Raya, Jenny, Nabilla, dan Zaidan. Keempat gadis yang di sangat berpengaruh di salah satu sekolah favorit satu kota atau bisa dibilang most wanted SMA Wijayakusuma.
Selain itu mereka juga di kelilingi empat lelaki tampan yang sama berpengaruh seperti mereka. Karvian, Agam, Haiden, dan Dio.
Atau bagi anak SMAWI mereka memanggil kedelapannya adalah Spooky yang artinya seram. Karena mereka memiliki jabatan yang tinggi di sekolahnya.
Tentu hidup tanpa musuh seakan-akan tidak sempurna. Mereka pun memiliki musuh dari sekolah lain dimana sekolah tersebut satu yayasan sama dengan mereka. Hanya logo sekolah yang membedakan dari kedua sekolah tersebut.
SMA Rajawali dan musuh mereka adalah Geng besar di kotanya yaitu Swart. Reza, Kris, Aldeo, dan Nathan. Empat inti dari geng Swart dan most wanted SMAJA.
Selain itu ada Kayla, Silfi, Adel, dan Sella yang selalu mencari ribut setiap hari kepada keempat gadis dari SMAWI.
Dan bagaimana jika tiba-tiba SMAJA dipindahkan ke sekolah SMAWI?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon oreonaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 : Razia Osis
Malam menjelang pagi. Hari ini hari Jumat di mana hari yang sangat membosankan bagi anak SMA Wijayakusuma. Serta sudah empat hari berlalunya insiden kerusuhan antara anak Wijayakusuma dan Rajawali.
Setiap hari Senin serta Jumat pihak sekolah Wijayakusuma mengadakan razia pagi di depan gerbang. Sangat-sangat membosankan dan meresahkan. Bagi Jenny yang anaknya polos polos kalem itu tidak masalah. Tapi, apa ia harus no make up? Itu tidak bisa baginya. Make up adalah suatu harga diri baginya.
Berdiri di sebuah halte tepat di dekat SMA Wijayakusuma. Ia tidak masuk karena wajahnya ada make up, meskipun ia kakak kelas dan tingkat akhir. Pihak OSIS dan guru tidak akan mengampuni dengan sesuka hati.
Melirik ke arah gerbang yang sekarang semakin ramai. Siswa siswi antre untuk bisa masuk ke sekolah. Terlihat ada yang dihukum karena membawa make up, membawa permainan kartu, membawa hal-hal yang dilarang di sekolah ini.
Jenny menggeram kesal. Kapan ia bisa masuk ke dalam sekolah tanpa ia tertangkap? Ayo berpikir Jenny. Gunakan otak kecil mu ini.
Mendesah pelan. Oke ia menyerah jika disuruh berpikir di saat genting seperti ini. Sebenarnya bisa saja ia hapus make up-nya tapi, wajahnya akan terlihat pucat seperti orang sakit. Dan ia tidak ingin dipandang kasihan padahal ia tidak sakit. Hanya pucat jika tanpa make up.
Menatap ponselnya, ia ingin meminta tolong Agam tapi teman satu kelasnya itu sekaligus mas crush nya itu menggantikan Vian yang jaga di depan gerbang.
Kalau ada Raya gak bakal gue jadi gembel di depan halte. Batin Jenny.
“Sial amat hari ini gue.” Gumam Jenny. Duduk bersandar di halte.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia tatap layar lookscreen ponselnya, tertera nama Zai di sana. Ia tarik ikon warna hijau dan menempelkan ponselnya pada telinga kirinya.
“Heh! Lo di mana Cok?!”
“Bangsat! Gak usah ngegas.”
Jenny sedikit jauhkan ponselnya saat suara teriakan Zai terdengar.
“Gue di luar sekolah.”
“Ngapain di depan? Gak mau masuk Lo? OH! Gue tau, Lo mau bolos kan? Ngaku Lo!”
“Bacot anda! Gak usah nuduh Lo, gue slending baru tau rasa.”
“Bicit indi! Terus Lo kenapa gak mau masuk? 5 menit lagi bel goblok!”
“Lo ngatai gue goblok sekali lagi, awas Lo. Di depan kan ada OSIS, su. Wajah gue ada make up-nya.”
“Tinggal hapus aje susah amat! Nanti make up lagi di kelas, su.”
“Asu! Ada crus gue di depan ya goblok.”
“Mengaku anda!”
Jenny menggeram kesal. Menutup sepihak sambungan telepon pada Zai. Berengut kesal serta menggerutu tidak jelas.
Saat enak-enak mengumpat Zai dalam hati, ia dikagetkan oleh seseorang.
“WEH!”
Jenny terkejut dengan teriakan itu. Ia berdiri, menaruh kedua tangannya di pinggang dan melotot garang ke arah pelaku. Kris, sang pelaku yang membuatnya terkejut ini sedang menertawakannya.
“Heh! Gak usah ketawa bisa gak sih?”
