Setelah orang tua nya bercerai, Talita dan kedua adiknya tinggal bersama ibu mereka. Akan tetapi, semua itu hanya sebentar. Talita dan adik-adik nya kembali terusir dari rumah Ibu kandung nya. Ibu kandungnya lebih memilih Ayah tiri dan saudara tiri nya. Bukan itu saja, bahkan ayah kandung mereka pun menolak kedatangan mereka. Kemana Talita dan adik-adik nya harus pergi? Siapa yang akan menjaga mereka yang masih sangat kecil? Jawaban nya ada di sini. Selamat membaca. Ini novel kedua ku ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uul Dheaven, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Setelah membeli rice cooker dan kompor gas Talita pun membeli kasur tipis untuk mereka tidur nanti malam. Talita lebih dulu membersihkan kamar tidur agar adik-adik nya bisa beristirahat.
"Kak, panas."
"Sabar ya sayang. Nanti kakak belikan kipas angin kalau Tasya mau nurut. Oh ya, di dalam tas kakak ada kipas angin mini."
"Iya kak."
Tasya yang selama ini hidup enak dan di manja agak sulit menyesuaikan diri nya di rumah kontrakan itu.
Kamar nya yang cantik dan dingin membuat tidur nya terasa nyaman. Akan tetapi sekarang, ia harus tidur di kontrakan sempit, panas dan kadang banyak nyamuk nya.
"Sudah, jangan nangis lagi dong dek. Kan kasihan kak Talita. Dari tadi udah capek kesana kemari." Ucap Tania.
Tania yang sudah mulai duduk di bangku kelas lima sekolah dasar, sedikit banyak sudah mengerti permasalahan orang tua nya.
Tania memang lah pendiam, namun ia bukanlah tipe anak yang mudah memaafkan. Ia sangat sulit menangis setiap kali di pukul oleh anak tiri ibu nya.
Rasa sakit setiap kali di salahkan dan di beda-bedakan dengan anak tiri yang bernama Andi, karena mereka bersekolah di tempat yang sama.
Andi sangat iri kepada Tania yang pintar dan selalu juara. Oleh karena itu ia menyuruh ayah nya untuk mengusir mereka.
"Tasya kenapa?"
"Nggak tahu kak. Dari tadi manggil-manggil nama Ibu."
Talita sangat bingung. Bagaimana mungkin Ibu mereka akan datang. Mereka sudah di buang oleh Ayah dan Ibu yang dulu mengharapkan kehadiran mereka.
"Sini sama kakak sayang. Kamu mau apa?"
"Tasya mau sama Ibu. Di sini nggak ada Ibu. Tasya nggak mau kak."
"Mungkin Ibu udah tidur, jadi lupa kalau udah janji sama kita."
"Kenapa setiap hari Ibu lupa kak? Apa jangan-jangan Ibu udah nggak sayang lagi sama Tasya."
"Nggak gitu juga sayang."
Tasya terus menerus merengek dan sesekali menangis. Talita sudah tidak sanggup lagi menahan sesak yang ada di dada.
Ia tahan gengsi yang ada di hati, ia coba menghubungi Ibu nya. Apapun yang terjadi nanti, akan ia tanggung sendiri.
Tut....
Satu panggilan tidak terjawab.
Tut.....
Dua panggilan pun tidak terjawab.
Tut....
Dengan nafas yang memburu Naina menjawab panggilan anak nya.
"Ada apa kamu telepon malam-malam begini Talita!"
"Tasya nanyain Ibu terus dari tadi."
"Ya kamu bujuk dong. Gimana sih kamu ini."
"Aku bukan Ibu nya."
Tiba-tiba suara nafas Naina berubah menjadi desa han yang tertahan.
"Sayang, siapa sih yang nelpon? Cepat dong aku udah nggak tahan ni."
Suara Ayah tiri Talita terdengar saat ia sedang berbicara dengan Ibu nya. Talita sangat mengerti apa yang Ibu nya lakukan sehingga menciptakan suara-suara desa han demi desa han.
"Breng sek!"
Satu um patan berhasil ia lontarkan sebelum mengakhiri panggilan itu.
Ia meremas rambut nya kuat. Perasaannya sedang tidak baik-baik saja saat ini. Tidak mungkin Ayah tiri nya itu tidak tahu kalau ia yang menelpon.
Air mata lolos begitu saja. Ia bahkan tidak mempunyai kuasa menahan nya. Apa yang harus ia katakan kepada Adik nya.
"Mana Tasya?"
"Udah tidur kak kecapekan nangis."
"Yaudah, kamu juga tidur ya. Besok kakak temenin ke sekolah kamu yang baru."
"Kakak nggak sekolah?"
"Itu biar menjadi urusan kakak. Sekarang kamu tidur dulu."
Rumah kontrakan mereka terletak paling ujung. Rumah itu juga tidak terlalu dekat dengan rumah yang lainnya. Maka nya banyak tetangga yang tidak tahu kalau rumah yang selama ini kosong telah memiliki penghuni.
" Kakek, apa yang harus Talita lakukan sekarang. Talita nggak punya siapa-siapa lagi selain Tasya dan Tania." gumam nya lirih.