Sehat itu mahal harganya! Dan itu memang benar, keluarga Giovani Mahardika rela membayar seorang gadis untuk menikah dengan putra bungsu mereka demi menyembuhkan gangguan mentalnya.
Dialah Alleta Rindiani, setelah melewati beberapa pertimbangan dan penilaian akhirnya gadis inilah yang dipilih oleh keluarga Gio.
Di tengah usaha keras Alleta, secercah harapan akhirnya muncul, namun Gio nyatanya jatuh cinta pada Alleta.
Akankah Alleta membalas cinta Gio di akhir masa perjanjian? Terlebih sesuatu telah tumbuh di dalam sana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bungee~ Bab 16
Ia mendekap baju-baju kotor bersama kaos kaki, dan sepatu kotor miliknya dan Gio.
"Eh, mau dibawa kemana itu?!" seru Gio menuduh, saat dari pandangannya Leta memboyong semua barang miliknya dari kamar, tumpukan baju kotor yang ada di dapur.
"Kenapa? Mau ku buang?!" setelah dirasa cukup beristirahat, ia tak mau membuang sisa waktunya di hari terakhir aktivitas sekolah. Jika umumnya weekend harinya mencuci, Leta selalu melakukannya di awal.
"Wah sembarangan!" Hari ini ia tidak part time di Marcopolo, namun nanti malam bagiannya menjadi bartender di salah satu club malam, "mau kupake itu sepatunya nanti malam!" Gio, mau tak mau kembali angkat pan tat dari sofa selesai makan siang.
"Hah!" Leta berkacak pinggang setelah menaruh terlebih dahulu baju-baju dan sepatu kotor yang ia angkut ke dalam satu wadah keranjang, "mau kemana lagi tuh?! Ngapelin pacar?! Masih belum malam minggu, mas! Kamu tuh bukan kelelawar yang kerjanya beredar malem-malem...aku ngga ijinin!" kembali ia mengangkut barang-barang itu hendak mencucinya di rumah, itung-itung sambil nemenin ibu.
"Aku ndak perlu ijinmu, by the way..." kekehnya sumbang sembari menaruh piring kotor ke wastafel, tidak langsung mencucinya justru meninggalkannya, kebiasaan manja Gio!
Memang ndak butuh tapi butuh do'a sama restuku!
Mata Leta memicing, "cuci mas, jangan ngandelin budhe...kasian."
"Kan ada kamu, buat apa aku ngasih duit jajan kalo apa-apa mesti sendiri---" jawab Gio jumawa ingin merebut kembali baju-baju dan sepatu kotornya dari Leta. Sadarlah wahai lelaki, mulut gadis ini sudah komat-kamit menyumpahinya biar ketubruk koloni semut.
"Heh! Dipikir istri itu ba bu, mbayar cuma 20 ribu sehari pengen dilayani semuanya---excuse me nih ya mister semprul! Laundry aja udah mahal, catering aja sehari makan 3 kali udah berapa! Ba bu aja sehari gajinya manusiawi..." balasnya tak kalah sengit, dan ibu yang berlalu lalang beraktivitas disana hanga menggeleng, sementara bapak...kebetulan sekali ia sedang tak di rumah, ngumpul di rumah pak rt main catur, entah menghindar dari perang diponegoro yang terjadi di rumah setiap harinya.
"Hey miss semprul! Ingat kemarin sama tadi pagi ngomong opo? Ba bu itu digaji karena dosa-dosanya ngga kutanggung. Lah kamu, kamu yang bilang istri itu tanggung jawab dunia akhiratnya suami, dan itu harganya tak ternilai, makanya surga istri itu ada di telapak kaki suami. Ayo cium telapak kakiku...nih bekas nginjek ta*i kucing---" debat Gio memancing mata bulat itu untuk membeliak, hampir saja menggelinding ke keranjang cucian.
"Wes---wes---cuma masalah piring sebiji saja, sampe pada ngeluarin dalil-dalil sebuku..." dan siapa lagi jika bukan ibu yang kini sudah meraih piring kotor bekas Gio hendak mencucinya.
"Budhe...budhe...jangan biar nih anak luthung aja yang cuci, ketumanan kalo dibiarin, anak durhaka..." cebiknya menyengit pada Gio. Entahlah! Gio itu seperti senang sekali berdebat dan mengusili Leta, SEJAK DULU! Bahkan sejak pertemuan pertama mereka dimana Leta masih suka ngompol di celana. Baginya candu saja berdebat dan bertengkar dengan Leta. Seperti sudah jadi vitamin hariannya.
"Berarti kamu istrinya luthung...istri durjana...lagian katanya mau panen pahala.."
Ibu kembali menggeleng, astagfirullah! Kucuran air bahkan sudah membersihkan piring yang kini ia taruh di atas rak samping wastafel, agar airnya mengucur.
"Oh ndak--ndak. Siang ini aku lagi malas manen. Besok-besok aja..." jawabnya bisa saja.
"Ck. Wes mana sepatuku yang putih? Keluarin...mau kupake!" pintanya ingin mengobrak-abrik keranjang cucian di tangan Leta.