Kris menggeleng dengan tawanya yang masih ada, “Sumpah, komik Lo gokil dah.”
Jenny menggeram kesal. Sudah kesal karena Zai dan sekarang ia tambah kesal karena Kris.
“Lo ngapain ngagetin hah?! Gue tumpuk pakek sepatu gue mau? Bikin jantung copot aja.”
Laki-laki itu memberhentikan tawanya dan menatap Jenny sinis. “Suka-suka gue dong, Lo juga ngapain masih di sini? Gak masuk? Mau bolos ya Lo?” Tuduh Kris.
“Fitnah!” Seru Jenny tidak terima.
Kris terkikik sebentar, “bercanda elah! Bikin serius mulu. Nih!” Kris menyerahkan sekotak tisu basah kepada Jenny.
Jenny mengernyit heran, “Apa?”
“Bersihin make up Lo,”
“Ih! Enggak mau gue.” Seru Jenny memotong ucapan Kris.
Kris memutar bola matanya malas, “Dengerin dulu gue, nih pakek Hoodie gue dulu. Pakek kudungnya, terus hapus make up Lo. Pakek sampai mau didepan gerbang, habis itu sampai situ buka. Habis itu gue anterin ke kamar mandi buat make up lagi wajah Lo. Gimana? Mau gak?” Jelas Kris.
Jenny melirik bergantian Kris dan Hoodie serta tisu basah. Kris mengangkat alisnya bertanya, “Kalau gak mau jug—“
“Sini cepetan!” Potong Jenny langsung menyambar Hoodie milik Kris dan memakainya.
Kris diam-diam tersenyum geli. Gadis itu pun memakai Hoodie milik Kris dan menaikkan topi Hoodie-nya dan mengusap tisu basah ke wajahnya. Jangan lupa ia membelakangi Kris.
“Sudah?” Tanya Kris saat Jenny membalikkan badannya menghadap dirinya.
Jenny mengangguk dan menyerahkan tisu basah itu kepada Kris. Jenny menatap Kris yang sedang memasukkan tisu basah yang tadi ia pakai ke dalam tasnya.
“Yuk.” Imbuhnya dibarengi tangan Kris menggandeng tangan mungil Jenny.
Jenny tersentak saat tangan besar Kris menggenggam tangannya. Detak jantungnya seketika berdekatan dua kali lebih cepat. Matanya pun membola. Menatap horor tangannya dan tangan Kris yang menggenggam erat.
Asu! Ini kenapa gandeng tangan gue bangsat?! Jantung gue disko ini ya ampun. Jenny menangisi dalam hati.
Keduanya pun sampai di depan gerbang. Berbaris karena masih ada antrean. Di depan, Kris masih menautkan jari-jarinya kepada jari-jarinya. Tubuh menjulang Kris membuat Jenny seperti anak ayam di baris belakang.
Kenapa laki-laki pada tinggi kayak tiang gitu ya? Gak adil banget dunia bah.
Genggaman keduanya terlepas karena saat ini Kris sedang di periksa. Udah kayak di bandara aja, pikir Jenny. Karena periksanya serta dalam kantong baju dan celana.
Sekarang dirinya, ia maju menaruh tas nya agar di periksa. Untung ia cerdik, tempat make up sudah ia taruh pada tempat paling aman di dalam tas dan tidak akan di temukan oleh orang biasa.
Dalam diam Jenny tersenyum jahat.
Nia, anak bahasa yang dikabarnya dekat dengan Agam dan sialnya satu organisasi (OSIS). Nia menatap datar Jenny, ia yang akan memeriksa dirinya.
Jenny membalas tatapan cueknya membuka tudung Hoodie-nya dan merentangkan kedua tangannya. Nia menatap wajah pucat Jenny dan menunaikan kewajibannya.
“Lanjut.” Ujar Nia datar.
Jenny menaikkan tudung Hoodie-nya kembali dan berjalan maju ke meja di mana tasnya berada. Dan Agam berada.
“Jen,” Panggil Agam.
Jenny yang sedang merangkul tasnya terhenti. Menatap Agam dengan alis naik ke atas, bertanya.
“Wajah Lo pucat, sakit?” Tanya Agam dengan nada khawatir meskipun wajahnya tidak memiliki ekspresi selain datar.
Jenny tersenyum tipis, “Enggak, wajah gue memang gini kalau enggak kasih make up.” Jawab Jenny.
Agam mengangguk, “Lo—“
“Jenny!”
Ucapan Agam terpotong oleh teriakan Kris. Jenny beralih pandangan dari laki-laki dingin itu ke Kris yang sedang berjalan menghampirinya.
“Apa?” Tanya malas Jenny. merangkul tasnya kembali.
“Udah kan, kuy.” Kris menggenggam tangan Jenny kembali tetapi genggam itu terlepas karena Agam dengan cepat menepis genggam tersebut.
Kris menatap datar Agam yang sekarang sudah berada di tengah mereka.
“Apa?” Tanya Kris dingin.
