Sinopsis Satria Lapangan
Pahlawan Lapangan adalah kisah tentang perjalanan Bagas, seorang remaja yang penuh semangat dan berbakat dalam basket, menuju mimpi besar untuk membawa timnya dari SMA Pelita Bangsa ke Proliga tingkat SMA. Dengan dukungan teman-temannya yang setia, termasuk April, Rendi, dan Cila, Bagas harus menghadapi persaingan sengit, baik dari dalam tim maupun dari tim-tim lawan yang tak kalah hebat. Selain menghadapi tekanan dari kompetisi yang semakin ketat, Bagas juga mulai menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Stela, seorang siswi cerdas yang mendukungnya secara emosional.
Namun, perjuangan Bagas tidak mudah. Ketika berbagai konflik muncul di lapangan, ego antar pemain seringkali mengancam keharmonisan tim. Bagas harus berjuang untuk mengatasi ketidakpastian dalam dirinya, mengelola perasaan cemas, dan menemukan kembali semangat juangnya, sembari menjaga kesetiaan dan persahabatan di antara para anggota tim. Dengan persiapan yang matang dan strategi yang tajam,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23
Bersantai sejenak
Nampak Bagas sedang bersantai duduk di teras gedung olahraga, matanya menatap jauh ke langit senja yang memancarkan gradasi oranye dan ungu, menenangkan hati dan pikirannya setelah latihan yang melelahkan. Suasana sunyi sore itu ditemani oleh suara angin yang berdesir lembut, membuat Bagas terhanyut dalam kedamaian.
Namun, ketenangan itu seketika buyar saat tiba-tiba Dito dan Dika muncul dari belakang, berteriak, “Boo!” dengan serempak. Bagas terkejut, refleks melompat seperti katak, membuat Dito dan Dika tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi wajahnya yang kaget.
“Gila, kalian berdua nyaris bikin gue jantungan!” ujar Bagas dengan napas terengah-engah, sambil berusaha menenangkan detak jantungnya.
“Hahaha! Maaf, Gas. Gak bisa nahan diri liat lu duduk melamun sendirian,” kata Dika sambil memukul pundak Bagas dengan ringan.
Dito menambahkan, “Serius, lu keliatan kayak pahlawan drama yang baru kalah perang. Ada apa sih, bro? Ngerasa tertekan buat besok?”
Bagas tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepalanya. “Enggak, cuma mikirin strategi aja. Besok kita harus total biar bisa menang, dan gue gak mau ngecewain tim.”
Dika duduk di samping Bagas, memandang langit yang sama. “Gue ngerti, Gas. Gue juga ngerasa gitu. Tapi ingat, kita ini tim. Lu gak sendirian. Apa pun yang terjadi, kita hadapi bareng-bareng.”
Dito, yang selalu ceria, menambahkan, “Benar, bro. Besok kita tunjukin siapa yang jadi raja lapangan. Lu udah siap, kan?”
Bagas tertawa kecil dan menjawab, “Siap, lah. Kita bakal kasih mereka pertandingan yang gak akan mereka lupakan.”
Mereka bertiga duduk di sana beberapa saat, menikmati momen kebersamaan yang menenangkan di bawah langit senja. Sore itu diwarnai oleh canda tawa dan percakapan ringan, menghilangkan sejenak beban yang menekan mereka. Meskipun besok adalah hari besar, Bagas merasa lebih tenang dan yakin karena tahu bahwa ia tidak sendiri. Di sampingnya, ada teman-teman yang selalu mendukungnya, apa pun yang terjadi.
Nongkrong.
Setelah beberapa saat bersenda gurau, suasana menjadi lebih ringan. Bagas pun berdiri, siap untuk pulang setelah latihan yang cukup melelahkan. Ia meraih tas yang tergeletak di sampingnya dan melangkah menuju pintu keluar gedung olahraga.
Namun, sebelum ia sempat pergi, Dito, Filip, Dino, dan Faisal langsung mendekat, menghalangi jalan Bagas. “Eh, Gas! Kita nongkrong dulu, yuk! Udah lama gak kumpul, nih,” kata Dito dengan senyum lebar, jelas menginginkan waktu santai setelah berlatih keras.
“Yoi, Gas. Kayaknya lu udah terlalu fokus sama turnamen sampe gak sempet nongkrong bareng kita,” tambah Filip, ikut mendesak.
