Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wewo
Saat melihat Dokter Shaka sudah berpakaian rapi, Kusuma bertanya dengan nada penasaran, "Dokter mau pergi ke mana?"
"Aku ingin bertemu Dokter Lista, kamu mau ikut?" sahut Shaka dengan mata berbinar yang samar-samar menyiratkan harapan.
Namun, Kusuma menghela napas, sedikit ragu untuk menjelaskan, "Maaf, Dokter Shaka, tapi Dokter Lista baru saja mengirim pesan bahwa beliau malam ini tidak praktik."
Wajah Shaka langsung berubah muram, seolah harapannya baru saja direnggut angin. Pagi tadi, pembicaraan singkatnya dengan Dokter Lista masih menggantung di pikirannya, seperti teka-teki yang belum sempat ia pecahkan.
"Baiklah, permisi ya, Dok. Bilqis, aku berangkat dulu. Nanti aku pulang tengah malam," seru Kusuma, yang segera beranjak keluar.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Kusuma melangkah sendirian di tengah temaram malam, ditemani hembusan angin yang tak henti-henti menyentuh wajahnya dengan lembut. Rambut panjangnya yang terurai seolah menari mengikuti tarian angin, menutupi wajah ayunya sesekali. Sambil menyibak rambut, ia terus berjalan, hingga suara panggilan akrab menggema di telinganya.
"Kusuma!" Suara itu jelas milik Mbah Renggani, yang sudah menunggunya dengan senyum khas penuh wibawa.
Kusuma mendekat dan menyapa penuh hormat, "Iya, Mbah. Ada yang bisa saya bantu?"
"Ikutlah denganku," ujar Mbah Renggani, lalu berjalan lebih dulu di depan, membimbing Kusuma melewati lorong yang tampak berbayang dalam remang cahaya malam.
Lorong itu terasa tenang namun misterius, setiap langkah seakan membawa Kusuma semakin dalam ke dalam ruang batinnya sendiri. Mbah Renggani, selain dikenal bijaksana, adalah sosok yang sering membimbingnya dalam banyak hal, termasuk urusan yang menyentuh ranah spiritual.
"Ingat pesanku, Kusuma. Gunakan ilmu yang kamu pelajari hanya untuk kebaikan. Jangan pernah tergoda oleh jalan yang menyesatkan," bisik Mbah Renggani dengan nada lembut namun tegas.
"Insya Allah, Mbah," jawab Kusuma sambil mengangguk penuh kesungguhan.
Malam itu, Kusuma akan menggantikan peran Dokter Lista dalam membantu arwah-arwah yang datang meminta bantuan. Namun, tiba-tiba telinganya menangkap suara yang berat dan mengentak, seperti langkah-langkah besar yang menghantam lantai dengan penuh kekuatan.
"Mbah, suara apa itu?" tanya Kusuma, kini sedikit gemetar.
"Tenang, Kusuma. Sebentar lagi kamu akan melihatnya sendiri. Cobalah gunakan mata batinmu untuk melihat siapa yang datang," jawab Mbah Renggani, tatapannya tajam menatap ke arah anak tangga di ujung lorong.
Kusuma memejamkan mata, mengaktifkan mata batinnya. Saat itu juga, ia tersentak. Sosok hitam besar berbulu dengan tanduk yang menakutkan mulai mendekat. Napasnya tertahan, namun ia tetap berusaha menahan rasa takut yang bergulung-gulung dalam dadanya.
"Mbah, ini bukan bangsa manusia! Energinya kuat sekali, seperti dari bangsa jin!" bisik Kusuma, tubuhnya sedikit bergetar.
Mbah Renggani hanya mengangguk, matanya tajam menatap sosok itu. "Mlebu!" perintahnya. Sosok makhluk besar itu menurut, masuk dengan langkah berat yang membuat lantai berderak.
"Duh, ngeri amat wajahnya... aku ga sanggup menatapnya," keluh Kusuma, tak kuasa memandang ke arah sosok hitam dengan wajah yang menyeramkan itu.
"Apa yang kamu inginkan?" tanya Mbah Renggani, nadanya tenang namun penuh wibawa.
"Aku ingin meminta bantuan! Aku janji akan memberikan apapun yang kalian minta jika bisa membantuku!" jawab sosok itu dengan suara serak, seperti menggema dari dalam gua.
"Bantuan apa yang kamu butuhkan?" tanya Kusuma, masih menunduk dengan rasa takut yang jelas di wajahnya.
