Meski sudah menikah, Liam Arkand Damien menolak untuk melihat wajah istrinya karena takut jatuh cinta. Pernikahan mereka tidak lebih dari sekedar formalitas di hadapan Publik.
Trauma dari masa lalu nya lah yang membuatnya sangat dingin terhadap wanita bahkan pada istrinya sendiri. Alina Zafirah Al-Mu'tasim, wanita bercadar yang shalihah, menjadi korban dari sikap arogan suaminya yang tak pernah ia pahami.
Ikuti kisah mereka dalam membangun rasa dan cinta di balik cadar Alina🥀
💠Follow fb-ig @pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Munafik!
Alina terdiam setelah suaminya pergi, menatap ke arah rumput liar yang baru saja ia cabut. Kata-kata Liam berulang kali terngiang di kepalanya, membuat hatinya semakin sesak.
'Istri yang sok sibuk untuk terlihat berguna? 'katanya.
Ia menggigit bibirnya, menahan air mata yang ingin jatuh. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa pernikahan akan terasa seperti ini, sedingin salju dj kutub utara, tanpa kehangatan atau pengertian sedikit pun.
Dia berdiri perlahan, mengibaskan tanah dari tangannya, dan berjalan menuju dalam rumah. Di balik cadar dan hijabnya, tak ada yang bisa melihat bagaimana luka di hatinya semakin menganga. Ia tahu, ini bukan hanya tentang rumput di taman atau sarapan yang ia buat. Ini lebih dalam dari itu, tentang bagaimana Liam melihatnya sebagai seseorang yang tak lebih dari kewajiban, bukan pasangan hidup
Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Alina memutuskan untuk menyalakan kompor, mulai memasak makan siang. Dia mencoba untuk mengalihkan pikirannya dari semua hal yang mengganggu perasaannya. Dalam benaknya, tekad yang ia bangun tadi malam terus ia pegang erat, bahwa dia tidak akan menyerah. Dia akan terus bertahan, dan suatu hari, ia akan membuat Liam melihatnya dengan cara yang berbeda..
Alina sendiri tak tahu alasan apa yang membuat Liam begitu angkuh dan bersikap acuh tak acuh padanya, apakah ada hal lain di masa lalunya ataukah memang karakternya yang sudah terbentuk sejak kecil?
Bahkan sambil memasak, pikiran Alina terus berkelana, mengingat status hubungan keluarganya dan keluarga Liam, dan bagaimana reaksi yang terjadi jika suatu hari ia tak tahan dan ingin mengakhiri semua ini, atau bagaimana jika Liam sendiri yang akan mengakhiri lalu membuangnya setelah tujuannya benar benar terpenuhi.
Bayangannya lalu membawanya ke angan angan, seandainya dia menikah dengan Fauzan mungkin saat ini dia sedang bahagia, mungkin Fauzan akan membawanya terbang ke awang awang menikmati indahnya cinta yang di fitrahkan Tuhan sebagai tanda karunia-Nya.
"Astaga, Alina! Apa yang kau lakukan?!" Suara Liam menggema dengan tajam, membuat jantung Alina hampir berhenti.
Liam berlari, dengan cepat mematikan kompor dan menarik penggorengan dari atas api. Asap tebal mengepul dari ayam yang sudah gosong, menghitam legam. Ruangan terasa panas dan pengap, bau hangus menyengat memenuhi udara.
Alina terkesiap, matanya membulat saat melihat penggorengan itu. Dia berdiri terpaku, tak percaya bagaimana ia bisa begitu terhanyut dalam pikirannya sampai tak sadar apa yang terjadi di depannya. Ayam yang ia goreng sudah berubah menjadi abu hitam, dan semua harapan untuk menyajikan makan siang menguap bersama asap itu.
"Maaf! Maafkan aku!" suaranya bergetar, nyaris tak terdengar.
"Aku tidak sengaja…"
Liam menatapnya tajam, wajahnya memerah marah.
"Kalau kau tidak berniat memasak, jangan memasak! Apa kau ingin membakar rumah ini?!"
Kata-kata itu seperti cambuk yang menghantam Alina. Tubuhnya terasa kaku, seolah setiap kata Liam menghantam jantungnya.
