siapkan tisu sebelum membacanya ya geees.. cerita mengandung bawang 😅
" kamu harus menikah dengan Rayhan. Shena" ucap ibu lirih
"Kenapa harus Shena Bu? bagaimana dengan mas Arhan yang sedang berjuang untuk Shena?" aku menyentuh lembut jemari ibuku yang mulai keriput karena usia yang tidak muda lagi.
"menikahlah Shena. setidaknya demi kita semua, karena mereka banyak jasa untuk kita. kamu bisa menjadi suster juga karena jasa mereka, tidakkah ada sedikit rasa terima kasih untuk mereka Shena?"
ibuku terlihat memohon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SERANJANG
Setelah Mas Rayhan membayar es kelapa muda kami, kami kembali ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan ke rumah ibu yang sudah tidak jauh lagi
“Katakan jika kamu menginginkan sesuatu”
Aku memperhatikan Mas Rayhan yang sedang menyetir di sebelahku. Apakah dia mulai peka dengan keinginanku? Aku hanya mengangguk dan tersenyum menjawab pertanyaan Mas Rayhan. Ah apa aku berani mengatakan apa yang aku inginkan? Sedangkan untuk menatap matanya saja aku tak berani.
Lima menit berlalu, kami sampai di depan rumah ibu. Rumah sederhana yang sudah berusia puluhan tahun.
“Shena”
Aku menoleh ke arah suara yang memanggil namaku itu. Ternyata Ibuku yang baru balik dari kebun sayur. Ibu memandangku sumringah, ,memandang kami bergantian.
“Assalamualaikum Bu” ucapku sambil mencium punggung tangan Ibuku.
“Wa’alaikumsalam. Rayhan sehat?” tanya ibuku
“Alhamdulillah Bu. Ibu bagaimana?”
“Alhamdulillah, Ibu sebenarnya sempat kepikiran Shena beberapa hari lalu, sampai kebawa mimpi. Syukurlah kalian tidak apa – apa, Ibu khawatir”
Aku dan mas Rayhan saling berpandangan sejenak, apa Ibu merasa apa yang aku rasakan? Aku berusaha menutupi semuanya. Aku tidak mau menjadi beban pikiran Ibuku yang sudah menua itu.
“Ayo masuk, Ibu baru saja panen sawi, alhamdulillah hasilnya lumayan. Harga di pasar lagi bagus” Ibu bercerita sambil melangkah masuk rumah dan kami pun mengikutinya.
“Kemarin mas mu mampir, dan membawakan Ibu keripik padahal Ibu tidak bisa makan. Gigi Ibu sudah tak ada”
Aku terkekeh mendengar penuturan Ibu begitupun dengan Mas Rayhan. Ibu membuka keripik itu dan menghidangkannya untuk kami berdua. Aku memandang Mas Rayhan yang bersikap baik sama Ibu. Aku hanya berharap Ibu tidak mencurigai soal hubungan kami.
Saat waktu maghrib tiba Mas Rayhan pergi ke mushola sedangkan aku memilih untuk sholat di kamarku sendiri. Sebelumnya dia tidak pernah sholat selain sholat jum’at. Kali ini dia sadar untuk sholat. Aku cukup senang, walaupun mungkin itu nggak akan dia lakukan lagi ketika di rumah Ibunya nanti.
“Shena, buatkan makan malam untuk suamimu”
“Iya Bu”
Aku melangkah ke dapur, membantu Ibu menyiapkan makan malam untuk kami. Ibu menggorang ikan, dan aku menyusun piring dan juga lauk yang sudah ibu masak. Tidak lama menunggu mas Rayhan pulang dari mushola.
“Mas, makan dulu”
“Sebentar” jawabnya sambil membereskan sarungnya.
Aku menunggu mas Rayhan di meja makan, begitu juga dengan Ibu yang baru saja selesai menggoreng ikan. Aku mengambil piring kosong itu, mengisinya dengan nasi sekalian lauknya juga. Sampai Mas Rayhan datang dan bergabung dengan kami.
“Bu, kenapa repot sekali. Kita bisa makan diluar Bu. Ibu nggak perlu repot. Ibu pasti capek barusan pulang dari ladang lagian Shena juga nggak bisa membantu Ibu karena harus banyak istirahat” ucap Mas Rayhan sambil menghampiri kami dan duduk di kursi di sampingku.
“Shena kenapa?” ibu menatapku dengan serius.
“Shena hamil Bu” sahut Mas Rayhan sambil tersenyum
“Ha? Benarkah itu, Shena?” ibu terlihat kaget dan langsung menghampiri aku
Aku mengangguk dan tersenyum “Sudah dua bulan Bu” ucapku
“Alhamdulillah, Ibu ikut senang” ibu memelukku singkat dan duduk di kursi depan kami berdua. “Banyaklah anak, Ibu kalian pasti senang kalau kalian punya banyak anak”
Mas Rayhan menyemburkan air reflek yang belum sempat dia telan, sebisanya dia menahan itu semua, dan itu malah membuat ibu terkekeh
“Hati – hati Mas” ucapku lirih
“Ibu benarkan? Pasti Ibu kalian senang, apalagi Rayhan anak tunggal” ucap Ibu lagi
Aku dan Mas Rayhan hanya terdiam, mencoba tersenyum walaupun rasanya aneh. Gimana tidak aneh, untuk kehamilan ini aja kami terpaksa melakukannya. Belum tentu juga mas Rayhan mau menyentuhku lagi. Aku juga tidak berharap lebih. Aku takut sakitku akan terlalu dalam.