"Selamatkan ibuku," jawab makhluk itu, suaranya melemah, seolah ada kepedihan yang tersembunyi di balik wujud menyeramkannya.
Kusuma menelan ludah, lalu dengan setengah bercanda berkata, "Apa gak bisa kamu ubah wujudmu dulu jadi lebih manusiawi? Jadi cakep, gitu?"
Belum sempat sosok itu bereaksi, sebuah pukulan ringan mendarat di kepalanya—dari buku yang dipegang Mbah Renggani. "Kamu ini! Kamu harus siap menghadapi segala macam wujud! Jangan takut."
Kusuma mengangguk patuh, "Siap, Mbah."
Kusuma yang baru pertama kali menangani pasien gaibnya harus bersiap. Dengan terpaksa, ia menatap sosok pria dari alam lain itu. Perlahan, sosok itu mulai menceritakan kejadian yang menimpa ibunya, suaranya menembus keheningan malam.
“Ibuku terkena bambu mentiung. Dan sekarang nyawa ibuku ada di tangannya,” ucapnya, seolah setiap kata yang keluar adalah serpihan dari hatinya yang hancur.
“Baik, aku akan membantumu. Setelah Subuh, aku akan ke sana,” jawab Kusuma, menyusun rencana di benaknya, seolah-olah melukis jalan keluar dari labirin yang gelap.
“Terima kasih. Apa yang kamu inginkan dariku? Aku akan menuruti semua perintahmu jika kamu bisa menyelamatkan ibuku,” katanya dengan nada penuh harap.
“Gak perlu. Gak usah beri aku apa-apa,” jawab Kusuma, menolak tawaran yang terasa lebih berat dari beban yang harus dipikulnya.
Anak genderuwo itu tersenyum, harapannya terpancar bagaikan sinar bulan purnama yang mengusir kegelapan.
“Jangan terlalu lama, karena kalau manusia itu sudah bertransaksi dengan ibunya, maka kamu tidak akan bisa menyelamatkannya. Dan urusanmu bukan dengan bangsa Jin lagi, tapi dengan manusia,” peringatkan Mbah Renggani, suaranya menegaskan urgensi situasi.
“Tapi Mbah… masa iya aku malam hari ini harus ke kebun bambu sendiri!” tegas Kusuma, suaranya mengandung keraguan yang dalam.
“Suatu saat, kamu bukan hanya menemui makhluk seperti itu saja. Akan ada yang lebih menyeramkan dari itu,” jawab Mbah Renggani, seolah membuka tirai misteri yang masih tersembunyi.
“Jadi aku harus sekarang, Mbah?” tanya Kusuma lagi, ragu seolah diajak melangkah ke tepi jurang.
“Kalau ada kendaraan bisa. Kalau tidak, kamu harus belajar dari jarak jauh. Ada beberapa hal yang bisa kamu bantu dari jarak jauh. Namun, ada juga yang harus kamu datangi…” Mbah Renggani menjelaskan, suaranya membimbing seperti cahaya lilin dalam kegelapan.
“…mulai besok kamu harus belajar lagi. Malam ini aku akan mengajarimu,” ucap Mbah Renggani dengan nada yang mengandung kepastian.
Kusuma yang lebih memilih menjadi cenayang tampak bahagia. Ia berusaha keras agar bisa membantu sesama, melihat hantu gentayangan membuat hatinya miris, seperti melihat bunga layu di kebun yang dulunya indah.
Dengan bantuan Mbah Renggani, Kusuma bisa membebaskan ibu gendruwo tersebut dari jarak jauh, walau ia harus mengeluarkan banyak tenaga. Dalam keheningan malam, dia merasakan aliran energi yang menguras seluruh jiwanya.
Saat itu juga, dua sosok bertanduk itu muncul lagi, menawarkan sesuatu kepada Kusuma. Namun, gadis itu menolak dengan sopan, seolah menolak beban yang lebih berat dari yang sudah ada di pundaknya.
“Namaku Wewo. Jika ada masalah, panggillah. Aku akan membantumu,” ucapnya, suara lembut namun menggema seperti janji di dalam kegelapan.
