Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Enam - Cuek
Pagi harinya, Alvaro pulang dari rumah Cindi pukul setegah tujuh pagi. Alvaro sampai ketiduran di rumah Cindi, karena semalam memang Cindi ketakutan. Alvaro langsung ke kamarnya, kamar sudah terlihat sepi, tidak ada tanda-tanda kalau Amara berada di dalam kamar. Bergegas Alvaro keluar dari kamar, dan menuruni anak tangga dengan cepat. Alvaro ke belakang, kali saja istrinya masih berada di kebunnya. Tapi, nihil hasinya. Tidak ada Amara di sana, kebun sudah terlihat bersih, dan basah, karena pagi-pagi sekali Amara sudah membersihkan dan menyiraminya.
“Bi, Amara kok gak ada, ya? Di mana dia?” tanya Alvaro pada salah satu asisten di rumahnya.
“Ibu sudah berangkat dari jam enam tadi, Pak,” sahutnya.
“Oh begitu, ya sudah,” ucapnya dengan sedikit kecewa.
“Pak, Bu Amara sudah menyiapkan sarapan, bapak tidak sarapan dulu?”
“Nanti saja. Saya mau ke kamar lagi, mau istirahat,” jawabnya.
“Bapak tidak ke kantor?”
“Tidak, nanti siangan saja,” jawabnya.
Alvaro kembali masuk ke kamarnya. Ia memilih untuk tetap di rumah, mengistirahatkan tubuhnya yang terasa sangat lelah. Semalam ia tidak tidur sama sekali karena harus menjaga Cindi.
^^^
Di kantor, Amara tengah duduk sendiri di rooftop sambil meminum minuman yang ia beli di kantin. Masih pagi-pagi Amara sudah dilanda galau hatinya. Apalagi semalam di menangisi hidupnya yang tak pernah dicintai suaminya. Namun pagi ini ia sudah sadar, bahwa dirinya memang harus melepaskan hidup yang membuatnya sakit setiap harinya.
Amara harus segera mengakhiri semuanya. Mau sampai kapan dia terus berharap suaminya mencintai dirinya? Sedangkan suaminya saja tak pernah menganggap dirinya ada, dirinya hanya dijadikan bahan pelampiasan saja selama ini.
“Pagi-pagi sudah melamun di atas rooftop? Ngapain sih? Jangan bilang mau bunuh diri, ya?” ucap seorang laki-laki yang tiba-tiba muncul di belakang Amara.
“Eh kamu, Rud? Siapa juga sih yang mau bunuh diri? Di sini tenang banget rasanya,” ucap Amara.
Rudi mendekati Amara dan duduk di sebelahnya. Dia baru saja berangkat, tapi saat mau ke ruang kerjanya, dia melihat Amara menaiki tangga yang arahnya ke rooftop.
“Apa pun masalahnya, jangan berpikiran aneh-aneh, Ra. Aku tahu masalah keluarga apalagi sudah berkeluarga pasti pelik. Cari solusinya, jangan sampai punya pikiran untuk loncat dari sini. Selesaikan baik-baik dengan suamimu, bisa kan bicara baik-baik?”
“Rud ... Rud ... siapa yang sedang punya masalah? Siapa juga yang mau loncat dari sini? Aku masih waras, masih panjang jalanku, dan masa depanku. Kayak anak kecil putus cinta saja sampai mau mengakhiri hidupnya?” ucap Amara dengan terkekeh.
“Gitu dong ketawa? Aku tahu kamu punya banyak masalah, kalau tidak mata kamu gak akan sembab gitu, Ra?”
“Aku semalam gak tidur sama sekali, diganggu suamiku!”
“Enak ya punya suami, sampai lembur gak tidur?”
“Sudah Rud, sudah mau mulai kerja. Aku duluan, ya?”
Amara meninggalkan Rudi di rooftop. Sudah cukup lega hatinya, walaupun masih saja dalam hatinya terus bertanya-tanya, apakah suaminya masih bersama Cindi di rumah Cindi. Amara menuruni anak tangga sambil terus memikirkan suaminya itu.
“Sudah Amara, ngapain sih mikirin orang yang tak berperasaan? Saatnya kamu bangkit , kamu harus semangat, kamu jangan begini! Katanya sudah tidak mau mengurusi perbuatan Alvaro lagi?” batin Amara.
^^^
Amara sampai di ruang kerjanya. Dari tadi Dewi memperhatikan Amara terus sambil senyam-senyum sendiri melihat Amara yang sedang mempersiapkan diri untuk mulai kerja.
“Kamu dari tadi lihatin aku sambil senyum-senyum kenapa sih, Wi?”
“Hmmm .... suamimu ganas juga ya, Ra? Pasti semalam hot banget kalian?”
Mata Amara mendelik mendengar ucapan Dewi. Ia tidak habis pikir Dewi bisa menebak apa yang dirinya dan suaminya lakukan semalam.
