Nadia, seorang siswi yang kerap menjadi korban bullying, diam-diam menyimpan perasaan kepada Ketua OSIS (Ketos) yang merupakan kakak kelasnya. Namun, apakah perasaan Nadia akan terbalas? Apakah Ketos, sebagai sosok pemimpin dan panutan, akan menerima cinta dari adik kelasnya?
Di tengah keraguan, Nadia memberanikan diri menyatakan cintanya di depan banyak siswa, menggunakan mikrofon sekolah. Keberaniannya itu mengejutkan semua orang, termasuk Ketos sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Malam begitu cepat berlalu. Pagi tiba dengan sinar matahari yang indah.
Pagi itu, suasana sekolah terasa berbeda. Semua mahasiswa berkumpul di aula, wajah-wajah mereka dipenuhi rasa penasaran. Di atas panggung, Steven, ketua OSIS yang dikenal tegas dan berwibawa, berdiri dengan wajah serius. Di sampingnya berdiri beberapa guru, termasuk kepala sekolah.
Lonceng berbunyi, menandakan pengarahan dimulai. Steven melangkah maju ke depan mikrofon, matanya menyapu seluruh ruangan. Sorot matanya tajam, seolah mencari seseorang.
"Selamat pagi, teman-teman," kata Steven membuka pembicaraan. Suaranya terdengar tegas, membuat aula yang sebelumnya ramai menjadi hening. "Saya di sini bukan untuk memberikan pengumuman biasa. Hari ini, saya ingin membahas sesuatu yang serius, sesuatu yang harus dihentikan segera: perundungan."
Hening seketika. Beberapa mahasiswa saling pandang, sebagian mulai gelisah.
"Belakangan ini, saya mendengar dan bahkan menyaksikan sendiri tindakan perundungan yang terjadi di sekolah ini. Sebagai ketua OSIS, saya tidak akan tinggal diam. Perundungan bukan hanya melanggar aturan sekolah, tetapi juga melukai hati dan mental seseorang. Itu tidak bisa ditoleransi!"
Cici, yang duduk di barisan tengah bersama Imel dan Dina, langsung menegang. Wajahnya berubah pucat, namun dia mencoba memasang ekspresi santai.
Steven melanjutkan, "Saya sudah berbicara dengan kepala sekolah, dan mulai hari ini, aturan baru akan diberlakukan. Siapapun yang terbukti melakukan perundungan, apapun bentuknya, akan langsung dikeluarkan dari sekolah tanpa peringatan!"
Ruangan menjadi riuh. Bisikan-bisikan mulai terdengar, sebagian besar kaget dan tak menyangka aturan seketat itu akan diterapkan.
"Diam!" suara kepala sekolah menggelegar, membuat aula kembali sunyi. "Saya mendukung penuh keputusan Steven. Sekolah ini harus menjadi tempat yang aman bagi semua siswa. Tidak ada tempat untuk mereka yang menyakiti orang lain. Kami akan memulai investigasi, dan jika ada yang terlibat dalam kasus ini, bersiaplah menerima konsekuensinya."
Cici tidak takut akan hal itu.Imel dan Dina saling melirik, wajah mereka penuh ketakutan.
Steven menatap lurus ke arah tempat Cici duduk, seolah sengaja mengunci pandangan dengan gadis itu. "Dan bagi kalian yang menjadi korban, jangan takut untuk berbicara. OSIS dan pihak sekolah akan melindungi kalian. Jangan biarkan pelaku merasa menang karena kalian diam."
Nadia, yang duduk di sudut aula, menunduk. Dia bisa merasakan tatapan Steven yang penuh makna. Kata-katanya terasa seperti dorongan besar untuknya, namun dia belum berani mengambil langkah.
Setelah pengarahan selesai, aula perlahan kosong. Namun, Cici tetap duduk di tempatnya, matanya kosong, dan wajahnya pucat pasi. Imel menepuk bahunya. "Ci, gimana ini? Kalau ketahuan, habis kita!"
Cici menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. "Diam. Jangan panik. Mereka nggak punya bukti. Selama Nadia tetap diam, kita aman." Saya bisa mengatasi itu semua, itu hanyalah masalah sepele.
Setelah aula perlahan mulai kosong, suasana yang tadinya riuh berubah menjadi sunyi. Namun, Cici tetap duduk di tempatnya, wajahnya penuh keyakinan meski hatinya berdebar kencang. Imel dan Dina memandangnya dengan cemas, tetapi Cici memberikan isyarat dengan tangannya agar mereka tenang.
