Ariella, seorang wanita muda yang dipilih untuk menjadi pemimpin organisasi pembunuh terkemuka setelah kematian sang mentor. Kejadian tersebut memaksanya untuk mengambil alih tahta yang penuh darah dan kekuasaan.
Sebagai seorang wanita di dunia yang dipenuhi pria-pria berbahaya, Ariella harus berjuang mempertahankan kekuasaannya sambil menghadapi persaingan internal, pengkhianatan, dan ancaman dari musuh luar yang berusaha merebut takhta darinya. Dikenal sebagai "Queen of Assassins," ia memiliki reputasi sebagai sosok yang tak terkalahkan, namun dalam dirinya tersembunyi keraguan tentang apakah ia masih bisa mempertahankan kemanusiaannya di tengah dunia yang penuh manipulasi dan kekerasan.
Dalam perjalanannya, Ariella dipaksa untuk membuat pilihan sulit—antara kekuasaan yang sudah dipegangnya dan kesempatan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, jauh dari bayang-bayang dunia pembunuh bayaran. Di saat yang sama, sebuah konspirasi besar mulai terungkap, yang mengancam tidak hanya ker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Bayangan Pengkhianatan
Pagi tiba dengan suram di sebuah gudang terlantar yang kini menjadi tempat persembunyian mereka. Suara tembakan dari malam sebelumnya masih terngiang di telinga Ariella. Seluruh tubuhnya terasa berat, tapi pikirannya tak henti-henti mencari celah untuk melawan Leonard Drakos.
Rael duduk di sudut ruangan, wajahnya tertunduk dalam, penuh kebimbangan. Sementara itu, Liana sibuk memeriksa data dari drive yang mereka ambil. Dia menggigit bibirnya, matanya terpaku pada layar laptop.
“Ini aneh,” katanya dengan suara kecil.
Ariella, yang sedang membersihkan senjatanya, menoleh. “Apa yang aneh?”
“Data ini… terlalu rapi. Seolah-olah mereka sengaja meninggalkannya untuk kita ambil. Dan sebagian besar isinya adalah informasi umum, tidak ada detail penting yang bisa kita gunakan.”
Kata-kata Liana membuat udara di ruangan itu terasa lebih berat.
“Itu berarti kita jatuh ke dalam jebakan,” gumam Ariella.
“Bukan hanya jebakan,” lanjut Liana. “Ada pola dalam data ini. Seperti pesan tersembunyi… sesuatu yang hanya bisa dilihat oleh orang dalam.”
Ariella berdiri, mendekati Liana. “Orang dalam? Maksudmu ada mata-mata di tim kita?”
Liana mengangguk pelan, tapi sebelum dia bisa menjelaskan lebih lanjut, Rael tiba-tiba angkat bicara.
“Cukup!” teriaknya, suaranya bergema di ruangan. Semua mata tertuju padanya.
“Apa maksudmu?” tanya Ariella dengan tatapan tajam.
Rael berdiri dengan wajah penuh emosi. “Aku tahu ini akan terjadi. Kau selalu curiga pada semua orang, termasuk orang-orang yang setia padamu. Tapi kau tidak pernah berpikir bahwa mungkin, hanya mungkin, kau yang salah!”
Kemarahan Rael membuat Liana mundur sedikit, tetapi Ariella tidak terpengaruh. Dia menatap Rael dengan mata dingin, mencoba membaca pikiran pria itu.
“Kenapa kau begitu defensif, Rael? Apa yang kau sembunyikan?”
Pertanyaan itu menggantung di udara, menciptakan ketegangan yang tak tertahankan.
“Aku tidak menyembunyikan apa pun!” balas Rael dengan nada tinggi. “Tapi aku mulai lelah dengan semua ini. Kita melawan musuh yang bahkan tidak kita pahami. Dan kau… kau memperlakukan kami seperti pion yang bisa kau korbankan kapan saja.”
Ariella mendekatinya perlahan, suaranya berubah lebih lembut. “Rael, aku mengerti tekanan yang kau rasakan. Tapi kau harus percaya padaku. Kita tidak akan bisa bertahan tanpa kepercayaan.”
Namun, sebelum Rael sempat merespons, Liana memotong dengan suara cemas. “Komandan, kita punya masalah besar.”
---
Di layar laptop Liana, terlihat gambar satelit yang menampilkan konvoi besar kendaraan militer bergerak menuju lokasi mereka.
“Mereka tahu kita di sini!” seru Liana.
