"Pokoknya aku mau Mama kembali!"
"Mau dibawa kemana anakku?!"
"Karena kau sudah membohongi puteriku, maka kau harus menjadi Mamanya!"
Tiba-tiba menjadi mama dari seorang gadis kecil yang lucu.
"Tapi, mengapa aku merasa begitu dekat dengan anak ini ya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linieva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Sepuluh
Sadewa baru menemani puterinya untuk tidur, dan karena sudah tidur, dia ingin keluar dari kamar Anisha.
“Sadewa, ada yang-
“Akkhhh!! Astaga!” Sadewa terkejut ketika tiba-tiba ada suara yang muncul dari belakangnya ketika dia ingin menutup pintu. Sadewa menghela napas dan mengelus dada ketika melihat wajah Alisha, “Apa yang kau lakukan di sini??” tanyanya kesal.
“Maaf, aku membuatmu kaget ya?”
“Maaf? Tapi aku tidak melihat ada rasa bersalah diwajahmu tuh?”
“Oh ya? Tapi aku benar-benar minta maaf loh. Aku gak sengaja, aku pikir kamu sudah melihatku, ternyata tidak ya?”
“Ada apa? Apa yang ingin kau bicarakan?” napasnya kembali normal, dan volume suaranya rendah.
“Itu, aku ingin mengatakan kalau-
“Jangan di sini, kita pindah ketempat lain.”
“Ya? Oke. Di mana?”
“Ikut aku!”
‘Ih, kenapa mereka malah pergi sih? Kan aku ingin dengar, mereka mau ngomong apa. Kalau aku dapat informasi, aku bisa dapat uang dari nona Miranda.’ Rupanya Dewi yang tadinya tidak sengaja, menguping dan mengintip Sadewa dan Alisha.
“Masuk.” Suruhnya ketika membuka pintu ruang kerjanya.
Setelah masuk ruangan, Alisha melihat sekitar ruangan yang cukup luas, ada rak buku yang lebar.
“Wah, aroma-aroma tumpukan kerjanya kuat banget ya.” dia bicara pada dirinya sendiri, tapi Sadewa bisa mendengarnya, “Karena aku orang yang sangat sibuk. Cepat katakan padaku, apa urusanmu tadi?” Sadewa sudah duduk di sofa kulit berwarna hitam.
Alisha juga ikutan duduk didepan, mereka saling berhadapan, hanya berbatasan dengan mejanya saja.
“Jadi begini, aku ingin pergi besok.”
“Apa?? Kau mau ke mana? Apa kau sudah menyerah dan melepaskan semua ini?”
“Bukan, bukan begitu. Aku hanya ingin pergi menemui kakak-ku dulu. Lagipula, aku sudah satu bulan di sini, kan kamu bilang, dalam satu bulan, boleh libur empat hari? Kamu gak lupa kan? Kita sudah sepakat loh.”
“Hm, aku tahu. Besok?”
“Iya. Besok, kau kan libur. Jadi, bagaimana kalau kau yang menjaga Anisha seharian, sementara itu, aku bisa pulang? Aku juga rindu dengan keponakanku yang lucu.”
“Keponakan?” tatapan tajam dari mata Sadewa.
“Iya, anak dari kakak-ku. Dia juga lucu, usianya enam tahun. Namanya-
“Aku tidak perduli.” Dia menyela kalimat Alisha.
“Hah? Apa? Padahal kan tadi kamu yang tanya.”
“Kan kau bisa menjawbanya, ‘Ada atau Tidak’? Tidak perlu kasih tahu berapa umur dan namanya.”
“Iya, iya, terserahmu saja. Pokoknya, besok aku ingin pulang, dan kembali ke sini, besok paginya.”
“Apa kau tidak bisa pulang sebelum malam?”
“Sorry, aku tidak bisa. Ingat, kita sudah membuat perjanjiannya. Dan juga… gajiku, kau tidak lupa kan? 20 juta loh?”
“Ck, kau cek saja dulu M-bankingmu itu. Jangan asal bunyi sebelum mengeceknya.”
“Oh? Apa maksudnya, kau sudah mentransfernya?”
“Aku bilang, kau cek saja!”
“Iya, iya, ini juga lagi mau lihat. Kenapa sih kau mudah sekali marah? Cepat tua loh.” Tangannya juga sibuk mengecek ponselnya.
Disaat Alisha memerika ponselnya, diam-diam Sadewa menatapnya. Lagaknya, dia membaca buku, tapi itu hanya pura-pura saja.
‘Kalau dia pergi besok, apa yang akan aku katakan pada Anisha?’
“Sudah masuk ternyata. Wah.. kau senang banget dapat gaji. Terima kasih ya, saudara Sadewa yang terhormat. Saya senang sekali bekerja sama dengan anda.”