"Aku… aku benar-benar tidak bermaksud... Aku hanya—"
"Hanya apa?" Liam memotong dengan nada sinis.
"Apa kau melakukan ini hanya untuk mencari perhatian? Apa kau pikir dengan membuat kekacauan seperti ini, aku akan tiba-tiba berubah dan memperhatikanmu?"
Alina terdiam, terhenyak oleh tuduhan itu. Matanya berair, tapi ia mencoba menahan agar air mata tidak jatuh.
"Tidak… Aku tidak bermaksud begitu," lirihnya.
"Aku tidak mau mendengar alasanmu, satu hal yang pasti. Aku tidak mau melihat kecerobohan seperti ini lagi!" Liam melanjutkan, nada suaranya menuntut.
"Untung saja aku datang! kalau tidak, beberapa detik lagi mungkin rumah ini akan ikut hangus karena lamunanmu yang tidak berguna!" seru Liam, ia tidak bisa membayangkan jika dirinya tidak turun karena kehausan dan mengambil gelas di dapur mungkin Alina sudah membuat rumah ini kebakaran.
Pria itu lalu mendekati istrinya, tatapannya tak berubah, tajam dan penuh kebencian.
"Kau dengar?!" bentaknya.
Alina tersentak sedikit, lalu Mengangguk.
"Dengar." ucapnya suaranya hampir tak terdengar.
Liam mengeraskan rahangnya menatap wanita bercadar yang saat ini menunduk penuh rasa bersalah.
"Dasar wanita, kalian memang terlihat lemah dan suka memanipulasi, yang menyembunyikan kebusukan di balik kelembutan dan kelemahan. Tapi kali ini jangan berharap aku akan luluh pada kebaikan apapun yang kau lakukan, meski kau tertutup dan agamis sekalipun, bisa jadi kau hanya seorang yang munafik!"
Kata kata Liam mengoyak dan menusuk hati Alina dengan sangat dalam, membuat Kedua manik matanya memerah, berusaha menahan tangis yang hampir pecah. Namun, Liam dengan keangkuhannya segera berbalik, meninggalkan Alina tanpa sedikitpun memperdulikan perasaannya.
"Liam!" Alina berlari mengejarnya, tangannya dengan cepat meraih lengan suaminya. Dia menariknya dengan lembut, tapi penuh keputusasaan.
"Apa maksudmu menuduhku seperti itu?" tanyanya, suaranya serak, namun ada ketegasan.
Liam berbalik dengan tatapan dingin.
"Itu kenyataannya, kan?"
Alina terisak,
"Aku bisa menerima kemarahanmu, caci makimu, tapi tidak dengan tuduhan munafik seperti itu!" teriaknya, tidak mau tunduk pada penghinaan itu.
"Aku tidak peduli apakah kau menerimanya atau tidak!" Liam membentak sambil mendorong tangan Alina dengan kasar, membuat Alina terhuyung. Tanpa melihat ke belakang, Liam melangkah pergi, meninggalkan luka lebih dalam di hati Alina.
"Liam!" teriak Alina lagi, hatinya terasa hancur.
"Jika kau terus seperti ini, aku akan mengadukannya pada ayah!"
Langkah Liam terhenti sejenak. Dia menoleh dengan senyum sinis.
"Adukan saja! paling tidak ayahmu akan serangan jantung dan itu kesempatan yang bagus untukmu mewarisi kekayaannya."
Kalimat terakhir itu menggantung di udara, tajam seperti pedang yang memotong perasaan terakhir yang tersisa di antara mereka. Alina terdiam, terkejut dan terluka, sementara Liam pergi, meninggalkan jejak yang dingin dan penuh kebencian.
Bagaimana mungkin di awal pernikahannya dia sudah merasakan neraka rumah tangga. Dimana semua orang mengenang masa masa indah di awal pernikahan, Alina justru mendapat penderitaan yang tak pernah ia bayangkan.
...[•••]...
Malam di guyur hujan deras, Alina baru saja menyelesaikan sholat isya, ia melipat mukenah dan sajadanya lalu menaruhnya di atas meja nakas.