Faisal, yang biasanya lebih pendiam, ikut menyahut, “Iya, bro. Sempetin lah. Kita kan butuh refreshing juga, biar otak gak mentok mikirin latihan terus.”
Bagas berhenti sejenak, mempertimbangkan tawaran mereka. Memang, belakangan ini ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk latihan dan persiapan turnamen. Ia jadi merasa sedikit terasing dari waktu-waktu santai seperti ini. Namun, sebelum ia sempat memberikan jawaban, Dika yang sudah bersiap untuk pergi sendiri menyela.
“Nggak, deh. Gue ada rencana lain,” kata Dika sambil menatap layar ponselnya. “Ada waktu buat pacar baru gue. Sorry, guys.”
Dito langsung tertawa sambil mencolek Dika, “Ohh, sekarang lu sibuk sama pacar baru, ya? Jangan sampai gak sempet nongkrong bareng kita lagi, nih.”
Dika tersenyum kecil dan mengangkat bahu, “Ya, kali ini penting banget, bro. Pacar gue juga gak bisa ditinggal terlalu lama.”
Bagas pun tersenyum mendengar obrolan mereka. “Jadi, lu pada mau nongkrong, ya? Oke deh, gue ikut. Tapi cuma bentar aja. Turnamen besok kan udah nunggu,” jawab Bagas akhirnya.
“Yeess! Gas ikut!” seru Dino, langsung bersemangat.
“Gue kira lu bakal nolak, Gas. Ternyata lu masih inget sama kita, ya,” ujar Faisal bercanda.
Akhirnya, mereka pun berencana untuk nongkrong bersama di plaza dekat sekolah, tempat favorit mereka untuk bersantai setelah latihan. Bagas pun merasa senang bisa meluangkan waktu sejenak bersama teman-temannya, meski pikirannya tetap terganggu dengan persiapan turnamen yang semakin dekat.
Saat mereka berjalan keluar dari area sekolah menuju plaza, suasana menjadi lebih cerah. Walaupun beban besar ada di pundak mereka, momen kebersamaan ini memberikan sedikit pelarian dari tekanan yang terus menghantui.
Setibanya di luar gedung olahraga, Bagas berhenti sejenak di tepi jalan dan mengeluarkan ponselnya. Ia memutuskan untuk menelpon ibunya terlebih dahulu, mengingat mama selalu ingin tahu ke mana ia pergi, apalagi kalau ia berencana untuk nongkrong sampai larut malam.
Begitu telepon tersambung, suara mama yang lembut terdengar di ujung sana. "Halo, Gas? Ada apa?" tanya mama dengan nada penuh perhatian.
"Mama, Gas izin ya, mau nongkrong sebentar bareng teman-teman di plaza. Gak lama kok, cuma buat santai-santai sebentar," jawab Bagas sambil mengalihkan pandangannya ke arah teman-temannya yang sudah menunggu di dekat motor.
Mama Bagas terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara penuh kasih sayang, "Jangan pulang terlalu malam, ya, Gas. Ingat, besok masih latihan, jangan sampai kelelahan."
"Tenang, Ma. Gas pasti pulang sebelum larut. Lagian, cuma sebentar kok," jawab Bagas, mencoba meyakinkan mama-nya.
"Ya udah, hati-hati di jalan, ya. Jangan sampai kecapean, nanti malah gak fokus besok latihan dan pertandingan." Mama Bagas terdengar sedikit khawatir, tapi Bagas tahu, itu hanya karena rasa sayangnya.
"Siap, Ma. Gas pasti hati-hati. Makasih ya," jawab Bagas sambil tersenyum kecil, merasa sedikit lebih tenang setelah mendengar suara ibunya yang selalu memberikan dukungan.
Setelah menutup telepon, Bagas melangkah kembali ke teman-temannya yang sudah tidak sabar. "Oke, guys! Udah izin sama mama, gue bisa nongkrong nih. Tapi cuma sebentar aja, ya," kata Bagas, memberi tahu mereka.
"Yee, Gas! Asik!" seru Dito dengan riang, sementara Filip dan Dino ikut bertepuk tangan kecil.
Mereka pun melanjutkan langkah menuju plaza, menikmati waktu kebersamaan mereka sejenak sebelum fokus kembali ke persiapan turnamen yang semakin dekat. Bagas merasa sedikit lega bisa meluangkan waktu dengan teman-temannya, walaupun ia tetap memikirkan tantangan besar yang menanti di depan.