“Jangan sok bicara sopan. Kau bicara begitu karena kau mendapatka apa yang kau inginkan.”
“Kan memang itu upahku yang kamu janjikan. Tidak bicara sopan pun, aku tetap harus mendapatkan hak-ku kan?” Alisha menyimpan ponselnya lagi, “Baiklah. Karena urusannya sudah selesai, aku mau kembali ke kamarku dulu, sekalian mau bersiap-siap.”
“Jam berapa kau besok pergi?” tanya Sadewa.
“Jam enam pagi. Kenapa? Tidak boleh?”
“Kenapa harus di jam segitu? Kau kan bisa pergi jam 10an?”
“Waduh, gak bisa dong, mohon maaf. Capek di jalan yang ada. Kalau aku pergi pagi jam enam, Anisha tidak akan sempat melihatku, dan tidak akan merengek. Bukankah lebih bagus aku perginya jam segitu?”
Sadewa menyerah membujuknya, “Ya,baiklah. Jangan sampai kau tidak pulang ke sini, aku akan membuang barang-barangmu.” Sadewa juga ikut berdiri.
“Buang barang? Kejam sekali. Kalau begitu, bagaimana kalau aku bawa koperku saja? Aku kan hanya punya itu saja?” Alisha balik nantang Sadewa, yang dia yakin tidak akan berani.
“Berani kau?” Sadewa memelototinya.
“Ya… coba saja. Oke, aku pergi dulu. Selamat malam, Tuan Sadewa, sampai jumpa lagi.” Alisha tidak mau bertengkar lagi dengannya, makanya dia cepat-cepat pergi.
‘Hah… kenapa aku harus berurusan dengan perempuan seperti dia?’
“Asik, dapat gaji. Aku memang punya uang, tapi kalau ada dana masuk kayak gini, siapa yang gak senang kan? Hm… apa aku keluar dulu sebentar? Kan masih jam segini.”
“Oke, aku pergi keluar dulu deh. Sekalian beli buah tangan untuk mereka.” Padahal sudah didepan pintu kamarnya, tapi berbalik badan, tidak jadi masuk.
‘Oh… jadi, dia baru dapat gaji. Dan… dia bukan mama kandungnya Anisha?’
‘Pantas saja dia merebut kerjaanku, biar gak dibilang malas kerja kan?’
‘Dasar, mata duitan.’ Dewi tidak sengaja mendengar omongan Alisha.
Tanpa berganti pakaian, Alisha pergi keluar. Dari atas jendela kamar, Sadewa melihatnya, “Apa? Mau ke mana wanita itu lagi, malam begini?”
“Apa dia mau kabur? Tapi gak bawa apa-apa. Dia selalu saja melakukan yang dia suka.”
*
“Akh…. Gak mau! Aku mau sama mama! Mama mana? Hiks… hiks… hiks…”
“Non! Jangan menangis terus dong. Nona kan sudah dewasa, kenapa suka sekali menangis?”
Anisha ingin berhenti menangis walau tetap ingin merajuk karena Dewi yang membentaknya. Anisha takut, tapi masih berkeras hati.
“Ada apa ini? Dari luar, aku sampai bisa mendengar suaranya.” Sadewa masuk ke kamar Anisha.
“Papa!” Anisha berlari untuk memeluk Sadewa.
“Anisha, kamu kenapa? Pagi begini kamu menangis.” Dia menggendong Anisha, dan mengusap airmatanya.
“Papa, mama mana? Kenapa aku tidak melihat mama? Kata… kata mba Dewi, Mama udah peylgi. Mama peylgi ke mana?” Anisha masih menangis sesunggukan. Sadewa melihat tajam pada Dewi, pengasuhnya itu menunduk.
“Mama kamu ada urusan sebentar di luar, Sayang. Nanti juga dia pulang kok.”
“Bohong! Papa bohong kan? Apa Papa usiyl Mama?”
“Gak, Papa gak mengusir mama-mu. Dia bilang sendiri kalau lagi ada urusan. Sengaja pergi pagi-pagi, biar gak menganggumu yang sedang tidur.”
Untungnya Anisha percaya. Tangisannya berkurang dan menyandarkan kepalanya didada Sadewa.
“Nah, sekarang, kamu mandi dulu ya. Nanti, sarapan bersama Papa.” Sadewa menurunkan Anisha lagi.
“Ayo Non, mari saya mandikan dulu.”
“Papa…” rasanya, dari raut wajah Anisha, dia tidak ingin pergi bersama pengasuhnya. Tapi, dia juga tidak ingin papanya memarahinya karena terlalu manja.
*
“Apa? Anak itu memanggilmu, ‘Mama’? Kau yakin anak itu bukan anakmu yang kau sembunyikan?”