Tiga tahun lalu, Agnia dan Langit nyaris menikah. Namun karena kecelakaan lalu lintas, selain Agnia berakhir amnesia, Langit juga divonis lumpuh dan mengalami kerusakan fatal di wajah kanannya. Itu kenapa, Agnia tak sudi bersanding dengan Langit. Meski tanpa diketahui siapa pun, penolakan Agnia justru membuat Langit mengalami gangguan mental. Langit kesulitan mengontrol emosi sekaligus kecemburuannya.
Diam-diam, Agnia sengaja menyuruh Dita—anak dari pembantunya yang tengah terlilit biaya pengobatan sang ibu, menggantikannya. Padahal sebenarnya Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa karena desakan keluarga yang meragukan ketulusan Agnia.
Ketika Langit mengetahui penyamaran Dita, KDRT dan talak menjadi hal yang kerap Langit lakukan. Cinta sekaligus benci mengungkung Dita dan Langit dalam hubungan toxic. Namun apa pun yang terjadi, Dita terus berusaha bertahan menyembuhkan mental Langit.
Lantas, apa jadinya jika Agnia tahu, bahwa Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Dita~Korban Didik Orang Tua
Di saat seperti ini, Dita yang sudah menikah dan berharap banyak pada suaminya, jadi sangat membutuhkan figur suaminya. Walau suaminya lumpuh dan b u r u k rupa, setidaknya jika saling mengisi, menghargai sekaligus menghidupkan sebuah rumah tangga, rasanya pasti bukan hanya menghasilkan kepedihan.
Kini, Dita masih di rumah sakit terdekat. Ia terpaksa meminta bantuan mama mertuanya. Ia mengabarkan semua yang terjadi termasuk alasannya membuat kepala Langit berdarah. Mengenai Mita dan anggota cabe-cabeannya juga Dita ceritakan. Sungguh tidak ada yang ditutup-tutupi, dan Dita pasrah andai mertuanya jadi tak sudi berurusan dengannya lagi.
Sudah m i s k i n, hidup saja mengontrak, anak seorang janda yang bekerja jadi pembantu dan kini penyakitan, tapi adik perempuannya terjerat pergaulan b e b as.
“I—ini, kamu beneran enggak kenal dia?” Ibu Azzura bertanya dengan hati-hati.
Langit masih belum sadarkan diri. Pria itu menjadi salah satu penghuni ranjang pasien di IGD. Selain sampai diinfus, luka di kepalanya juga sampai dijahit. Katanya agar tidak pendarahan lebih parah lagi.
Tentu yang ibu Azzura maksud, Langit. Benarkah Dita tidak kenal Langit? Pertanyaan yang sebenarnya sudah ibu Azzura layangkan kepada Dita, sebanyak tiga kali.
Setelah sempat refleks menatap pak Excel yang berdiri di sebelah ibu Azzura, Dita kembali menggeleng. Namun dalam diamnya, Dita merasa bahwa wajah Langit sangat mirip wajah pak Excel. Hanya saja, sedari awal pertemuan mereka dan itu di sekitar diskotik, pak Excel hanya diam. Sejak menjemput Dita dan Langit, pak Excel yang menyetir mobil sendiri terkesan sangat marah.
“Aku beneran enggak kenal pria itu, Ma. Namun aku yakin, dia m a b ok karena dia juga bawa gelas isi minuman. Terus dari mulutnya juga beraroma sengar, bikin mual dan kleyengan,” ucap Dita sambil menunduk dalam.
Alasan Dita menghubungi mertuanya karena demi menghindari fitnah. Selain itu, Dita juga tidak punya uang untuk biaya rumah sakit Langit. Sedangkan bagi Dita, Langit tetap harus diobati, agar tidak terjadi sesuatu yang fatal.
***
Sudah dua hari dari tragedi Dita tak sengaja menghantam kepala Langit. Selama itu juga, usaha Dita menghubungi Langit, sia-sia. Nomor Langit tetap tidak bisa dihubungi, tapi untungnya, ibu Azzura masih menghubunginya.
Niatnya, hari ini Dita akan kembali bekerja. Dita akan mencari pekerjaan baru karena di tempat kerja sebelumnya dan itu di pabrik boneka yang hasilnya dikirim ke luar negeri, tak mau menerimanya jika ia tetap bercadar.
Mama Azzura : Kerja di mana?
Dita : Cari yang baru, Ma. Soalnya di tempat lama enggak mau memperkerjakan aku lagi, kalau aku tetap bercadar pakai pakaian syari gini.
Mama Azzura : Sudah, kamu di rumah saja. Biar Langit yang kerja. Bekerja dan menafkahi keluarga kamu, itu tugasnya Langit. Kamu jangan sampai mengubah penampilan, hanya untuk mendapatkan pekerjaan.
Mama Azzura : Sekarang kamu pulang ke rumah. Nanti Mama minta Langit ke sana.
Baru membayangkan Langit sudah kembali terhubung dengan keluarganya dan akan segera menemui Dita saja, Dita sudah sangat kegirangan.