Sisa sisa air matanya masih membekas, membuat kantung merah di bawah netranya.
Alina kemudian duduk di sofa kamarnya yang sunyi, memandang jendela yang diselimuti tetes-tetes hujan. Udara dingin terasa lembap di sekelilingnya, menciptakan suasana yang seolah selaras dengan kebingungannya. Matanya menatap lurus ke luar, tetapi pikirannya melayang jauh ke arah Liam, suaminya yang baru ia kenal sangat dingin dan kasar.
"Dasar wanita, kalian memang terlihat lemah dan suka memanipulasi, yang menyembunyikan kebusukan di balik kelembutan dan kelemahan. Tapi kali ini jangan berharap aku akan luluh pada kebaikan apapun yang kau lakukan, meski kau tertutup dan agamis sekalipun, bisa jadi kau hanya seorang yang munafik!"
Alina memejamkan mata dan menarik napas dalam dalam, berusaha melonggarkan deru sesak yang menyelimuti hatinya tatkala mengingat tuduhan Liam siang itu.
Pertanyaan demi pertanyaan muncul, mengapa suaminya setega itu menuduhnya orang munafik, padahal baru dua hari mereka bersama sebagai pengantin baru.
Apa alasan Liam memperlakukan Alina seperti seorang musuh?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, membuat hatinya semakin tak tenang. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Liam, sesuatu yang gelap dan tak terjangkau olehnya.
Dengan tangan gemetar, Alina meraih ponselnya. Harapannya sederhana, ia hanya ingin mencari tahu lebih banyak tentang Liam melalui media sosial, berharap menemukan petunjuk atau setidaknya pemahaman atas sikap Liam.
Namun, saat ia membuka satu per satu laman pencarian, tak ada jejak pribadi yang bisa dipegang. Hanya ada berita penghargaan atas kesuksesannya sebagai CEO, foto-foto formal, dan...
Matanya terhenti pada satu artikel yang membahas skandal Liam, sebuah tuduhan manipulasi saham. Berita itu semakin ramai, menyebutkan bahwa Liam terlibat dalam permainan kotor yang mengguncang perusahaan dan para investor. Dan lebih jauh lagi, spekulasi tentang pernikahan mereka, bahwa Liam menikahinya hanya untuk membersihkan namanya yang tercoreng.
Matanya terus bergerak, menelusuri komentar-komentar warganet yang penuh kritik. Mereka berspekulasi, menyebut Liam memanfaatkan citra religiusnya sebagai wanita bercadar untuk memperbaiki reputasi. Meski, jejak digital yang Alina temukan tidak spesifik memperjelas masa lalu Liam, tapi desas desus yang beredar mengungkit bahwa Liam dulunya cukup dekat dengan dunia malam.
Alina menelan ludah, jari-jarinya gemetar saat terus menggulir layar. Meski semua itu membuat hatinya terguncang, dia tak ingin mudah mempercayai kata-kata orang. Dia bukan tipe yang menuduh tanpa bukti konkret. Prasangka baik selalu menjadi pegangan hidupnya. Meskipun sulit, Alina percaya bahwa setiap orang bertindak karena alasan tertentu, dan pasti ada cerita di balik sikap dingin Liam.
Dia menutup ponselnya, menatap hujan yang terus menderu di luar jendela. Di tengah semua kebingungan ini, Alina sadar bahwa hanya waktu yang akan menjawab pertanyaannya.
...[•••]...
Bersambung.....
ayo la firaun, ad yg halal gk usah lgi mikiri msa lalu yg gitu2 az. mncoba mengenal alina psti sangt menyenangkn krna dy wanita yg cerdas. semakin k sini alina akn mnunjukn sikp humoris ny dn liam akn mnunjukkn sikap lembut walau pn msih datar.
haaa, liam dengar tu ap kta raka. smga raka, kau memg sahabt yg tulus y raka. cuci trus otak liam biar dia meroboh degn sendiriny benteng tinggi yg ud dy bangun.
doble up kk😄
gitu dong alina, gk usah sikit2 nangis
sok cuek, sok perhatian. liam liam, awas kau y 😏
lanjut thor.