"Sudah cukup. Aku akan menyelesaikan ini," ujar Cici dengan suara pelan namun dingin.
Dengan langkah yang mantap, Cici berdiri dan berjalan menuju panggung, melewati para mahasiswa yang masih berkumpul di tepi aula. Suasana aula yang sudah mulai tenang kembali menjadi tegang. Semua mata tertuju pada gadis itu. Langkahnya begitu percaya diri, dan sorot matanya tak menunjukkan rasa gentar sedikit pun.
Steven, yang masih berdiri di dekat mikrofon, langsung menegapkan tubuhnya. Sorot matanya, yang tadinya penuh wibawa, kini tampak waspada. Guru-guru yang berdiri di belakang Steven mulai saling berbisik, sementara kepala sekolah tampak gelisah.
"Permisi," suara Cici memecah keheningan. Ia melangkah ke panggung tanpa menunggu izin. Para guru tampak ragu untuk menghentikannya, sementara kepala sekolah tampak mengernyit, seolah menyadari siapa yang sedang berjalan mendekat.
"Cici, apa yang kamu lakukan?" tanya Steven dengan nada tajam, mencoba mempertahankan kendali situasi.
Namun, Cici mengabaikannya. Dia langsung berdiri di hadapan kepala sekolah, menatapnya tanpa rasa takut. "Bapak kepala sekolah," ucapnya dengan nada yang tenang namun penuh tekanan, "Saya hanya ingin memastikan bahwa tindakan Anda dan aturan baru ini tidak merugikan orang yang salah."
Wajah kepala sekolah tampak tegang. Ia menelan ludah, lalu menjawab dengan suara yang sedikit bergetar, "Tentu saja. Semua tindakan kami berdasarkan bukti dan keadilan."
Cici tersenyum tipis. Senyum yang membuat suasana semakin mencekam. "Bagus. Karena, saya yakin Bapak tahu siapa saya. Saya Cici Arhan, putri dari Pak Arhan dan Bu Rita. Donatur terbesar di sekolah ini. Tanpa beasiswa dari mereka, banyak siswa di sini mungkin tak akan bisa melanjutkan pendidikan."
Ruangan menjadi sunyi. Guru-guru tampak gelisah, beberapa dari mereka bahkan melangkah mundur. Steven masih berdiri tegak, tetapi rahangnya terlihat mengeras.
"Saya ingin memastikan," lanjut Cici dengan nada dingin, "bahwa sekolah ini tidak gegabah dalam membuat keputusan. Jika sampai ada tindakan yang merugikan saya atau teman-teman saya tanpa bukti yang jelas, saya yakin Ayah saya tidak akan segan-segan menarik dukungannya."
Kepala sekolah menunduk, jelas terlihat takut. "Tentu, kami akan sangat berhati-hati, Cici. Kami menghargai dukungan keluarga Anda."
Cici menatapnya tajam, lalu berbalik menghadap Steven. "Dan untukmu, Steven, pastikan kau tidak membuat tuduhan tanpa bukti. Karena aku tidak akan tinggal diam."
Steven tidak menjawab. Dia hanya menatap Cici dengan tatapan penuh tekad, meski jelas ada ketegangan di wajahnya.
Setelah merasa puas dengan reaksi mereka, Cici turun dari panggung dengan langkah anggun. Aula terasa seperti diliputi hawa dingin. Imel dan Dina menyambutnya dengan wajah lega, sementara mahasiswa lain hanya bisa menatap dengan campuran rasa takut dan kagum.
Di sudut ruangan, Nadia memperhatikan semuanya. Ia merasa dilema. Di satu sisi, ia merasa ketakutan pada kekuasaan yang dimiliki Cici, namun di sisi lain, kata-kata Steven tadi terus terngiang di benaknya.
"Jangan biarkan pelaku merasa menang karena kalian diam."
Setelah aula perlahan mulai kosong, suasana yang tadinya riuh berubah menjadi sunyi. Namun, Cici tetap duduk di tempatnya, wajahnya penuh keyakinan meski hatinya berdebar kencang. Imel dan Dina memandangnya dengan cemas, tetapi Cici memberikan isyarat dengan tangannya agar mereka tenang.
"Sudah cukup. Aku akan menyelesaikan ini," ujar Cici dengan suara pelan namun dingin.