Ariella segera mengambil komando. “Liana, siapkan jalur pelarian. Rael, kau ambil peralatan berat. Kita tidak bisa melawan mereka secara langsung, jadi kita harus keluar dari sini secepat mungkin.”
Namun, Rael tidak segera bergerak. Dia berdiri diam di tempat, tampak ragu.
“Rael, kau dengar aku?” Ariella meninggikan suaranya.
Rael akhirnya mengangguk dan berjalan ke arah tumpukan peralatan. Tapi sesuatu dalam gerakannya membuat Ariella merasa tidak nyaman—seperti ada keraguan yang lebih besar di balik tindakannya.
---
Saat mereka bersiap meninggalkan gudang, suara deru mesin semakin mendekat. Ariella memimpin timnya melalui pintu belakang, menyusuri lorong sempit yang menuju ke area terbuka.
“Liana, pastikan kita tidak terdeteksi. Kalau ada drone atau patroli, beri tahu aku segera,” ucap Ariella melalui radio.
“Dimengerti,” jawab Liana dengan suara tegang.
Namun, ketika mereka hampir mencapai titik aman, sebuah ledakan besar mengguncang tanah di sekitar mereka. Ariella terlempar ke tanah, sementara suara tembakan mulai bergema di udara.
“Mereka mengepung kita!” teriak salah satu anggota tim.
Ariella segera bangkit, menembak ke arah musuh yang muncul dari sisi kanan. “Rael, di mana peluncur roketnya? Kita butuh itu sekarang!”
Tidak ada jawaban. Ariella menoleh, mencari Rael, tetapi pria itu tidak terlihat.
“Liana, kau lihat Rael?” tanya Ariella melalui radio.
“Dia... dia tidak bersama kita,” jawab Liana dengan nada panik.
Ariella mengepalkan tinjunya, perasaan tidak enak semakin menguasainya.
---
Sementara itu, Rael berdiri di sebuah bukit kecil tidak jauh dari lokasi pertempuran. Di tangannya, sebuah alat komunikasi berteknologi tinggi yang terhubung langsung ke tim Leonard Drakos.
“Target sudah di lokasi. Lanjutkan operasi,” katanya dengan suara rendah.
Di ujung lain, Leonard menjawab dengan suara puas. “Kerja bagus, Rael. Kau sudah membuktikan kesetiaanmu.”
Rael menutup komunikasi, wajahnya penuh rasa bersalah. Tapi dia tahu bahwa dia tidak punya pilihan. Leonard telah memegang sesuatu yang membuatnya tidak bisa berpaling—sesuatu yang lebih penting daripada tim yang telah dia perjuangkan selama ini.
“Maaf, Ariella,” bisiknya pelan sebelum menghilang ke dalam bayangan.
---
Di medan pertempuran, Ariella dan timnya berjuang mati-matian. Mereka berhasil melumpuhkan beberapa kendaraan musuh, tetapi jumlah mereka kalah jauh.
“Kita tidak bisa bertahan lebih lama!” seru Liana dari posisinya.
Ariella menggertakkan gigi. “Kita harus keluar sekarang. Liana, aktifkan rute cadangan!”
Namun, saat mereka mencoba mundur, sebuah helikopter tempur muncul di udara, menembakkan peluru dan rudal ke arah mereka.
“Komandan, ini jebakan!” teriak Liana.
Ariella sudah menduganya. Semua ini terlalu terencana—seolah-olah musuh tahu setiap langkah mereka. Dan Rael… pria itu tidak terlihat sejak awal pertempuran.
“Aku akan mencari Rael,” ucap Ariella dengan suara keras.
“Komandan, jangan!” balas Liana.
Tapi Ariella tidak mendengarkan. Dia berlari ke arah bukit kecil, instingnya mengatakan bahwa Rael adalah kunci dari semua ini.
---
Di puncak bukit, Ariella menemukan alat komunikasi yang ditinggalkan Rael. Tidak ada tanda-tanda keberadaan pria itu, tetapi alat tersebut cukup untuk menjawab banyak pertanyaannya.
“Rael…” gumamnya dengan suara bergetar. “Kau benar-benar mengkhianati kami.”
Ariella mengepalkan tinjunya, berjanji pada dirinya sendiri bahwa ini belum selesai.
Di kejauhan, suara helikopter dan tembakan masih bergema. Perang ini belum berakhir, tetapi Ariella tahu, musuh terbesar yang harus dia hadapi bukan hanya Leonard Drakos—melainkan bayangan pengkhianatan yang kini mengintai dari dalam timnya sendiri.