Suasana kafe di plaza itu terasa hangat dengan suara tawa dan obrolan santai antara Bagas dan teman-temannya. Masing-masing asyik dengan makanan dan minuman pesanan mereka. Dito, yang duduk di sisi meja yang lebih dekat dengan eskalator, tiba-tiba menunjuk ke arah atas.
"Gas, gas, liat dah, siapa sama Dika?" seru Dito sambil menunjuk dengan jarinya.
Bagas yang sedang sibuk mengotak-atik ponselnya mendongak, mengikuti arah jari Dito. Matanya tertuju pada Dika yang berjalan dengan seorang cewek. Cewek itu mengenakan bando kelinci yang sudah familiar di mata Bagas. "Wah, bener," ujar Faisal, yang juga ikut menoleh ke arah yang sama.
Bagas menatap mereka sejenak. Tanpa ekspresi, ia hanya membalas, "Ah, biar itu hak mereka," sambil kembali fokus pada ponselnya, tampak tidak terlalu peduli.
Dito yang penasaran melanjutkan, "Siapa ya cewek itu?"
"Nama nya Cila, anak SMA Setia Bangsa, adik nya April," jawab Bagas sambil menggeser layar ponselnya. Ia tampak tidak ingin terlalu banyak bicara tentang hal itu dan kembali tenggelam dalam dunia ponselnya.
"Lo kenal, Gas?" tanya Faisal, terkejut dengan informasi yang baru saja didapat.
"Bener, Gas, Lo kenal sama cewek itu?" Filip ikut menimpali, penasaran.
Bagas akhirnya menghela napas dan menjawab dengan santai, "Gak terlalu kenal sih, cuma tau aja. Soalnya pernah beberapa kali nganterin April pulang, jadi ketemu Cila juga."
Dito, Faisal, dan Filip saling pandang dengan rasa ingin tahu. Mereka tahu bahwa Bagas sering menunjukkan sikap santai, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Namun, mereka tidak ingin memaksa lebih jauh.
Suasana kembali menjadi lebih santai dengan percakapan yang beralih ke topik lain. Namun, meski Bagas terlihat tidak terlalu peduli, ada sedikit kegelisahan dalam dirinya. Dia tahu hubungan antara April dan Cila memiliki ikatan yang kuat, dan baginya itu adalah hal yang penting meskipun ia mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya.
Bagas menghela napas panjang, menatap teman-temannya yang sedang asyik bercanda, dan akhirnya berkata, "Bosen nih, gue pulang ya."
"Loh, kok pulang, Gas?" tanya Filip dan Faisal serempak, terlihat terkejut.
"Apalagi, makan udah, nongkrong udah, game juga udah, hp gue udah lowbat," jawab Bagas sambil mengangkat ponselnya yang sudah hampir habis daya.
Tak lama, ponsel Bagas berbunyi, membuat matanya langsung tertuju pada layar. "Udah ya, gue pulang. Mama nelpon mulu," ujar Bagas sambil melihat nama ibu tercatat di layar ponselnya.
"Ya udah bareng yak," ajak Faisal dengan gaya genitnya.
"Apaan bareng? Kita beda arah," jawab Bagas sambil terkekeh kecil.
"Sesekali gas," jawab Paisal dengan nada bercanda, mencoba memaksa.
"Ogah," jawab Bagas cepat, menolak ajakan itu.
"Ingget, besok masih ada pertandingan uji coba melawan Setia Bangsa," tambah Dito, mengingatkan Bagas akan persiapan yang harus dilakukan.
Bagas mengangguk pelan, merasa sedikit lega karena akhirnya bisa pulang dan beristirahat setelah hari yang cukup panjang. "Iya, gue inget kok. Besok harus siap," katanya, kemudian berdiri dan mengambil jaketnya.
"Sampai ketemu besok, Gas!" seru teman-temannya serempak, mengucapkan selamat berpisah.
Bagas hanya melambaikan tangan sambil berjalan menuju pintu keluar kafe, diiringi langkah cepat. Ketika keluar, ia langsung menuju motornya dan memulai perjalanan pulang. Dalam perjalanan, pikirannya melayang, teringat pertandingan yang akan datang dan bagaimana ia harus mempersiapkan diri lebih baik lagi.