Dengan langkah yang mantap, Cici berdiri dan berjalan menuju panggung, melewati para mahasiswa yang masih berkumpul di tepi aula. Suasana aula yang sudah mulai tenang kembali menjadi tegang. Semua mata tertuju pada gadis itu. Langkahnya begitu percaya diri, dan sorot matanya tak menunjukkan rasa gentar sedikit pun.
Steven, yang masih berdiri di dekat mikrofon, langsung menegakan tubuhnya. Sorot matanya, yang tadinya penuh wibawa, kini tampak waspada. Guru-guru yang berdiri di belakang Steven mulai saling berbisik, sementara kepala sekolah tampak gelisah.
"Permisi," suara Cici memecah keheningan. Ia melangkah ke panggung tanpa menunggu izin. Para guru tampak ragu untuk menghentikannya, sementara kepala sekolah tampak mengernyit, seolah menyadari siapa yang sedang berjalan mendekat.
"Cici, apa yang kamu lakukan?" tanya Steven dengan nada tajam, mencoba mempertahankan kendali situasi.
Namun, Cici mengabaikannya. Dia langsung berdiri di hadapan kepala sekolah, menatapnya tanpa rasa takut. "Bapak kepala sekolah," ucapnya dengan nada yang tenang namun penuh tekanan, "Saya hanya ingin memastikan bahwa tindakan Anda dan aturan baru ini tidak merugikan orang yang salah."
Wajah kepala sekolah tampak tegang. Ia menelan ludah, lalu menjawab dengan suara yang sedikit bergetar, "Tentu saja. Semua tindakan kami berdasarkan bukti dan keadilan."
Cici tersenyum tipis. Senyum yang membuat suasana semakin mencekam. "Bagus. Karena, saya yakin Bapak tahu siapa saya. Saya Cici Arhan, putri dari Pak Arhan dan Bu Rita. Donatur terbesar di sekolah ini. Tanpa beasiswa dari mereka, banyak siswa di sini mungkin tak akan bisa melanjutkan pendidikan."
Ruangan menjadi sunyi. Guru-guru tampak gelisah, beberapa dari mereka bahkan melangkah mundur. Steven masih berdiri tegak, tetapi rahangnya terlihat mengeras.
"Saya ingin memastikan," lanjut Cici dengan nada dingin, "bahwa sekolah ini tidak gegabah dalam membuat keputusan. Jika sampai ada tindakan yang merugikan saya atau teman-teman saya tanpa bukti yang jelas, saya yakin Ayah saya tidak akan segan-segan menarik dukungannya."
Kepala sekolah menunduk, jelas terlihat takut. "Tentu, kami akan sangat berhati-hati, Cici. Kami menghargai dukungan keluarga Anda."
Cici menatapnya tajam, lalu berbalik menghadap Steven. "Dan untukmu, Steven, pastikan kau tidak membuat tuduhan tanpa bukti. Karena aku tidak akan tinggal diam."
Steven tidak menjawab. Dia hanya menatap Cici dengan tatapan penuh tekad, meski jelas ada ketegangan di wajahnya.
Setelah merasa puas dengan reaksi mereka, Cici turun dari panggung dengan langkah anggun. Aula terasa seperti diliputi hawa dingin. Imel dan Dina menyambutnya dengan wajah lega, sementara mahasiswa lain hanya bisa menatap dengan campuran rasa takut dan kagum.
Di sudut ruangan, Nadia memperhatikan semuanya. Ia merasa dilema. Di satu sisi, ia merasa ketakutan pada kekuasaan yang dimiliki Cici, namun di sisi lain, kata-kata Steven tadi terus terngiang di benaknya.
Setelah ketegangan itu, kepala sekolah segera mengambil alih mikrofon untuk menenangkan suasana.
"Baik, semuanya, cukup untuk hari ini. Kalian semua bisa kembali ke kelas masing-masing," ucap kepala sekolah dengan nada datar, meskipun wajahnya masih menunjukkan ketegangan.
Para siswa mulai beranjak meninggalkan aula dengan berbagai ekspresi. Ada yang terlihat penasaran, ada yang khawatir, namun tak sedikit yang terdiam, masih memikirkan apa yang baru saja terjadi.
Steven tetap berdiri di panggung, tatapannya mengamati sosok Cici yang berjalan keluar aula bersama Imel dan Dina. Wajahnya tampak serius, penuh dengan pertanyaan dan keraguan. Setelah aula benar-benar kosong, Steven mendekati kepala sekolah yang masih berdiri bersama beberapa guru.
"Pak, saya ingin bicara sekarang," ujar Steven tegas.
