"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ravien Invansia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Tidak Tau Berterimaksih
Pak Ardi duduk di ruang guru, kopi hitam masih mengepul di tangannya.
slurp
Di sebelahnya, Bu Lina sibuk membolak-balik lembaran kertas, sesekali menghela napas kecil melihat catatan-catatan siswa yang menumpuk.
Pak Ardi meletakkan cangkirnya, pandangannya tertuju pada daftar nilai di atas meja. “Bu Lina, sudah lihat daftar nilai siswa kelas dua?”
Bu Lina menoleh, tatapannya penuh rasa ingin tahu. “Belum sempat. Ada yang menarik, Pak?”
Pak Ardi mengangguk pelan, matanya menelusuri beberapa nama di daftar itu. “Ada beberapa anak dari kelas A, B, dan C yang nilainya menonjol.”
Bu Lina mengangkat alis, tersenyum kecil. “Oh ya? Siapa saja?”
Pak Ardi mengambil selembar kertas, memandangnya sejenak. “Dari kelas 2A, ada Rina. Nilai matematikanya sempurna, benar-benar di atas rata-rata.”
Bu Lina terkekeh, mengangguk setuju. “Rina memang anak yang rajin. Tidak heran.”
Pak Ardi melanjutkan, “Lalu dari kelas 2B, ada Andi. Dia jago kalo soal berpikir dan bertindak sistematis, dia bisa jadi calon ilmuwan.”
Bu Lina tersenyum lebar. “Kalau Andi, dia kan aktif di klub sains. Anak itu memang punya bakat.”
Tiba-tiba, pintu ruang guru terbuka. Pak Joko masuk dengan langkah ringan, wajahnya cerah.
“Selamat pagi!”
Pak Ardi dan Bu Lina menyapa dengan anggukan kecil. “Selamat pagi, Pak Joko.”
Pak Joko menaruh tasnya di meja kosong, lalu mendekat. “Sedang bahas apa nih, pagi-pagi?”
Pak Ardi mengangkat daftar nilai itu lagi. “Kami sedang lihat-lihat siswa berprestasi dari kelas dua, Pak Joko.”
Pak Joko tersenyum lebar, tangannya menyambar cangkir dan mengisi dengan teh hangat.
gluk
gluk
“Wah, menarik. Siapa saja?”
Pak Ardi menyebut lagi, “Barusan kami bicara tentang Rina dan Andi.”
Pak Joko mengangguk pelan, menyesap teh. sruput “Oh, mereka memang anak hebat. Di kelas 2C, ada Siti. Nilai bahasanya tinggi.”
Bu Lina menepuk tangannya pelan. “Siti yang suka menulis puisi itu, kan? Anak berbakat.”
Pak Joko menyahut sambil menaruh cangkir. “Iya, kalau ada lomba karya tulis, dia selalu maju. Mereka anak-anak luar biasa, bisa jadi contoh.”
Pak Ardi tersenyum tipis. “Kalau bisa mereka dijadikan inspirasi buat yang lain.”
Pak Joko mengangguk setuju, lalu melirik Pak Ardi. “Tapi selain mereka, ada nggak anak-anak yang butuh perhatian khusus?”
Pak Ardi mendesah, tatapannya jadi serius. “Ada beberapa yang nilainya menurun, kelihatan dari laporan ini.”
Bu Lina menambahkan, “Iya, saya perhatikan juga begitu. Mungkin ada masalah, tapi mereka nggak bicara.”
Pak Joko kembali menyeruput tehnya, berpikir sejenak.
sruput
“Mungkin kita perlu bimbingan tambahan untuk mereka. Kelas sore atau sesi konsultasi, mungkin bisa membantu,” ujarnya dengan nada penuh pertimbangan.
Pak Ardi mengangguk, mengelus dagunya. “Setuju. Jangan sampai mereka makin tertinggal.”
Bu Lina melihat ke luar jendela, suara anak-anak berlarian samar terdengar dari jauh. “Anak-anak sekarang hadapannya jauh beda, masalahnya lebih kompleks.”
Pak Joko menatap ke arah yang sama, senyumnya kembali mengembang. “Itulah tugas kita, Bu. Membimbing mereka, supaya nggak kebingungan sendiri.”
Pak Ardi melirik ke arah jam dinding, menyadari waktu yang mulai bergulir cepat.
tik
tok
tik
tok
“Wah, sudah hampir waktunya masuk kelas.”
Bu Lina terkesiap, buru-buru membereskan kertas-kertasnya. “Betul juga, saya ada kelas pagi ini.”
Pak Joko berdiri, mengangkat cangkirnya sekali lagi sebelum mengosongkannya. “Saya juga, harus segera ke kelas.”
...----------------...
Ryan masih kesal. Di ruang guru, ia dimarahi saat menyerahkan hasil kerja kelompok tadi. Sekarang pelajaran kedua sudah dimulai, dan Bu Lina, guru ekonomi yang terkenal tegas, berdiri di depan kelas, menjelaskan materi. Sudah setengah jam berlalu, dan suara Bu Lina yang monoton mulai membuat mata beberapa siswa terlihat berat.