“Lo kenapa genggam-genggam tangan Jenny? Gak usah sokab.”
Kris mengernyit heran, “Gue memang akrab sama Jenny, iya kan Jen?” Kris menatap Jenny dengan senyum manisnya.
Jenny di belakang tubuh Agam pun memandang jijik Kris dan beralih tatapnya ke Agam yang masih dengan wajah datar. Jenny menghela nafas panjang. Serasa selingkuh, tapi enggak ada hubungan apa-apa dia sama Agam. Kapan Crush ku peka? Batin Jenny memelas.
“Iya kita kenal baru 30 menit yang lalu, karena Kris nolo—“
“Agam!”
Atensi ketiganya teralihkan kepada Nia, gadis pintar ke-2 selain Raya.
“Ya bentar.” Balas Agam. “Lo langsung masuk ke kelas, gak usah ke mana-mana.” Ujarnya pada Jenny sebelum ia menuju Nia. Mengusap rambut Jenny lembut.
Agam pun pergi meninggalkan Jenny dan Kris. Sedari tadi Jenny menatap Agam sejak Nia memanggil nama laki-laki di depannya ini. Ia juga menatap perubahan ekspresi yang membuat hatinya sedikit sakit, mungkin?
“Heh!” Sentak Kris menyenggol lengannya. Membuat Jenny yang masih menatap Agam dari tempatnya berdiri sejak tadi teralihkan.
“Apa sih? Ganggu aja.” Ujar Jenny kesal, berlalu pergi.
“Kok gue di tinggal sih, gak pren Lo.”
“Bodo!”
Kris menghela nafas. Kalau kalian pikir Kris tau apa yang tadi Jenny liat pun, benar adanya. Sedari tadi saja ia melihat wajah Jenny. Dan ia pun mengetahui sesuatu yaitu, Jenny suka dengan Agam tetapi Agam menganggap Jenny adiknya.
Ia tau semuanya dengan sekali lihat tatapan Agam kepada Jenny. Bukan tatapan lelaki kepada wanita tetapi kakak kepada adik.
Percintaan yang rumit. Pikir Kris sembari mengikuti langkah lebar Jenny.
...
...
“Menurut Lo gimana?”
“Hah? Gimana apanya?”
Zia menggeram kesal. Sedari tadi ia mengatakan panjang kali lebar sekolah ini sama sekali tidak masuk ke pendengaran Billa.
“Udahlah, kesel gue sama lu. Coba aja kalau Jenny ada, gak kesel gue cerita sama lu.” Gerutu Zai, menatap malas Billa yang sedang bermain game di ponselnya.
Billa pergi ke kelas Zai dikarenakan ia bosan sekaligus menemani Zai yang sedari tadi sendiri. Jenny belum kelihatan batang hidungnya juga.
“Eh! Raya masuk sekolah gak ya? Udah 4 hari loh dia gak masuk semenjak kejadian itu.” Tanya Billa dengan wajah murung.
Raya memang sudah tidak masuk sekolah semenjak kejadian itu sampai hari ini. Kemarin saat orang tua/wali ke sekolah pun, yang menghadiri menjadi wali Raya sekretaris Ayahnya.
Saat mereka bertanya ke mana Raya, Rafael sekretaris sekaligus tangan kanan Andreas –Ayahnya Raya—mengatakan hanya kondisi Raya sedang tidak sehat dan mengharuskan beristirahat.
Dan disaat pula mereka serta Vian dan antek-anteknya menjenguk Raya. Kedua satpam rumah Raya tidak memperbolehkan tamu sekaligus kehendak Andreas. Kejam memang.
“Iya ya, tapi untungnya mumpung gak ada Raya gak ada yang ganggu kita. Mak lampir juga pada kalem kelihatannya.” Balas Zai menopang dagunya. Billa mengangguk menimpali.
Sedang asik bermain game, Billa dikagetkan layar ponselnya berubah menjadi layar telepon. Dengan kesal tanpa melihat siapa yang menelepon dirinya. Ia mengangkat logo telepon warna hijau.
“Siapa? Ganggu aja, lagi enak-enakan main game juga ih!” Ujar Billa kesal.
Zai mendelik heran, “Goblok, salam dulu baru ngamok.”
Billa hanya mendengus menatap Zai. Ia menyatukan alisnya.
“Halo? Gak salah sambung kan ini?” Tanya Billa karena tidak ada sautan dari seberang sana.
“Kenapa?” Tanya Zai. Billa menggidikkan bahunya. “Coba speaker.”
Diangguki, Billa menekan tombol speaker dan meletakkan ponselnya di meja.
Zai menatap nomor asing yang tidak di simpan oleh Billa. “Halo? Siapa ya?”
Tetap tidak ada sahutan dari seberang sana. Sampai Billa ingin menekan tombol merah di layar ponselnya, suara yang dinantikan pun terdengar. Tetapi itu membuat keduanya terkejut.
“Ha-halo?”
“Bi-billa ini Raya.”