Karena kelelahan yang menyergap, Kusuma meminta izin pulang lebih awal, berharap dapat menata kembali semua kekacauan yang baru saja terjadi. "
Sepanjang lorong rumah sakit, Kusuma tersenyum, seakan sinar mentari pagi menyinari hatinya saat melihat bangsal kosong yang kumuh itu. Bangsal tersebut, meski terlihat seperti sisa-sisa dari zaman yang terlupakan, memiliki kehadiran yang tak kasat mata, penuh dengan cerita pasien gaib yang pernah singgah. Suara-suara binatang malam, seperti orkestra alam yang melankolis, telah menjadi latar belakang yang akrab bagi telinganya, membuatnya merasa seolah dia adalah bagian dari simfoni yang tidak akan pernah usai. Penampakan-penampakan yang muncul bagaikan embun pagi, hanya angin yang lewat, membawa kehadiran tanpa beban. Tak sedikit dari mereka yang menggoda, dengan aura Kusuma yang seperti magnet, memanggil makhluk-makhluk dari dimensi lain untuk mendekat.
Sesampainya di taman bunga, ia tertegun melihat sekelompok anak bajang yang sedang bermain di sisi kiri taman, seperti bintang-bintang kecil yang bermain di malam yang gelap. Ini kali pertama Kusuma menyaksikan mereka, dan kebingungannya menyergap seperti kabut tebal di pagi hari.
“Aneh, aku tidak pernah melihat mereka di sini. Kenapa sekarang aku bisa dengan mudah menembus alam lain?” pikirnya, jiwanya bergetar dalam kebingungan saat seorang anak gadis menatap tajam padanya, seakan matanya adalah dua matahari kecil yang berapi-api, tak senang dengan kehadiran Kusuma.
"Hantu kecil saja sudah berani menantangku!" batin Kusuma, berusaha melangkah pergi, meski rasa penasaran masih membakar di dalam dirinya.
Di rumah bunga, tempat yang hanya dihuni oleh Bilqis dan Shaka, kesunyian menyelimuti setiap sudutnya. Kusuma menengok ke kamarnya dan menemukan Bilqis tertidur lelap, seperti bunga yang terpejam di malam hari, sementara dari kamar Shaka, tidak terdengar suara apapun, seolah dunia di luar tengah beristirahat.
Kusuma, yang masih terombang-ambing dalam kebingungan, memilih duduk di ruang tamu. Pikirannya dipenuhi oleh teka-teki yang membuatnya semakin penasaran.
“Ngapain kamu, Kusuma, di sini!” Suara parau tiba-tiba mengguncang lamunannya.
“Dokter Shaka!” serunya, jantungnya berdegup kencang, terkejut.
Pria itu tertawa, suaranya mengalun seperti melodi yang hangat. “Aneh kamu ini, masa lihat hantu gak kaget, justru dengar suaraku malah kaget.”
“Kukira sudah tidur!” balas Kusuma, kesal, merasa terperangkap dalam situasi yang tidak ia inginkan.
“Gimana tadi, sudah ketemu Dokter Lista?” tanya Shaka, penasaran.
“Dokter Lista tadi gak datang.”
“Duh, gimana, ya?” Shaka mengerutkan dahi, mencemaskan sesuatu yang lebih dalam.
“Sepertinya masalahmu bukan hanya soal hantu wanita itu, ada sesuatu masalah besar yang kamu tutupi dari kami!” jawab Kusuma, suara tajamnya menciptakan goresan di dinding keheningan.
Shaka terdiam, meneguk kopi hitam yang hangat seperti pelukan di malam yang dingin, sambil duduk di samping Kusuma. “Sakti juga kamu bisa tahu! Tapi lebih baik kamu gak tahu dan jangan ikut campur!”
Wajah Shaka seketika berubah, seperti bayangan yang gelap menyelimuti cahaya, menciptakan rasa curiga dalam hati Kusuma. Ia menoleh, menatap wajah Shaka yang kini tampak gusar, seolah memendam badai di dalam.
Menyadari wanita yang berada di sampingnya sedang mencuri pandang, Shaka pun menoleh. Kini, tatapan mereka bertemu, seolah waktu berhenti, dan jarak antara mereka terasa sangat dekat, seperti dua magnet yang tak dapat dipisahkan. Kusuma merasakan detak jantungnya melambat, nyalinya yang sebelumnya berani seakan terbang melawan angin.
Kusuma menelan ludah, lidahnya terasa kaku, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Hingga tatapan mereka buyar oleh suara seorang perempuan yang tampak kesal, seolah kilatan petir yang memecah keheningan malam.
“Kusuma!”