"Heits! Ini aku udah ngumpulin capek-capek. Kalo kamu berani sentuh---melayang nyawamu!" ancamnya.
"Ck. Leta! Aku ndak lagi mau becanda, buruan keluarin...." keduanya saling kekeh sumekeh mempertahankan keinginan hingga ujung-ujungnya Leta yang mendekap keranjang cucian dan Gio mendekap Leta ingin merebut keranjang.
Berisik! Ibu Gendis lebih memilih meninggalkan keduanya dan menyerbu bu Wulan. Menemani besannya itu lebih cocok buat pendengaran tuanya yang butuh ketenangan.
Cucian kotor berceceran, termasuk kaos kaki dan sepatu. Dan kini siempunya misuh-misuh berada dalam kungkungan Gio di atas sofa.
"Kamu ndak akan menang lawan aku..." menangnya menatap Leta yang mengomel-ngomel di bawah kungkungannya. Setelah Leta berlari mengelilingi sofa, Gio berhasil meraih dan menarik kaosnya hingga gadis itu terjatuh.
"Yo wes, ambil aja sepatu burik kamu. Cuci sendiri nanti...Tadinya mau kucuci semua...aku paling anti kalo mesti nyuci berkala. Males...besok tuh weekend, waktunya aku buat cosplay mumii dan ngga boleh diganggu...jadi aku mau cuci semuanya sekarang!" akui Leta bukan ingin membuang semua barang Gio.
Pengakuan itu justru membuat hati Gio berbunga-bunga, hal sepele namun untuk ukuran seorang Leta, seorang gadis remaja...ia sudah paham dengan kewajibannya sebagai seorang istri.
"Untuk yang ini pengecualian dulu, mau kupake kerja malam ini, Ta..." Gio rasa tak ada salahnya ia mulai terbuka pada Leta, masih dalam posisi yang sama, seakan keduanya tak peduli sekalipun posisi keduanya kayang.
Alis Leta mengernyit, "kerja opo?"
"Bartender."
Mata bening itu menatap Gio masih dalam keheningan dan keheranan, tak ada pertanyaan menyerbu, karena ia masih mencerna ucapan Gio.
Melihat ekspresi oon Leta, Gio langsung menyerempet, "jangan bilang kamu ngga tau bartender..." kekehnya melihat wajah Leta masih dalam keheranan.
"Ngerti aku. Bartender tuh orang yang racik minuman di---"
"Club malam." Tukas Gio melanjutkan, wajahnya sudah kusam dan menunduk, Leta menangkap beban berat yang dipikul Gio namun Gio mengungkungnya untuk diri sendiri, *pelan-pelan Leta....pelan-pelan saja*.
Leta memberanikan diri untuk meraih rahang dan garis wajah Gio, "kenapa kamu mesti milih semua yang bersinggungan dengan dunia kenakalan, Yo? Ndak kasian sama padhe...budhe...ndak ngehargain mas-mas?"
"Aku bakal berhenti, jika sudah mendapatkan sesuatu yang lebih baik, karena untuk saat ini aku sangat butuh pekerjaan..." ujar Gio menjawab.
Leta semakin tak mengerti dan penasaran, sepertinya ini baru mukadimahnya saja. Masih jauh dan dalam isi hati Gio yang harus ia selami. Keduanya justru saling menatap tanpa seorang lagi berbicara sekarang, menyelami kedalaman jendela hati masing-masing.
Ngomong-ngomong, sejak tadi posisi mereka begitu riskan dan Leta sudah merasa sesak dibuatnya, ia juga merasakan ada yang mengeras di bawah sana ketika tak sengaja Leta bergerak dan mengenai area rawan Gio.
*Wait! Apa itu*?!
"Mas awas! Sesek aku!" Leta mencoba menyingkirkan Gio begitupun Gio yang bangkit dari posisinya.
"Pokoknya kalo setiap hari jum'at sepatuku yang putih ini jangan dulu kamu cuci." Gio mewanti-wanti, tak membiarkan Leta capek sendiri, ia ikut bertanggung jawab membereskan cucian kotor, meski tak semua karena setelah itu Gio bergegas masuk ke dalam kamar mandi.
"Dih, kalo nolong jangan tanggung woy!" teriak Leta masih menggerutu dengan pekerjaannya.
Namun setelah semua cucian masuk keranjang, Leta duduk berpikir sejenak, "itu tadi opo?" kikiknya cengengesan, "jangan-jangan pisangnya mengkel...wah...kalo aku berhasil bikin Gio normal secepatnya, lebih baik! Aku bisa balik ke rumah lagi...buat nemenin ibu. Tunai sudah janjiku...."
"Fix, ini sih mesti beli yang kaya orang-orang...apa tuh namanya, liinngeriee? Oh yaaa...." angguknya cepat dengan seruan berbisik.
.
.
.
.
.
nunggu letta sadar pasti seru ngamuk2 nya ma gio...
ndak ada juga yang bakal masukin ke penjara
biar si letta gk pergi2 dri kmu
jangan to yo,kasian si leta masih gadis