Alyssa, seorang gadis dari keluarga sederhana, terpaksa menerima pernikahan dengan Arka, pewaris keluarga kaya raya, demi menyelamatkan keluarganya dari krisis keuangan. Arka, yang memiliki masa lalu kelam dengan cinta pertamanya, juga tidak menginginkan pernikahan ini. Namun, tuntutan keluarga dan strata sosial membuat keduanya tidak punya pilihan.
Dalam perjalanan pernikahan mereka yang dingin, muncul sebuah rahasia besar: Arka ternyata memiliki seorang anak dari cinta masa lalunya, yang selama ini ia sembunyikan. Konflik batin dan etika pun mencuat ketika Alyssa mengetahui rahasia itu, sementara ia mulai menyadari perasaannya yang kian berkembang pada Arka. Di sisi lain, bayangan cinta lama Arka kembali menghantui, membuat hubungan mereka semakin rapuh.
Dengan berbagai pergulatan emosi dan perbedaan kelas sosial, Alyssa dan Arka harus menemukan jalan untuk berdamai dengan masa lalu dan membuka hati, atau memilih berpisah dan meninggalkan luka yang tak terobati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ansel 1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketakutan yang Menghantui
Pagi itu, telepon di rumah berdering, dan Alyssa yang sedang menyiapkan sarapan perlahan mengangkatnya. Suara di ujung sana terdengar lembut, namun ada nada dingin yang terasa menusuk.
"Selamat pagi, Alyssa," suara itu berkata. Alyssa tertegun, mengenali suara ibu dari Dito.
"Selamat pagi... ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan hati-hati, mencoba menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba menyeruak.
"Ah, tidak perlu merasa cemas. Aku hanya ingin mengingatkan bahwa Dito adalah darah dagingku," suara itu menekankan setiap kata dengan lembut, namun penuh makna. "Aku bisa saja mengambilnya kembali kapan pun."
Kata-kata itu seolah mengiris hati Alyssa. Ia merasa tubuhnya menegang dan telapak tangannya berkeringat dingin. Pikiran untuk kehilangan Dito menghantui benaknya seketika. Selama ini, Alyssa sudah berusaha mencintai dan merawat Dito seperti anak kandungnya sendiri. Namun, bayangan bahwa Dito bisa direnggut darinya kapan saja membuat hatinya hancur.
"Kenapa Anda mengatakan ini?" tanya Alyssa dengan suara yang bergetar.
"Tidak ada alasan khusus," jawab ibu Dito dengan nada santai. "Hanya sebuah peringatan kecil. Kau tahu kan, anak itu memiliki hak untuk kembali pada ibunya?"
Alyssa merasa kepalanya berputar. Ancaman halus ini bukan hanya membuatnya merasa terpojok, tetapi juga membuatnya menyadari betapa rapuh posisi dirinya saat ini. Setelah telepon berakhir, Alyssa berdiri di ruang makan, merasakan kekosongan yang mendalam. Ia menatap piring-piring di atas meja, tapi kini nafsu makannya menguap entah ke mana.
Ketika Arka masuk ke ruang makan dan melihat Alyssa yang pucat, ia langsung menyadari ada sesuatu yang tidak beres.
"Ada apa, Alyssa?" tanyanya sambil mendekat.
Alyssa menatap Arka dengan mata yang penuh kegelisahan. "Ibu dari Dito meneleponku. Dia... dia mengatakan bahwa dia bisa mengambil Dito kapan saja."
Arka menghela napas panjang, wajahnya menegang. "Dia selalu menggunakan cara ini untuk menekan kita."
"Aku tidak bisa membayangkan kehilangan Dito, Arka. Aku sudah menganggapnya seperti anakku sendiri," kata Alyssa, suaranya terdengar lirih dan penuh emosi.
Arka merangkul Alyssa, mencoba menenangkan istrinya yang kini tampak begitu rapuh. "Kita tidak akan membiarkannya mengambil Dito. Kita sudah menjadi keluarga bagi Dito, dan aku akan melakukan segala cara untuk melindungi kalian berdua."
Meskipun Arka berusaha menenangkan, Alyssa tetap merasa cemas. Dalam pikirannya, berbagai skenario buruk terlintas, membuat hatinya semakin berat. Ketakutan ini terasa begitu nyata dan terus menghantui, seolah setiap detik mereka bersama dengan Dito adalah waktu yang terancam.
Beberapa hari berikutnya, Alyssa merasa sulit tidur. Pikirannya dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan yang mengerikan, tentang bagaimana ia mungkin harus menghadapi ibu Dito suatu hari nanti.