Dita : Berarti Mas Langit sudah pulang, Mas?
Dita : Ya sudah, Ma. Aku pulang, ganti angkot dulu.
Setelah buru-buru mengantongi ponselnya ke tas, Dita juga buru-buru turun dari angkot yang awalnya akan membawanya ke tujuannya. Dita begitu bersemangat. Selain ia yang jadi sibuk tersenyum, hatinya juga amat sangat berbunga-bunga.
•••
“Katanya mau kerja?” heran ibu Darsem ketika bangun, tapi Dita sudah ada di rumah dan tengah mengepel lantai.
Detik itu juga Dita menoleh ke sumber suara. Dari arah dalam kontrakan karena kini ia ada di teras kontrakan, sang ibu melangkah lemah. Wajah ibu Darsem masih pucat karena meski sudah operasi pengangkatan kanker, wanita berusia di akhir empat puluh tahun itu, tetap harus menjalani serangkaian pengobatan. Belum lagi biaya hidup sehari-hari, termasuk biaya hidup dan sekolah kedua adiknya.
“Kamu kan sudah gede, Dit. Harusnya kamu mikir tanpa harus Ibu jelasin. Ibu sudah sakit-sakitan, kalau bukan kamu yang urus adik-adik dan keluarga ini, siapa lagi?” keluh ibu Darsem yang menatap kecewa Dita.
Setelah hanya diam menyimak ucapan sang ibu, ucapan yang sebenarnya sudah sangat Dita hafal karena ia sudah terlalu sering mendapatkannya, Dita berangsur menghela napas pelan sekaligus dalam. Ia masih menahan tongkat pel menggunakan kedua tangannya.
“Bu, suamiku mau datang. Jadi aku sengaja bersih-bersih dulu. Lantai sama teras, tadi belum sempat dibersihkan.”
“Loh ... loh, ... suamimu mau datang bagaimana? Memangnya kamu nikah sama siapa?”
“Lah, yang kemarin ke rumah sakit urus ini itu, dikira Ibu siapa, kalau bukan keluarga suamiku?”
“Keluarga suamimu? Bukankah itu majikanmu?”
“Majikan sampai ngurus banget begitu memang ada? Lagian Ibu ini kebiasaan, memperlakukan aku yang jelas-jelas anak, mirip b a b u!”
“Ibu selalu menuntutku kerja, kerja, urus semuanya. Ibu minta apa, bahkan itu yang mustahil sekalipun, aku harus bisa sanggupi, seolah aku jin pengabul!”
“Sejauh ini Ibu selalu menerapkan, sudah dilahirkan wajib menghasilkan. Sementara ke adik-adik, Ibu membebaskan. Aku minta mereka buat bantu beres-beres rumah saja, Ibu enggak izinin.”
“Ya nggak diizinin karena biar mereka fokus sekolah dan jadi orang berhasil!” bentak ibu Darsem tak terima diceramahi panjang lebar oleh Dita yang sudah berlinang air mata di hadapannya.
“Ibu tahu, cara didik Ibu yang berat sebelah. Aku didik adik-adik biar mandiri, tapi Ibu m e r u s a k dengan cara Ibu. Ingat, Bu. Kalau masih m i s k i n jangan lemah dan sok bisa. Aku bukan jin pengabul yang diminta ini itu langsung bisa aku beri ke kalian!”
“Ya makanya kamu jangan menikah. Kamu enggak usah menikah biar bisa terus urus keluarga ini! Itu kenapa, selama ini Ibu menolak semua lamaran ke kamu, termasuk lamaran dari atasanmu!” sergah ibu Darsem sampai teriak-teriak kepada Dini.
Saking kerasnya suara ibu Darsem, Langit yang tengah mencari alamat kontrakan Dita tinggal, sampai mendengarnya. Langit yang tak lagi pura-pura lumpuh sekaligus b u r u k rupa, refleks melepas kacamata hitamnya.
“Kayaknya itu Dita,” pikir Langit yang ada di gang kecil menuju kontrakan petak selaku tempat Dita tinggal. Langit yakin, wanita berpenampilan syari warna cokelat tua dan masih memakai cadar itu, memang Dita. Wanita yang tengah memegang tongkat pel di salah satu teras kontrakan yang harus ia temui. Sang mama memaksanya harus segera menemui Dita. Karena jika Langit tak melakukannya, Langit terancam akan dikeluarkan dari kartu keluarga.
(Assalamualaikum, kemarin aku sakit mendadak kleyengan dan subuh menggigil. Butuh sumbangan tukang kerokan ini. Bismillah hari ini tetap up semua novel ya. Yuk ramaikan. BTW, macam ibu Darsem ini banyak, ya. Mengorbankan satu anak buat kesejahteraan keluarga bahkan anak-anak yang lain ❤️)
ngembleng lah biar langsung sadar tu smc mita.kenyataan jauh dari angan2.wkwkwkwkwkwkwkwk