Bu Lina kemudian berhenti menjelaskan dan menuliskan empat soal di papan tulis. Suara kapur menggores permukaan papan.
srek
srek
Langkah Bu Lina terdengar tegas saat ia berjalan memeriksa satu per satu wajah siswa yang tampak bingung, sampai akhirnya pandangannya jatuh pada Ryan, yang terlihat melamun.
tap
tap
tap
"Ryan, perhatikan!"
Ryan tersentak, menatap ke arah guru dengan mata sedikit terbuka lebar.
"Maaf, Bu."
"Kamu tidak fokus sejak tadi. Coba maju ke depan, jawab pertanyaan ini." Bu Lina menuliskan soal yang terlihat rumit di papan, seperti sengaja membuat Ryan gugup.
Ryan menelan ludah, melihat angka-angka di depannya dengan perasaan gelisah.
Bu Lina mengetuk meja dengan pena, menunggu jawaban darinya.
tok
tok
tok
Ryan tahu, tidak ada yang bisa dilakukannya. Jawaban itu tidak akan pernah muncul di pikirannya. Ia hanya berdiri di sana, menatap papan tulis tanpa arah.
"Kenapa diam saja?" tanya Bu Lina, tatapan tajamnya menusuk.
Ryan merasa seluruh kelas menatapnya, menunggu dia melakukan sesuatu. Tapi bayangan bangku kosong di belakang, yang biasanya ditempati Hana, membuat pikirannya melayang. 'Oh iya, Hana absen hari ini,' gumamnya dalam hati. 'Mungkin aku perlu ke rumahnya nanti.'
Bu Lina semakin tidak sabar.
"Ryan!"
Ryan mengangkat kepalanya perlahan. "Ya, Bu. Maaf, saya tidak tahu jawabannya."
Suara Bu Lina terdengar penuh kekecewaan. "Kalau begitu, berdiri di luar sampai pelajaran selesai."
Ryan tidak protes. Dengan langkah berat, ia menuju pintu kelas dan keluar ke koridor yang sunyi. Ia berdiri di sana, bersandar di dinding, memandang ke arah halaman sekolah.
Angin berhembus lembut, meniup rambutnya.
whoosh
"Kenapa hari ini sial sekali," gumamnya, melihat ke arah ujung lorong. "Kenapa Hana tidak masuk? Apa dia sakit?"
Dia menggerutu kecil, menendang kerikil kecil di lantai koridor, melihatnya bergulir perlahan menjauh.
krek
"Harusnya tadi aku lebih fokus."
Dari ujung lorong, terdengar suara tawa samar dari kelas lain.
haha
hihi
Ryan merasa waktu berjalan lambat. Ia menatap langit mendung dari jendela koridor, menyaksikan awan gelap yang melayang pelan, membentuk pola yang tak bermakna.
'Kenapa sering hujan akhir-akhir ini?' Tanyanya dalam hati. Kemudian menatap awan gelap yang mulai berkumpul di luar jendela.
'Setelah ini, apa yang harus kulakukan?' pikirnya. Mungkin benar, ia perlu memastikan keadaan Hana setelah ini.
Bel istirahat berbunyi, menggema di sepanjang lorong.
kring!
Siswa-siswa mulai keluar dari kelas, melangkah melewati Ryan dengan tatapan aneh, seakan bertanya dalam hati kenapa dia ada di sana. Beberapa hanya mengangkat bahu dan berlalu begitu saja.
Cici berjalan mendekat. "Ryan, kamu kenapa berdiri di sini?"
Ryan hanya mengangkat bahu. "Dimarahi Bu Lina."
Cici mengangguk, tampak tidak terlalu terkejut. "Oh, begitu. Lain kali lebih fokus ya."
Ryan tersenyum kecil, getir. "Ya, terima kasih."
Cici pergi, meninggalkan Ryan sendiri lagi di lorong. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, meski kepalanya masih dipenuhi pikiran yang kacau.
"Semua orang sepertinya berjalan lancar, kecuali aku," gumamnya, mencoba mengusir rasa jengkel yang muncul.
Di dalam, ia masih menyimpan rasa kesal pada sikap Cici. Tatapan tajam dan komentar tegasnya tadi mengganggu Ryan. Padahal, dia membantu Cici tadi. Kenapa dia bersikap seolah-olah tidak peduli? Seakan tidak ada ucapan terima kasih, padahal Ryan yang menyelamatkan harga dirinya karena keterlambatan nya dan menggantikannya dimarahi di ruang guru.
Ryan hanya bisa menggelengkan kepala, merasa semua usahanya percuma. Dia masuk kembali ke kelas, melihat tasnya di meja.
Karena MC ada di semua bab, pakai POV bisa lebih mudah. Tapi nggak juga gpp.
Yang saya kurang suka kalau cerita multiplot tapi pakai POV 1 yang berganti-ganti.
Bahasa cerita menurut saya udah bagus, baik itu narasi ataupun dialog.
btw, banyak orang di kehidupan nyata terwakilkan Ryan. Biasanya itu pengalaman penulis lalu di dunia fiksi dia ganti dg tema fantasi misal dapat sistem atau masuk ke dunia game.