Meskipun Arka selalu ada di sampingnya, kekhawatiran itu terus menghantui setiap waktu. Ketika ia melihat Dito bermain atau tidur lelap, rasa sayang dan takut bercampur dalam dirinya, seolah ia tak bisa sepenuhnya menikmati momen kebersamaan ini tanpa bayangan akan kehilangan yang selalu menghantui.
Alyssa pun sadar, bahwa ini bukan hanya tentang dirinya dan Arka, melainkan juga tentang masa depan Dito. Di tengah semua ketakutan ini, ia menyadari bahwa ia harus memperjuangkan cinta dan kehangatan yang ia rasakan terhadap anak itu, walau harus menghadapi tantangan besar di depannya.
Alyssa berusaha keras menenangkan hatinya sepanjang hari itu. Setelah telepon dari ibu Dito, pikirannya kacau, dan bayangan ancaman yang disampaikan tak kunjung hilang. Setiap kali ia melihat Dito bermain atau tersenyum, rasa takut kehilangan kembali menusuk dalam hati. Ia tahu bahwa ia harus kuat, tetapi perasaan cemas membuatnya sulit bernapas.
Malam harinya, Alyssa duduk di ruang tengah sambil memandang ke luar jendela. Udara dingin merayap masuk melalui celah-celah jendela yang sedikit terbuka, tapi pikiran Alyssa terlalu sibuk untuk merasakannya. Tak lama kemudian, Arka masuk dan duduk di sampingnya.
"Kau kelihatan sangat terganggu," kata Arka dengan suara lembut, berusaha menghibur.
Alyssa menghela napas panjang sebelum menatap Arka. "Aku... aku merasa takut, Arka. Takut bahwa ibu Dito akan benar-benar mengambilnya dari kita."
Arka menatap istrinya dalam-dalam, lalu meraih tangannya. "Kita sudah menjadi bagian penting dalam hidup Dito. Aku yakin, bahkan ibu kandungnya pun tidak bisa memisahkan kita begitu saja."
"Benar, tapi kita tahu dia memiliki hak sebagai ibu kandung Dito," balas Alyssa lirih. "Dan kalau dia berusaha menggunakan hukum untuk mengambilnya kembali, bagaimana kita bisa mencegahnya?"
Arka terlihat termenung sesaat, tapi kemudian menggenggam tangan Alyssa lebih erat. "Aku akan lakukan apa pun yang perlu untuk memastikan Dito tetap bersama kita. Dan aku tak akan membiarkan siapa pun menyakitimu."
Alyssa mengangguk pelan, tapi hatinya masih bergemuruh dengan kecemasan. Walaupun Arka berusaha keras menenangkannya, ia tahu bahwa keadaan ini bukan hal yang mudah diselesaikan hanya dengan kata-kata. Mereka membutuhkan lebih dari sekadar harapan untuk mempertahankan Dito di dalam keluarga mereka.
---
Beberapa hari kemudian, Alyssa memutuskan untuk berbicara dengan seorang pengacara untuk memahami hak mereka terkait situasi ini. Bersama Arka, mereka bertemu dengan pengacara keluarga yang sudah lama dipercaya.
Setelah mendengarkan cerita mereka, pengacara itu mengangguk dan berkata, "Secara hukum, ibu kandung memang memiliki hak, terutama jika tidak ada kesepakatan resmi atau surat adopsi yang mengikat. Namun, saya yakin kita bisa mencari solusi yang melindungi hak-hak kalian berdua sebagai orang tua pengganti."
Alyssa merasa sedikit lega mendengar itu, meskipun rasa cemas masih tersisa. Di satu sisi, ia ingin memastikan Dito tetap bersama mereka. Di sisi lain, ia tak bisa menyangkal perasaan simpatinya terhadap ibu kandung Dito, yang mungkin merasa terluka dan kehilangan.
Selama minggu-minggu berikutnya, Alyssa dan Arka terus mencari cara untuk memastikan keluarga kecil mereka tetap utuh. Mereka menghabiskan lebih banyak waktu bersama Dito, menjalin ikatan yang lebih erat dan penuh kasih sayang. Setiap kali Dito tertawa atau memeluk mereka dengan tulus, Alyssa merasakan semangat baru.
Meski ancaman itu masih menggantung di atas kepala mereka, ia tahu bahwa perasaannya terhadap anak itu takkan berubah. Mereka telah menjadi keluarga, dan Alyssa siap menghadapi apa pun yang akan terjadi untuk mempertahankan kebahagiaan mereka.