“Memang kenapa, Wi?”
“Lehermu mereh tuh? Suamimu ganas juga ya, Ra? Uhh hot banget pasti!” ucap Dewi dengan berbisik.
“Eh masa , Wi?” ucap Amara gugup.
“Nih kaca, lihat saja sendiri!” Dewi memberikan kaca pada Amara, Amara tidak tahu kalau di lehernya banyak sekali bekas merah yang Alvaro tinggalkan semalam. Dengan malu, Amara tersenyum pada Dewi.
Amara tidak menyadari kalau suaminya meninggalkan bekas merah di lehernya begitu banyak. Beruntung sekali ia membawa syal yang cocok untuk dipadukan denga baju kerjanya kali ini. Ia memakainya langsug. Dewi masih senyam-senyum melihat kelakuan Amara yang malu.
Amara pun masih teringat permainannya semalam dengan suaminya yang begitu bergairah. Bahkan dengan perhatian Varo menyiapkan makanan untuk dirinya setalah bercinta. Namun, ujungnya berakhir menyakitkan, karena Varo malah memilih perempuan itu.
^^^
Amara baru saja sampai rumah. Ia langsung menaiki anak tangga untuk ke kamarnya. Amara terkejut melihat suaminya yang sudah pulang lebih dulu dari kantor. Varo terlihat sedang tertidur, entah laki-laki itu pulang jam berapa tadi, Amara gak mau tahu, apalagi ia masih ingat kejadian menyakitkan semalam.
Amara memilih langsung ke kamar mandi untuk membersihkan badannya. Setelah selesai, ia mengambil baju santai untuk ia pakai. Alvaro sudah bangun, ia memerhatikan Amara yang sedang menyisir rambutnya. Tidak ada sapaan dari Amara, ia tidak mau menyapa suaminya lebih dulu, karena ingat kejadian semalam. Amara memilih keluar kamar, daripada harus berlama-lama di kamar dengan keadaan Alvaro sudah bangun. Sedangkan Varo menatap diam istrinya yang sedikit cuek. Menurut Varo ini adalah suatu keanehan, pasalnya istrinya tidak pernah secuek ini. Meski jarang sekali Alvaro menjawab sapaannya dengan benar, saat Amara menyapanya, tetap saja Alvaro merasa aneh dengan sikap istrinya saat ini.
^^^
Amara memilih ke kebun, ia bersantai dengan menikmati hijaunya sayuran yang segar, juga bunga mawar merah yang sedang merekah. Di bagian paling belakang adalah rumah untuk para pelayan di rumah. Rumah suaminya begitu sagat megah, mewah, besar dan luas sekali.
Dulu Amara ingin sekali menghidupkan suasana rumah suaminya itu dengan tangisan bayi, akan tetapi suaminya tidak mau dirinya hamil. Alvaro bahkan menyuruh Amara memasang alat kontrasepsi, karena tidak ingin Amara hamil. Lebih tepatnya Alvaro tidak ingin punya anak dari Amara. Sekarang Amara tahu kenapa Alvaro tidak mau memiliki anak darinya. Amara juga semkin yakin, cepat atau lambat dirinya akan meninggalkan rumah suaminya itu.
“Ibu sudah pulang?” tanya Bi Asih yang memang baru melihat majikannya pulang.
“Iya, baru beberapa menit sih?” jawab Amara.
“Ibu sudah lihat Bapak?”
“Sudah, lagi tidur bapak,” jawab Amara.
“Maaf, Bu, apa Bapak sudah bangun? Soalnya dari pagi bapak di kamar terus sampai sekarang tidak keluar kamar. Bibi sudah membangungkan, tapi bapak masih belum keluar kamar. Bapak kan belum makan dari pagi, tidak sarapan dan makan siang,” jelas Bi Asih.
“Loh apa bapak gak kerja?” tanya Amara.
“Tidak, Bu. Tadi pagi pas pulang bapak nanyain ibu, terus bapak masuk kamar, dan gak keluar-keluar sampai sekarang. Bibi khawatir bapak kenapa-napa, sakit atau pingsan mungkin?”
“Paling sebentar lagi bapak keluar kalau sudah bosan di kamar. Gak usah khawatir, bapak gak apa-apa kok kelihatannya?” ucap Amara yang sok tidak mau peduli pada suaminya, padahal dia sedikit khawatir karena suaminya tidak makan dari pagi.
Asih sampai heran degan sikap majikannya itu. Biasanya Amara sangat khawatir kalau mendengar suaminya tidak makan dari pagi, bahkan selalu menyiapkan kebutuhanya setiap hari. Namun sekarang, Asih sudah tidak melihat Amara masak lagi, ke dapur paling menyuruh Asih untuk masak, bahkan jarang sekali makan bersama dengan suaminya. Padahal selama tiga tahun lamanya hidup dengan Alvaro, Amara tidak pernah meninggalkan kegiatannya itu, yang sudah menjadi kewajibannya.