Kepala sekolah melirik Steven dengan canggung, lalu mengangguk kecil. "Baiklah. Kita bicara di ruang saya."
Keduanya menuju ruang kepala sekolah. Begitu pintu ditutup, Steven langsung berbicara dengan nada yang lebih rendah, namun tetap serius.
"Pak, saya tahu Anda takut pada Cici karena keluarganya adalah donatur terbesar sekolah ini. Tapi Anda tidak bisa membiarkan ketidakadilan terjadi di depan mata," ujarnya.
Kepala sekolah menghela napas panjang, lalu duduk di kursinya. "Steven, apa yang kau harapkan dari saya? Posisi saya di sini juga tidak mudah. Jika keluarga Arhan menarik dukungan mereka, sekolah ini akan kehilangan banyak hal. Beasiswa, fasilitas, bahkan reputasi."
Steven mendekat, menatap kepala sekolah dengan penuh tekad. "Pak, kita bicara soal anak-anak yang menjadi korban. Jika kita diam, maka pelaku seperti Cici akan merasa tidak terkalahkan. Dan itu akan membuat korban semakin menderita. Apa Anda ingin sekolah ini dikenal sebagai tempat yang mendukung perundungan?"
Kepala sekolah menunduk, terlihat gelisah. Namun, ia tidak memberikan jawaban.
"Pak!" suara Steven meninggi. "Ini soal prinsip. Jika kita membiarkan ini terus terjadi, sekolah ini akan kehilangan lebih dari sekadar uang. Kita akan kehilangan kepercayaan para siswa, orang tua, dan masyarakat."
Kepala sekolah akhirnya menatap Steven dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Steven, aku mengerti maksudmu. Tapi kau harus paham, tanpa bukti yang jelas, aku tidak bisa mengambil tindakan. Dan dengan kekuatan yang dimiliki keluarga Cici, kita harus sangat berhati-hati."
Steven menggeleng, frustrasi. "Baik. Jika Anda tidak mau bertindak, saya yang akan melakukannya. Saya akan mengumpulkan bukti dan memastikan Cici tidak bisa mengelak lagi."
Kepala sekolah terdiam, tidak berusaha menghentikan Steven. Hanya saja, ada kekhawatiran di matanya.
Saat Steven keluar dari ruangan itu, pikirannya penuh dengan strategi. Ia tahu ini tidak akan mudah, tetapi ia tidak akan membiarkan keadilan dikalahkan oleh kekuasaan.
Sementara itu, di koridor, Nadia berdiri di depan kelasnya, menatap jauh ke arah ruang kepala sekolah. Ia memikirkan kata-kata Steven yang penuh keberanian. Mungkin inilah saatnya ia berhenti diam dan melawan. Namun, ia tahu, keberanian itu memiliki risiko besar.
Setelah hari yang penuh dengan ketegangan di sekolah, Nadia berjalan pulang dengan langkah pelan. Jalanan sore itu terasa sepi, namun pikirannya jauh dari tenang. Wajah Steven yang penuh tekad dan kata-katanya yang lantang terus terngiang di kepalanya.
"Jangan biarkan pelaku merasa menang karena kalian diam."
Nadia menggenggam tali tasnya erat-erat, mencoba menenangkan perasaan yang campur aduk. Langkahnya berhenti sejenak di depan sebuah taman kecil di dekat rumahnya. Ia duduk di bangku kayu yang sering ia kunjungi saat merasa butuh waktu untuk berpikir.
Bayangan wajah Cici yang selalu menatapnya dengan penuh ejekan muncul di benaknya. Tawa Imel dan Dina, serta suara bisikan-bisikan jahat yang selama ini ia terima, membuat dadanya terasa sesak. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Kata-kata Steven memberikan percikan keberanian di hatinya.
Setelah beberapa saat termenung, Nadia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang. Melawati jalan tikus agar menghemat waktu ,saat ia membuka pintu, suara lembut ibunya menyambutnya.
"Nadia, kamu sudah pulang? Bagaimana sekolah hari ini?" tanya ibunya sambil membawa secangkir teh dari dapur.
Nadia tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. "Baik, Bu. Cuma... agak capek."
Ibunya mengangguk, tidak ingin memaksa Nadia untuk bercerita lebih jauh. "Ya sudah, istirahat dulu, ya. Ibu buatkan makanan nanti."
Malam tiba begitu cepat, Nadia mengangguk pelan, lalu naik ke kasurnya setelah pintu kamarnya . Dia tertidur melewati hari yang penuh dengan luka.
semangat