“Semua tergantung Shena Bu. Dia yang mengandung dan itu tidak mudah, Bu” ucap Mas Rayhan yang baru selesai dari batuknya.
“Pasti di permudah ya Nak”
Kami melanjutkan makan malam bersama, sampai waktu isya. Mas Rayhan kembali ke mushola yang dekat dari rumah Ibuku. Aku menunggunya di rumah, dan aku juga semoat bercerita dengan Ibu. Sudah lama aku nggak bertemu Ibu jadi cukup banyak kami berbincang malam ini.
Ibu bertanya soal rumah tanggaku dengan Mas Rayhan, katanya Ibu sering mimpi buruk setiap saat teringat aku. Ibu khawatir sesuatu terjadi denganku. Aku berusaha menutupi semua aib rumah tanggaku aku tidak mau membuat banyak masalah.
“Rayhan pria yang baik kan?”
“Iya Bu, Mas Rayhan pria yang baik seperti yang ibu bilang dulu” sahutku tersenyum
“Istirahatlah, sudah malam” ucap Ibu
Aku mengangguk dan meninggalkan ibu menuju kamarku. Kamar yang tidak terlalu besar. Mungkinkan Mas Rayhan mau tidur denganku malam ini di kasur yang bisa di bilang kecil kalau di banding di rumahnya.
“Tenang ya sayang, Ibu akan berusaha membuatmu nyaman, walaupun hati ibu yang harus menjadi taruhannya, ibu akan berjuang untuk kamu” aku melihat pantulan wajahku di cermin sambil ku elus perutku yang belum membesar.
Aku berbalik arah niat hati ingin tidur. Aku melihat mas Rayhan yang sedang menatapku dengan sorot mata yang sulit di artikan, tetap saja itu membuatku takut. Aku menundukkan kepalaku dan melangkah pelan menuju kasurku.
“Mas”
Mas Rayhan kembali menatapku setelah meletakkan sarungnya. Tatapannya belum berubah masih seperti dulu, tatapan yang seolah membenciku. Aku kembali marasa takut
“Kamu bisa tidur di kamar ini. Aku akan tidur dengan Ibu” ucapku masih dengan kepala menunduk melihat lantai yang sudah terlihat retak.
“Mau membuat ibumu khawatir?”
Aku memberanikan diri untuk menatapnya lagi. “Tidak begitu Mas, kasur ini terlalu kecil, maksudku-“ aku kembali bingung untuk menjelaskan padanya. Karena dia tidak pernah tidur seranjang denganku
“Tidurlah, aku mau menelpon sopir truk dulu” titahnya
Aku memperhatikannya yang sedang mengambil ponselnya di meja samping kasurku. Aku bertanya lagi “kamu tidur di mana Mas?”
“Di sini” ucapnya sambil berlalu pergi keluar dari kamar
Aku tersenyum mendengar itu. Kenapa aku sebahagia ini? Apakah anakku ingin dekat dengan ayahnya? Aku merasa aneh dengan perasaanku sendiri. Sebelumnya aku tidak peduli sama sekali soal kami tidur terpisah, tapi akhir – akhir ini aku sering berharap dia tidur di sampingku. Apakah ini karena kehamilanku?
Aku tidur lebih dulu, berharap dia benar – benar berada di sebelahku aku ingin merasakan lagi belaiannya di perutku.
Ah, aku berpikir terlalu jauh. Kamu tidak boleh terlalu berharap Shena! Ku tepuk kepalaku beberapa kali. Mencoba menepis semua yang ada di pikiranku. Sampai akhirnya aku benar – benar tertidur
Aku mengerjapkan mataku ketika aku merasakan sesuatu yang berat ada di perutku, aku menyentuhnya dan seketika aku merasakan ada tangan besar mas Rayhan. Aku sedikit membuka mataku, aku lihat Mas Rayhan ada di sebelahku dan sedang memelukku, apakah ini mimpi?
Aku tersenyum sekilas, aku coba memindahkan tangannya yang membuat dadaku sesak. Dia tertidur sangat pulas, aku melihat wajah tampan suamiku yang cukup damai.
Wajah yang sangat teduh saat dia tertidur sangat menyejukkan hatiku, benarkan pria tampan ini suamiku sendiri. Ini pertama bagiku memandangnya cukup lama selama dia menjadi suamiku.
paling yaah jealous 2 dikit laaah
manusiawi kok...
biar si Rayhan 'lupa' pd naila..
kini dia hrs menjaga shena, masa depan nya
apa aj itu isinya????
wkwkwk
stlh shena sembuh,
gugat cerai ajalah si Rayhan...
Kdrt pun...
hahhh.
walaupun cerai itu boleh tp ttp dibenci.Alloh....
dan shena masa depanmu..
Ray...
bisakah kamu membedakannya?
bukan berarti kamu hrs melupakan Naila...
pria bermuka dua