sudah bertanya di beberapa kafe dan restoran tapi tidak ada yang membuka lowongan part time. Dia kini duduk di samping Rani sambil menghela napas panjang. Hari juga sudah gelap. "Gue butuh pekerjaan banget, Ran. Sebenarnya gue diusir sama Papa dan sekarang gue kos sendiri."
Rani kini menatap Naya dengan serius. "Jadi bukan hanya uang saku aja yang gak dikasih tapi lo sekarang juga harus hidup sendiri. Gue gak bisa bayangin jadi lo. Ini semua gara-gara Tika!"
"Sebenarnya ini juga salah gue. Gue yang mau gitu aja diajak Tika ke klub."
"Gak ada pilihan lagi, mending lo sekarang kerja di tempat Rangga."
"Tapi..."
"Gak usah tapi-tapian. Yuk, keburu malam." Rani menarik tangan Naya agar segera mengikutinya.
Mereka kini berhenti di depan sebuah rumah makan yang ramai. Naya ragu untuk masuk ke dalam. "Nunggu agak sepi dikit aja, baru gue cari Rangga."
"Daripada nunggu di depan gini. Kita makan aja di dalam. Gue beliin. Murah kok makanan di tempat ini makanya ramai." Lagi, Rani menarik tangan Naya. Mereka kini duduk di dalam rumah makan itu dan memesan makanan.
Sangat kebetulan sekali waitress yang melayani mereka adalah Rangga.
"Rangga, kebetulan sekali. Kemarin kan gue tanya ke lo soal kerja part time itu. Ini Naya yang lagi butuh pekerjaan itu."
Rangga menatap Naya yang sedang menundukkan pandangannya itu. "Ya udah gue tanyakan dulu sama bos. Kebetulan bos ada di sini. Kalian mau pesan apa?"
Rani menyebutkan menu pilihannya. Sedangkan Naya hanya diam saja. Rasanya dia masih canggung dengan Rangga.
"Tunggu sebentar ya..." Kemudian Rangga masuk ke dalam dan menuju dapur untuk menyerahkan pesanan.
"Ran, gue masih canggung banget sama Rangga."
"Nay, meskipun Rangga itu mantan lo, kan gak papa berteman sama dia. Lagian kalian putus juga bukan karena masalah selingkuh atau apa. Jadi biasa aja, anggap aja dia teman lo."
Naya menghela napas lagi. Memang tidak ada pilihan lain. Dia tidak bisa menggantungkan harapannya pada Arsen sepenuhnya.
Btw salut buat Arsen krn dah berani jujur.
Wah....